Bab 14: Sendu dan Harapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada waktu lagi. Ayasa dengan cepat menuju kamar, menutup, dan mengunci pintu tak kalah kilat. Terdengar pintu diketuk, berikut panggilan dari Bik Tuti. Ada Den Oliver, begitu katanya. Justru karena itu Ayasa buru-buru masuk ke kamar. Satu decakan meluncur dari bibir Ayasa, meminta agar Bik Tuti memberi tahu Oliver untuk menunggu sebentar. Decakan yang berujung kepada nada bicara sinis. Ampun! Ayasa mengembuskan napas panjang. Dia harus minta maaf kepada Bik Tuti nanti. Tidak seharusnya mood-nya yang tengah awut-awutan melangkah terlalu jauh sampai memengaruhi attitude.

Jika ada yang bisa disalahkan atas semua ini, Adriel-lah orangnya. Singkirkan dulu soal cowok itu dari pikiran. Ayasa bahkan terus mondar-mandir tak keruan dari tadi. Seperti tidak tahu harus melakukan apa. Ayasa sempat terpikir untuk segera mengambil rambut ekstensi, tetapi urung, mengingat berapa banyak waktu yang harus dia habiskan jika sampai nekat mencoba memasang rambut tambahan pada saat seperti ini. Terlebih, fakta bahwa Oliver sekarang mungkin sudah duduk di ruang tamu dan menunggu, membuat Ayasa yakin dia tidak akan fokus. Menunggu terlalu lama itu menyebalkan. Tidak menyenangkan sama sekali.

Tenang, Aya. Ayasa mengatur napas, berusaha mendinginkan kepala. Dibukanya lemari pakaian, memilah pakaian yang mungkin bisa meng-cover kekaosan yang terjadi pada dirinya. Pilihannya jatuh kepada hoodie berwarna putih yang terasa halus di tangan. Buru-buru Ayasa melepas piama tidur, mengenakan hoodie, dan merapikannya sedikit. Celana tidur sebagai bawahan sudah cukup, harusnya. Ayasa lantas bergegas menuju meja rias, mengaplikasikan sedikit make-up agar wajahnya tidak terlalu sayu. Selesai. Langkahnya cepat ketika membuka pintu kamar dan turun menuju ruang tamu.

Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Ayasa menarik penutup kepala ketika sudah sampai di ruang tamu. Meski Oliver sudah tahu wujud nyata rambut asli Ayasa, tetap saja dia tidak nyaman. Ayasa mengangkat wajah, mendapati Oliver tengah menatap ponsel di tangan. Wajahnya terlihat ... muram. Seakan ada kabut yang menggelayut di sana. Sorot matanya tak terbaca. Sudut bibir cowok itu melengkung ke bawah. Terlihat beberapa kali Oliver mengembuskan napas dengan jemari memijat pangkal hidung.

"Aya?"

Ayasa tersentak, tersadar. Dilihatnya Oliver berdiri dengan senyum di wajah. Ayasa ikut tersenyum ketika dirasakannya punggung tangan Oliver mendarat di dahinya yang sebagian tertutup tudung jaket. "Udah mendingan?" Oliver memastikan. Ayasa mengangguk. Terlihat Oliver menghela napas lega. "Syukurlah. Ayo, duduk dulu." Cowok itu dengan lembut meraih kedua belah tangan Ayasa, mengajak pacarnya itu untuk duduk di sebelahnya. "Sori aku telat dari perjanjian awal. Bunda minta aku ke—" Ada jeda sejenak sebelum cowok itu kembali melanjutkan, "Ah, biasa. Mal. Beli beberapa pakaian." Oliver terkekeh.

Ayasa mengangguk-angguk. Hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan setelahnya. Rasanya sedikit aneh. Cewek itu melirik Oliver yang tampak duduk dengan posisi sedikit membungkuk. Kedua lengannya bertumpu di paha. Tatapannya terlihat kosong. Ayasa berdeham, membuat Oliver menoleh. "Kamu enggak ada kelas hari ini?" tanya Ayasa, memantik topik pembicaraan.

"Eh?" Oliver mengerjap. "Ah, iya. Ada kelas setengah jam lagi." Cowok itu tersenyum lembut. "Kamu? Enggak ada kelas?"

"Jam sepuluh—eh, enggak. Diundur jadi jam satu siang." Ayasa meringis, menepuk dahi pelan. "Entah kenapa, akhir-akhir ini aku jadi agak pelupa. Mungkin efek hangover sama UTS." Cewek itu terkekeh.

Oliver tertawa pelan, mengangkat kedua tangan sejajar telinga dan mengepalkannya erat-erat, memberi isyarat agar Ayasa semangat menghadapi sisa ujian. "Jangan lupa jaga kesehatan. Istirahat yang cukup dan jangan terlalu memforsir diri."

"Thank you, Ollie." Ayasa mengangguk. Ada senyum tipis yang hinggap di wajahnya. "Kamu juga." Ayasa terdiam sebentar. Ada sedikit keraguan ketika melanjutkan, "Kamu lagi sakit?" tanya Ayasa. Tercetus juga pertanyaan yang dari tadi terus mengganggu kepala. Oliver terlihat lesu. Tidak bersemangat. Agak berbeda dari biasanya. Oliver yang banyak tersenyum. Memancarkan aura positif yang menyenangkan dan menenangkan pada saat bersamaan. Sering kali menularkan tawa yang hangat. Namun, sekarang ..., semua agak berbanding terbalik.

Atau, mungkin—

"Enggak, kok." Oliver menggeleng, tersenyum untuk kesekian kali. "Kenapa? Mukaku pucat, ya?" Cowok itu refleks menangkup kedua belah pipi dengan telapak tangan ketika mendapati Ayasa mengangguk. "Ah, enggak apa-apa. Mungkin karena kecapekan lembur ngerjain tugas. It's okay," Oliver meyakinkan, membuat Ayasa mengangguk-angguk paham.

—itu hanya perasaannya saja?

Mungkin hanya perasaan Ayasa saja. Benar. Lelah, sayu, dan tidak bersemangat adalah hal yang wajar terjadi setelah lembur mengerjakan tugas. Ayasa pun sering begitu. Terlebih jika deadline antar tugas berdempetan. Lebih-lebih, Oliver pernah bilang semester ini sungguh killer baginya. Dalam artian sebenarnya. Yah, Ayasa pun sama. Nyaris mati rasa melalui semester tiga dunia perkuliahan Jurusan Matematika. "Jangan terlalu memforsir diri. Istirahat yang cukup, Ollie. Kantong mata kamu udah mirip panda, lho. Lipatannya bisa diselipin KTP kayaknya," Ayasa menceletuk ringan.

Oliver mengerjap beberapa kali, tampak terpana. Tawa halus meluncur tidak lama setelahnya. Cowok itu mengusap sudut mata dengan jemari, mengangguk paham. "Kadang aku berharap tone kulitku enggak sepucat ini biar mata panda gara-gara kurang tidur enggak terlalu kentara." Oliver menjentikkan jari, seperti baru teringat sesuatu. Cowok itu mengambil plastik yang ada di samping tubuh, menyerahkannya kepada Ayasa. "Aku bawain sarapan. Sori. Harusnya kita berangkat sesuai janjiku, tapi Bunda maksa buat sarapan dulu sebelum berangkat ke sini. Aku enggak enak sama Bunda."

"Ah, it's okay." Ayasa menerima bungkusan yang diserahkan Oliver. Bubur ayam. Ayasa dengan cepat menebak ketika meraba dan menekan isi plastik di tangan. Aromanya pun mudah sekali untuk diterka. "Trims, Ollie. Nanti aku makan." Nanti. Menjelang siang atau sekalian untuk makan siang. Ayasa tidak punya ruang berlebih di lambung untuk dua sarapan yang sama dalam satu waktu.

Oliver mengangguk, hampir berbicara lagi ketika satu getar halus intens dari ponsel di atas meja menyela. Ponsel Oliver. Terlihat nama kontak Bunda sebagai pemanggil. Cowok itu mendesah, seperti setengah hati ketika meraih ponsel. Perlu beberapa lama bagi Oliver sebelum memutuskan untuk berdiri dari tempat duduk. Cowok itu tersenyum simpul kepada Ayasa yang balas menatap lekat-lekat. "Sori. Aku angkat telepon dulu, ya?" Oliver lantas menjauh menuju beranda seraya mendekatkan ujung ponsel ke telinga setelah mendapat anggukan dari Ayasa.

Ayasa memperhatikan Oliver yang tengah berbicara di luar sana. Beberapa kali cowok itu terlihat seperti mendebas. Berbicara. Diam mendengarkan. Berbicara lagi. Sesekali seperti menyela. Ada raut yang janggal di wajah Oliver. Mungkin ada masalah antara ibu dan anak? Entahlah. Bisa jadi. Ah, Ayasa baru sadar dia terlalu kepo kepada urusan Oliver. Apa yang salah? Kamu pacarnya. Wajar kalau kamu kepo, hatinya sedikit menyentak. Pisahkan antara urusan asmara dengan urusan pribadi, pikirannya dengan pelan menyentil. Benar. Tidak seharusnya Ayasa membenarkan tindakan kepo hanya karena mereka berpacaran.

Ayasa menghela napas panjang, menatap Oliver yang masih berbicara di luar sana. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya masih lama. Dengan cepat, Ayasa berdiri dengan tangan menenteng plastik berisi bubur menuju dapur. Terlihat Bik Tuti tengah mencuci piring di ujung sana. Sepertinya, sekarang waktu yang pas untuk meminta maaf. Ayasa berjalan mendekat setelah meletakkan plastik berisi bubur ke meja, mendaratkan satu tepukan lembut di bahu Bik Tuti. Ayasa meringis pelan ketika dilihatnya asisten rumah tangga yang bekerja puluhan tahun di rumah mereka itu tampak terkejut, menoleh sebelum terdengar hela napas lega. "Maaf, Bik, kalau Aya ngagetin. Aya cuma mau minta maaf kalau tadi—maksudnya pas Bibik manggil Aya waktu Ollie datang, Aya nyahutnya agak ketus." Cewek itu menggaruk tengkuk dengan ujung telunjuk. Lagi, dan lagi. Bicaranya berlepotan tidak jelas. Ya sudahlah.

"Walah." Bik Tuti mengangguk ringan, membereskan cucian dan mengeringkan tangan. "Enggak apa-apa, Non. Bibik paham, kok." Wanita paruh baya itu lantas melongok ke arah luar, seperti sedang memastikan sesuatu. "Den Oliver udah pulang, Non?" tanya Bik Tuti kemudian.

"Lagi nerima telepon." Ayasa mengangkat sebelah alis ketika dilihatnya Bik Tuti masih celangak-celinguk. "Kenapa, Bik? Ada urusan sama Oliver, ya? Mau Aya panggilkan?" Ayasa hampir melangkah kalau saja Bik Tuti tidak menggeleng cepat.

"Enggak, Non." Bik Tuti bergerak menuju meja makan dengan mangkuk di tangan, mengalihkan bubur dari dalam wadah, lantas menyimpannya kembali ke lemari—sesuai yang Ayasa minta. "Itu, Non. Den Oliver lagi sakit, ya?"

"Eh?" Ayasa terkejut untuk beberapa saat. "Katanya, sih, enggak. Cuma kurang tidur gara-gara lembur ngerjain tugas. Kenapa, Bik? Gara-gara mukanya pucat dibanding biasanya?"

Bik Tuti mengangguk sebagai jawaban. "Tadi, pas Den Oliver datang, Bibik kebetulan mau buang sampah ke luar. Terus, enggak sengaja—" Wanita tersebut tampak ragu untuk melanjutkan, seperti baru tersadar bahwa yang tengah dia bicarakan saat ini adalah sebuah rahasia. Hal yang tak perlu diumbar. Sesuatu yang seharusnya disembunyikan.

"Terus?" Ayasa mengernyit, menunggu. Entah mengapa, tiba-tiba ada sebersit kegelisahan yang menyelip ke dada. Melihat Bik Tuti tidak kunjung memberi jawaban atau melanjutkan, Ayasa semakin merasa tidak enak hati. "Aya tanya sendiri ke Oliver, deh."

"Enggak ada apa-apa, Non. Bibik enggak sengaja nabrak Den Oliver. Bibik penasaran aja. Den Oliver kayak agak oleng gitu. Takutnya emang sakit. Katanya pusing sedikit. Bibik tawarin obat, tapi enggak mau."

Ayasa ber-oh pelan, manggut-manggut. "Nanti Aya pastiin lagi. Makasih, Bik." Setelahnya, cewek itu mengangguk, berlalu begitu saja meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Menyisakan Bik Tuti yang menatap punggung Ayasa gamang. Setengah hati, wanita paruh baya tersebut menjerit, meneriakkan kata maaf berulang-ulang karena telah berbohong kepada putri majikan yang memperlakukan dirinya seperti keluarga sendiri selama bertahun-tahun.

"Tolong, Bik, Kang, jangan sampai Aya tahu soal ini. Tolong banget. Saya mohon."

***

Oliver menghela napas panjang, memijat pangkal hidung dengan deru napas tak keruan. Sama seperti perasaannya yang campur aduk menjadi satu. Membentuk satu kegelisahan tersendiri ketika menjawab telepon Astrid di ujung sana. "Iya, Bun. Oliver bakal pulang secepatnya. Iya, nanti Oliver sampaikan salam Bunda ke Aya. Iya, iya. Sayang Bunda juga." Panggilan berakhir.

Cowok itu mengusap wajah dengan gusar. Oliver mendongak, membiarkan semilir angin setelah hujan menerpa leher dan wajah. Hujan sudah berhenti. Awan kelabu pun bergeser, perlahan berganti dengan awan yang putih bersih. Andai saja semua yang terjadi kepadanya bisa seperti itu. Datang dan pergi begitu saja. Tanpa ada rasa gelisah. Tanpa ada ketakutan yang kerap menghantui. Oke, dia sudah berkhayal terlalu jauh. Oliver mengembuskan napas berat. Sesaat, cowok itu meringis. Merasakan nyeri di bagian dada. Ah, ingatkan dia untuk tidak menghela dan mengembuskan napas terlalu keras seperti tadi.

Oliver tidak ingin pergi. Dia masih ingin berada di sini. Bersama Ayasa. Namun, panggilan Astrid sudah menunjukkan satu hal yang jelas: Pulang sekarang. Kamu harus siap-siap. Oliver menyugar sebentar, kembali masuk ke rumah dengan langkah setengah hati. Dia tidak ingin pergi. Cowok itu mengangkat wajah, mendapati Ayasa tersenyum ke arahnya. Hal yang membuat perasaan Oliver menjadi hangat. Satu senyum simpul ikut hinggap di wajah. Jangan terlalu bucin sama Ayasa, Liv. Dia punya sahabat ganteng yang kemungkinan siap nikung kapan aja. Beberapa teman sejurusan kerap menggoda kedekatan Oliver dan Ayasa. Sekentara itukah? Kedua pipi cowok itu tanpa sadar memerah karena malu.

"Wajah kamu merah," kata Ayasa begitu Oliver mengambil posisi di sebelah cewek tersebut. "Kamu beneran enggak sakit? Jujur sama aku." Ayasa mencebik, membuat Oliver tertawa pelan karenanya. Ah, Aya. I love you. Kamu tahu itu, 'kan? "Kok malah ketawa? Aku serius, Ollie."

"Aku juga serius. Bahkan, kalau ada dua rius, aku jauh lebih serius dari itu." Oliver menyengir, meyakinkan. "Aku enggak apa-apa. Don't worry. Oke?" Cowok itu lantas melirik jam dinding yang tergantung di salah satu bagian ruang tamu. "Aku harus berangkat sekarang. Ada kelas dosen killer yang menunggu." Satu kekehan mengekor, meski rasanya aneh sekali tertawa pada saat seperti ini. Bahkan, sampai mereka berdua sampai di beranda, perasaan aneh itu tak kunjung berkurang. "Aku berangkat, ya?"

Ayasa mengangguk. "Hati-hati di jalan."

Oliver turut mengangguk, meraih tangan Ayasa, menggenggam erat telapak tangan cewek pertama yang menjalin hubungan spesial dengannya itu. "Sure. Aku enggak mau enggak bisa ngeliat wajah kamu hanya karena teledor di jalan."

"Hush!" Ayasa memelotot, cemberut. "Jangan ngomong kayak gitu."

"Bercanda."

"Aku enggak suka meskipun itu cuma bercanda."

Oliver tidak bisa menahan diri untuk tidak terpana, terharu, dan tersentuh pada saat bersamaan. "Okay, got it." Cowok itu tersenyum riang, menatap Ayasa lekat-lekat. Berharap memori tentang wajah cewek yang dia cintai itu akan selalu melekat sampai kapan pun di ingatan. "I love you."

Ayasa menunduk, mengangguk pelan. "I know that."

Ada terlalu banyak hal yang ingin Oliver katakan. Namun, untuk sekarang, ini sudah cukup. Cowok itu pamit, membuka pintu mobil, dan menarik persneling perlahan. Seolah ingin menikmati waktu, detik demi detik, ketika meninggalkan kediaman Ayasa. Oliver menggeleng pelan. Dijalankannya mobil dengan kecepatan sedang, berharap semua akan baik-baik saja. Sungguh, tidak salah, 'kan, Oliver berharap seperti itu? Di tengah kemelut pikiran yang terus membayangi, hanya ada satu hal yang dia inginkan: Aku harus sembuh. Kalau saja Astrid tidak mengingatkan, Oliver benar-benar lupa tentang hari ini. Kadang, yang dia impikan begitu sederhana. Lupakan semua, biarkan berlalu begitu saja. Sayangnya, tak semua hal bisa seindah angan.

"Jangan lupa kamu ada jadwal kemoterapi hari ini."[]



AUTHOR'S NOTE:

Salah satu bab yang bikin aku nangis. Bener-bener mixed feeling. Literally, beneran nangis. Ahaha. Iya, Guys. Aku termasuk orang yang lumayan emosional kalau nulis/baca cerita. Ikutan baper pas momen-momen lucu, romantis, dan sejenis. Ikutan mewek pas momen sendu kayak gini. Haha.

Cuma mau bilang: harapan itu ada. Trust me.

Siapkan diri. Minggu depan bakal ada sesuatu yang mungkin bikin tegang.

Literally ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro