Bab 1: Sahabat dan Luka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayasa berdecak pelan ketika sebuah mobil yang sangat dia kenal berhenti di depannya. Kaca mobil diturunkan, menampilkan siapa yang tengah duduk di kursi kemudi. Adriel. Yah, siapa lagi kalau bukan cowok itu? Ayasa memutar bola mata. Harusnya, dia tidak perlu heran atau terkejut. Namun, lama tak bertemu—atau tepatnya karena Ayasa menghindari kontak dengan Adriel untuk sementara waktu, membuat Ayasa merasa mixed feeling. Sebagian senang, sebagiannya lagi takut bercampur khawatir.

Ayasa takut, untuk beberapa alasan.

"Hei." Sapaan pendek dari Adriel membuyarkan lamunan Ayasa. "Kenapa bengong? Ayo, naik." Cowok itu memberi isyarat dengan dagu agar Ayasa membuka pintu mobil dan segera masuk.

Ayasa menggeleng, melambaikan ponsel di tangan. "Aku udah pesan Gojek. Driver-nya lagi on the way." Cewek dengan ponytail tinggi itu mencoba tersenyum, meski entah kenapa rasanya aneh sekali. "Kamu duluan aja. Oke, see you." Dengan cepat Ayasa balik kanan, hendak mengambil langkah seribu sebelum satu desisan dari Adriel sukses membuyarkan niatnya.

"You better stop there."

Sontak, Ayasa menepuk dahi, tidak kuasa berkutik kalau sudah begini. Bukan mustahil Adriel akan turun, mengejar, lantas menggendong dirinya ke dalam mobil jika Ayasa berani melawan. Daripada menjadi pusat perhatian karena mereka masih berada di area kampus, ikuti sajalah, pikir Ayasa. Cewek itu lantas berbalik, mendapati Adriel merengut. Entah kenapa, melihatnya saja sudah membuat Ayasa ikut sewot. "What?" Ayasa menyalak tak kalah garang.

Bersikap seperti biasa. Berulang kali Ayasa menyugesti kata-kata tersebut kepada dirinya sedari tadi. Jangan buat Adriel curiga.

Adriel berdecak keras. "Cancel. Naik atau kamu mau digendong paksa dulu baru nurut?"

Nah, kan?

Ayasa menimbang-nimbang. Diliriknya ponsel yang masih menyala sebelum pandangannya beralih kepada Adriel yang tampak tidak sabar menunggu. Hadeh, Gusti! Ayasa ingin menjedotkan jidatnya berulang-ulang ke pintu mobil di depannya saat ini, frustrasi sendiri. Padahal rencana untuk menjauhi Adriel sudah berjalan mulus dua minggu ini. Hasilnya pun cukup signifikan. Omongan-omongan jail tentang mereka mulai berkurang. Namun, tiba-tiba saja, cowok tersebut muncul di depan Ayasa. Jika sekadar muncul, sih, tidak masalah. Memaksa agar meng-cancel order Gojek dan segera naik ke mobil, nah, itu jelas problem.

Bersahabat sejak SMP hingga sekarang—duduk di bangku perkuliahan semester tiga, membuat Ayasa hafal betul kelakuan Adriel. Seperti sekarang, contohnya. Ayasa tahu cowok itu tidak sekadar mengajak untuk nebeng, tetapi juga ingin membicarakan hal penting—penting menurut Adriel, tentunya. Adriel, yang jelas-jelas tipikal "Bodo amat, deh, yang penting udah gue tawarin," menjadi "Naik atau gue enggak bakalan biarin lo ke mana-mana barang sesenti," patut diwaspadai. Iya, salah-salah cowok dengan kulit putih bersih bak susu itu bisa berbuat nekat jika kemauannya tidak dituruti. Ancaman untuk menggendong paksa agar segera masuk ke mobil jelas bukan tong kosong nyari gaungnya.

"Aku hitung sampai sepuluh," kata Adriel setelah hening sejenak, membuyarkan lamunan Ayasa. "Satu, dua, tiga—" Cowok itu mulai berhitung dengan santai. Ujung matanya melirik Ayasa yang tampak panik, membuat Adriel tersenyum tipis tanpa sadar. "—empat, lima, enam—"

"Fine!" Ayasa berseru kesal. Dengan gerakan kasar, dibukanya pintu mobil, lantas mengambil posisi duduk senyaman mungkin—meski rasanya agak canggung, mengingat dia bersisian dengan Adriel saat ini. Oke, tenang, Ayasa. Lagi-lagi, Ayasa menyugesti diri. Kamu udah sering duduk di samping Adriel. Santai aja. Cewek itu menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan sebelum mendelik tajam kepada Adriel yang mengangguk puas. "Puas bikin aku kelabakan?" sindir Ayasa.

Adriel mengangkat bahu, menyahut dengan santai, "Bukan salahku. Harusnya kamu nurut dari tadi." Cowok dengan iris sepekat malam itu lantas menghidupkan mobil, menarik persneling, menjalankannya dengan tenang. "Orderannya udah di-cancel?" tanya Adriel tanpa menoleh, fokus pada jalanan di depan sana.

Ayasa manyun lima senti, meng-cancel orderannya diiringi permintaan maaf berulang-ulang saking tidak enaknya. Untungnya, si driver bisa mengerti. Belum nyampe Pinus, kok, Mbak, begitu isi chat dari driver yang dia pesan. Setelah meminta maaf untuk kesekian kali dan berterima kasih karena sudah mau mengerti, Ayasa memasukkan ponsel ke tas seraya mendelik keji kepada cowok di sebelahnya. "Luar biasa. Kamu sukses jadi penghalang rezeki orang lain," Ayasa menyindir tajam, sikap khasnya kalau sedang bad mood.

Adriel dengan cuek menanggapi, "Belum rezeki doang." Cowok itu melirik Ayasa sebentar, menangkap ekspresi bad mood tercetak jelas di wajah cewek dengan kulit tan itu. Adriel menghela napas, berusaha mencari topik pembicaraan lain, berharap suasana tidak terlalu canggung sebelum dia masuk ke inti. "UTS lancar?" tanya Adriel setelah keheningan menyelimuti beberapa saat.

Ayasa memutar bola mata bosan. "Aku tahu kamu mau bicarain hal yang lebih penting daripada sekadar soal UTS lancar atau enggak." Cewek itu memijat pelipis yang tiba-tiba terasa berdenyut tak keruan. Belum lagi rasa melilit yang tidak mengenakkan tanpa diundang hadir begitu saja di bawah sana. Hari pertama datang bulan selalu menjadi momok bagi Ayasa karena mood-nya cepat sekali naik turun. Bagus, lengkap sudah hari ini. Semoga saja Adriel tidak mengatakan hal yang tidak make sense.

Hening menyelimuti seisi mobil, bahkan ketika rumah Ayasa sudah terlihat dari ujung jalan, baik Adriel atau Ayasa sama-sama tidak berbicara sepatah kata pun.

Adriel menghela napas panjang, menghentikan laju mobil ketika sudah sampai di depan rumah Ayasa. Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan. Hal yang cukup membuat suasana menjadi canggung. Terlebih, apa yang ingin Adriel bicarakan bukan sesuatu yang sesederhana Ayasa pikirkan. Sebelum Ayasa memutuskan beranjak karena terlalu lama menunggu, mungkin memang ada baiknya Adriel langsung to the point saja. "Jujur sama aku," ucap Adriel pelan-pelan, "kenapa akhir-akhir ini kamu selalu ngehindarin aku?"

Deg. Tiba-tiba, seperti ada yang menghantam Ayasa kuat-kuat saat ini. Cewek dengan kucir tinggi bak Ariana Grande itu memejamkan mata seraya menggigit bibir bagian bawah pelan. Ya, Ayasa sadar, cepat atau lambat Adriel akan menyadari hal tersebut. Namun, Ayasa belum siap untuk menjelaskannya sekarang. Terlebih, dengan kondisi mood yang berantakan, rasa-rasanya dia tidak akan bisa memberikan alasan yang tepat.

Itu semua karena kamu. Ingin sekali Ayasa mengatakan hal tersebut di depan Adriel. Namun, Ayasa bukan tipikal cewek tidak punya hati. Mengatakan hal tersebut secara blak-blakan berpotensi besar menambah masalah, juga list orang yang tersakiti. Ayasa sadar, secara teknis, ini bukan salah Adriel. Cowok itu memang tampan. Tidak heran dia populer di kalangan para cewek. Hal yang berbanding terbalik dengan Ayasa. Segala hal yang buruk sudah pernah dia terima dan dengar—saking banyaknya, sudah tidak terhitung berapa banyak ucapan usil itu dia terima.

Belum lagi pesan-pesan dari akun bodong entah milik siapa yang Ayasa terima di Instagram dan WhatsApp—ya, istilah kasarnya, dia diteror.

Semua menyalahkan dirinya. Tidak ada yang mengarah kepada Adriel. Kenapa hanya dirinya saja yang dihakimi? Apa salahnya bersahabat dengan cowok? Kebetulan saja Adriel itu terlalu tampan dan famous. Bukan salah Ayasa jika dia merasa nyaman dengan cowok itu hingga persahabatan mereka bisa awet sampai sekarang.

Justru di situlah titik permasalahannya. Kadang Ayasa lupa, dunia memang terkadang tidak adil terhadap mereka yang memiliki wajah pas-pasan seperti dirinya. Agak miris, sih, tetapi ya begitulah menurut Ayasa.

"Apa karena kamu sudah punya pacar, jadi kamu enggak butuh aku lagi?" Adriel yang menunggu langsung menembak tanpa ampun, membuat Ayasa yang tengah bergumul dengan hati dan pikirannya kontan tersentak. "Apa rasanya beda antara aku sama Oliver? Apa Oliver emang jauh lebih baik dari aku?" Adriel terus mendesak, tidak sadar seberapa rumitnya pikiran Ayasa saat ini.

Ayasa, yang merasa pikirannya sudah terlalu kalut, secara tidak sadar mengangguk. Yah, mungkin itu alasan yang jauh lebih baik ketimbang membeberkan alasan yang sebenarnya.

Adriel, yang tidak mengharapkan jawaban itu dari Ayasa, refleks mengepalkan tangan kuat-kuat, meremas kemudi mobil hingga urat-urat halus menyembul di lengannya. "Gitu, ya?" Adriel menunduk, merasakan ada sesuatu yang panas di dalam dada. Amarah. Jika memang persahabatan mereka tidak cukup untuk mempertahankan kebersamaan, mungkin hanya ada satu cara. "Kalau aku bilang aku suka sama kamu, gimana?" Entah mendapat ide dari mana, kalimat itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Adriel. Sudah telanjur. Tidak ada waktu untuk menyesalinya. Cindy benar, selama ini dia selalu denial terhadap perasaannya kepada Ayasa.

Namun, tidak untuk kali ini.

"Hah?" Ayasa yang tidak siap dan tidak menyangka hal tersebut akan keluar dari mulut Adriel hanya bisa melongo kaget. Semua kata yang dia susun di kepala tiba-tiba saja lenyap entah ke mana. "Jangan bercanda kayak gitu. Aku enggak suka. Aku enggak ngehindarin kamu, oke. Kebe—"

"Aku enggak bercanda." Adriel menggeleng tegas. Raut wajahnya sekaku papan dan sedingin es ketika meraih tangan Ayasa dan mendekatkannya ke wajah. Ayasa bahkan bisa merasakan embusan napas cowok itu mengenai punggung tangannya saat ini saking dekatnya. "Aku tahu ini enggak benar, tapi aku benar-benar suka sama kamu." Satu kecupan lembut mendarat begitu saja di punggung tangan Ayasa, membuat cewek itu kian membeku.

Untuk beberapa saat, Ayasa merasa seakan waktu berhenti berputar sebelum sadar dengan apa yang terjadi. "Lepas." Ayasa menarik tangannya tergesa. Adriel tidak memaksa lebih jauh, hanya tatapan matanya yang melembut. Sorot mata yang tak pernah Ayasa lihat sebelumnya.

Cewek itu menunduk dalam, menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak keruan. Ini bahkan jauh lebih sport ketimbang lari jarak pendek 400 meter. Ayasa tidak pernah menyukai adegan cheesy romance, tetapi mengalaminya sendiri dan yang melakukan itu adalah Adriel, entah kenapa membuat Ayasa seperti blank untuk sesaat. Cewek itu menggeleng pelan, enggan mengangkat wajah ketika menjawab perkataan Adriel yang baginya tidak logis. "Aku mau turun. Tolong buka lock pintunya."

"Jadi, ini jawaban kamu?" Adriel menatap sendu Ayasa yang menggeliat tidak nyaman. "Aku bakal nunggu. Kalau kamu emang enggak suka suka sama aku, maka aku yang bakal bikin kamu jatuh cinta sama aku suatu hari nanti. Pegang kata-kataku," kata Adriel lagi seraya membukakan kunci pintu, tidak berusaha menahan Ayasa yang keluar tergesa dengan detak jantung menggila.

***

Ayasa sadar, sejak awal hubungan pertemanannya dengan Adriel jarang sekali menemui kata mulus. Bukan. Bukan karena mereka sering bertengkar atau semacamnya. Hubungan mereka selalu baik, terlalu baik malah. Adriel yang pengertian dan tidak banyak menuntut atau berkomentar mampu mengimbangi Ayasa yang cenderung semau gue dan ceplas-ceplos. Hampir tidak pernah ada masalah internal dalam persahabatan mereka.

Biasanya, masalah-masalah tersebut berdatangan dari faktor luar. Mulai dari hal kecil seperti omongan-omongan negatif yang mengatakan Ayasa menjadi sombong karena dekat dengan Adriel. Dasar ganjen, tambah mereka. Sampai hal yang lumayan mengikis iman kalau tidak tahan banting seperti serangan dari mantan Adriel yang salah paham. Paling sering, sih, dituduh menghasut Adriel (kasarnya, dia dituduh sebagai orang ketiga). Selama ini Ayasa mencoba untuk tetap kalem dan bodo amat meskipun tidak dipungkiri kerap dia juga sakit hati jika ucapan jail itu sudah kelewatan, apalagi sampai membawa masalah fisik.

Hal-hal seperti itu ternyata terus berlanjut hingga sekarang, bahkan bisa dibilang lebih parah ketimbang saat mereka masih SMA. Gosip, komentar negatif, dan omongan usil itu seolah tidak ada habisnya mengkritisi Ayasa. Dosisnya pun macam-macam. Ada yang biasa saja dan bisa dianggap angin lalu, sampai ujaran yang menjurus kebencian. Semua itu hanya karena dia dekat dengan Adriel. Kalau hanya sekali dua, sih, Ayasa tidak akan ambil pusing. Masalahnya, ini sudah terlalu banyak dan jauh, bahkan mengarah kepada body shaming.

Ayasa tidak pernah merasa ada yang salah dengan dirinya. Bahkan, setelah mencoba memperbaiki image-nya dengan menjadi lebih feminin, Ayasa tetap menerima hate speech yang kian menjadi-jadi. Dibilang centil, genit, dan sebagainya. Hadeh, Gusti! Ayasa ingin sekali rasanya menggelinding ke palung paling dalam jika perlu. Dasar netizen. Ada saja yang dikomentari.

Hingga, pada satu titik, Ayasa sadar mungkin jika dia menjauhi Adriel sedikit demi sedikit, gosip-gosip dan ujaran kebencian itu juga akan perlahan berkurang—dan, benar saja. Demi ketenangan jiwa dan raga, Ayasa lantas memutuskan untuk mengurangi intesitas bertemu dengan Adriel. Awalnya, seperti biasa, hujatan (atau gosip, jika memang kata hujatan terlalu berat untuk dia sandang saat ini) berdatangan. Dasar enggak setia, begitu kata-kata yang sering dia dengar. Ayasa tutup telinga saja, dan ternyata tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menulikan telinga dari omongan-omongan negatif tersebut. Seiring waktu, perlahan-lahan, semua ucapan negatif yang mengarah kepada dirinya mulai berkurang.

Meskipun, di satu sisi, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Ayasa. Sesuatu seperti ... rasa bersalah. Bagaimanapun juga, Adriel tetap tidak ada sangkut pautnya dalam masalah ini. Namun, demi kebaikan semua, Ayasa rasa inilah jalan yang terbaik. Toh, terkadang, kehilangan teman adalah hal yang biasa terjadi. Kendati demikian, Ayasa hanya bisa berharap, suatu saat nanti, mereka akan menemukan waktu di mana mereka bisa bercengkerama tanpa adanya rasa gelisah soal omongan orang lain.

Bukan sekarang, tentunya. Mungkin nanti, entah cepat atau lambat.

"Aya." Satu teguran halus dari Tiya, mamanya, membuyarkan lamunan Ayasa. "Hape kamu getar terus, tuh," katanya lagi seraya memberikan isyarat dengan dagu ke arah ponsel yang ada di samping lengan kanan Ayasa.

"Ah." Ayasa meringis, meraih ponsel dengan cepat dan melihat identitas si penelepon. Oliver. "Halo?"

"Ah, hai." Suara cowok itu terdengar menyejukkan di telinga Ayasa, seperti biasa. "Besok ada acara?" tanya Oliver setelah berbasa-basi sebentar.

"Ah, enggak, sih." Ayasa melirik mama dan papanya yang tampak kepo dengan pembicaraannya. Tak ayal, Ayasa salah tingkah sendiri karenanya, membuat orangtuanya yang paham langsung memasang sikap oke, anggap aja kalau kami enggak ada di sini. Sontak, Ayasa manyun lima senti. "Kenapa?"

"Mau nonton? Gue denger ada film baru yang bagus. Ratingnya juga enggak jelek-jelek amat." Oliver menawarkan. "Tapi, kalau misal lo ada tugas atau mau belajar buat UTS, enggak apa-apa juga sebenarnya. Nanti kita cari DVD-nya aja kalau keburu turun layar." Cowok itu terkekeh, yang kontan membuat Ayasa ikut tersenyum geli mendengarnya.

Mungkin menonton film adalah pilihan yang bagus untuk menyegarkan pikiran. Dia butuh hiburan. Harusnya, tidak masalah jika hanya menonton satu film. "Oke, besok jam berapa?"

"Jam sembilan gimana?" ujar Oliver seraya menyebutkan salah satu bioskop di dekat area Pinus. "Atau, mau malam aja biar seru?" Oliver menawarkan opsi lain.

Ayasa terkekeh. "Oke, jam sembilan."

"Ah, oke. See you there." Ada jeda beberapa saat sebelum Oliver menutup telepon dan berkata, "I love you." Tanpa menunggu respons dari Ayasa, panggilan terputus begitu saja.

Mungkin benar, Ayasa harusnya percaya bahwa Oliver memang jauh lebih baik ketimbang Adriel.

Harusnya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro