Bab 1: Western Art Review

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Secerah mentari yang menyinari bangunan besar dengan genting berwarna biru dongker itu, Netta tersenyum bahagia. Hidupnya terasa begitu berwarna kala dia berhasil masuk ke universitas swasta impiannya.

"Akhirnya!" Cewek itu merentangkan tangan lebar-lebar sembari meraup banyak-banyak oksigen bersih pukul setengah tujuh pagi dengan hidung mungilnya. Rambut panjang ikalnya yang dibiarkan tergerai bebas sesekali bergerak disapa angin pagi. Celana panjang hitam berbahan katun, berpadu dengan blus tunik hitam bermotif bintang menjadi pilihannya; tampak sederhana, tetapi rapi.

Setelah dua bulan penantian, ini hari pertama dia resmi menjadi mahasiswa tingkat satu jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pionir Nusantara di Jakarta Selatan. Mata bulat dengan iris hitam pekat itu menilik setiap sudut kampus yang terlihat. Gedung Fakultas Seni Kreatif dan Desain memiliki dua lantai dengan nuansa biru cerah. Beberapa sudut koridor dihiasi patung hasta karya Jurusan Seni Patung.

Fakultas ini memiliki satu hall besar untuk tempat jurusan Seni Pertunjukan melakukan pagelaran, sekaligus tempat bagi jurusan Seni Murni dan Desain menyelenggarakan pameran karya. Netta benar-benar merasa takjub. Pinus sungguh kampus idaman banyak orang, termasuk dirinya.

Namun, mendadak senyum lenyap dari wajahnya ketika dua kata melintas dengan cepat di kepala.

Drop out.

Netta berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu. Dia harus yakin bahwa tidak akan ada yang tahu rahasianya. Bukankah om sekaligus dokternya itu juga sudah setuju? Bukankah kini dia berhasil masuk dan siap menerima pelajaran pertamanya?

Cewek itu menyibakkan anak rambut yang menutupi matanya. Sama sekali tak mudah membujuk omnya untuk memalsukan surat kesehatan. Akan tetapi, beliau akhirnya luluh demi permohonan satu-satunya keponakannya itu, yang diiringi banjir air mata di wajah. Netta sudah berjuang sejauh ini dan tak akan bisa mundur lagi.

Siapa pun enggak bisa menggagalkan mimpiku! Netta mengulang sugesti itu dalam benaknya sebelum kembali melanjutkan langkah menuju kelas di lantai dua. Sepatu keds hitam pun menjadi pilihan demi kenyamanan naik turun tangga seperti ini.

Kelas masih kosong. Kuliah memang baru akan dimulai pukul tujuh lewat dua puluh. Namun, rasa bahagia yang membuncah membuat Netta memutuskan berangkat lebih pagi. Lagi pula, jalan menuju kampus adalah neraka bagi kendaraan roda empat jika sudah mendekati pergantian sif.

Netta menyapukan pandangan ke sekeliling kelas. Matanya tertumbuk ke sebuah kursi di tengah ruangan. Tempat yang cukup ideal untuk tidak tampil mencolok. Cewek itu bergegas bergerak, kemudian menyelipkan tubuhnya untuk bisa duduk di kursi kuliah bermeja itu.

Ada kelegaan saat Netta mulai mengeluarkan binder B5 dan pulpen, kemudian menyimpan tas di bawah kursi. Sayangnya, ketenangan itu kembali terusik ketika dua cewek masuk sambil mengobrol akrab.

Ah, Netta tersadar, saat masa orientasi, dia begitu pemalu dan pasif dalam setiap kegiatan. Dirinya nyaris tidak bicara. Ketika teman-teman sekelasnya mulai mengenal satu sama lain, cewek itu hanya bisa memandang dari kejauhan.

Netta menggigit bibir bawahnya. Apa dia harus menyapa? Jika nanti mereka mengobrol akrab, bisakah Netta tidak kelepasan membuka semua kebohongannya? Ketakutan itu membesar hingga akhirnya Netta hanya menunduk dan mencoret-coret isi bindernya asal-asalan.

Ada napas tertahan ketika kedua mahasiswi itu tersenyum kepadanya. Netta menaikkan ujung bibirnya sedikit ke atas dengan ganjil. Rasa was-was mendominasi, membuat ekspresinya sungguh tak sedap dipandang. Kedua teman sekelasnya itu berbisik sebelum kemudian memilih duduk di pojok kanan kelas.

Netta mengeluh dalam hati. Sejak tahu punya kelainan, dia semakin jauh dari rasa damai. Kebahagiaannya selalu terbelenggu oleh pemalsuan yang dia lakukan. Embusan napas panjang terdengar.

Setiap ada orang memasuki kelas, jantung Netta berdegup lebih keras. Bahkan, ketika kelas hampir terisi penuh, jemarinya makin cepat bergerak mencoret kertas. Apa dia harus seperti ini terus? Merasa cemas akan sesuatu yang dia putuskan sendiri? Merasa terkurung akibat kelainan yang ditakdirkan Tuhan hadir di tubuhnya?

Netta berusaha tak acuh. Dia bahkan tidak sadar ada cowok berkacamata masuk ke kelas dan bergerak ke arahnya. Wajah oriental dengan rambut hitam lurus yang sedikit berponi ke samping membuat cowok itu terkesan sangat serius. Kemeja panjang biru dan celana katun hitam dengan gesper di pinggang terlihat sangat resmi. Cowok itu dengan santai langsung duduk di samping Netta tanpa sapaan apa pun. Pasti karena hanya itulah kursi yang tersisa.

Tak lama berselang, seorang wanita paruh baya muncul. Akhirnya, Netta bisa mulai terfokus pada materi yang hendak disampaikan tanpa harus memperhatikan orang di kiri dan kanannya.

Western Art Review.

Sejujurnya, Netta tak begitu menyukai sejarah. Nama-nama pelukis zaman Renaissance dan Mannerism terlalu malas dihafalnya. Belum lagi mengingat segala jenis lukisan, nama penemu gambar purbakala di gua, membuat kepalanya pusing duluan. Akan tetapi, pada mata kuliah ini, dia tak perlu khawatir rahasianya akan terbongkar. Karena itu, Netta berusaha semaksimal mungkin menyimak penjelasan dosen dan mencatat apa pun yang dirasa penting.

"Nah, daripada kalian mengantuk, ayo kita buat kelompok." Dosen yang masih terlihat cantik itu tersenyum sembari mengedarkan pandang.

"Siapkan kertas." Dosen itu tampak senang melihat beberapa mahasiswa begitu cekatan mengambil kertas masing-masing. Jemarinya kemudian menunjuk setiap deret yang terdiri atas tiga buah kursi. "Kelas ini dibagi per tiga kursi. Nah, silakan buat tim dengan anggota tiga orang sesuai deretan kursi, dan buat makalah tentang salah satu pelukis yang menurut kalian menarik. Minggu depan, akan saya acak untuk maju presentasi."

Dengungan protes menguar di udara, tetapi dosen itu hanya tersenyum santai seolah sudah menduga reaksi yang timbul.

Netta melirik selintas kepada cowok berkacamata di sebelah kanannya. Mata cowok itu sipit dan tajam. Hidungnya lumayan mancung, dengan bibir tipis yang tegas. Dia masih sibuk menulis dengan wajah serius yang tampak sulit didekati.

Netta terkesiap saat menoleh ke arah kiri. Seorang cowok berambut kecokelatan sedang menelungkupkan wajah di meja dengan beralaskan tangan yang terlipat. Matanya terpejam dan napasnya terdengar sangat teratur.

Apa dia tidur? Netta membatin khawatir.

"Siapa nama kamu?" Suara bariton yang tegas menyentak Netta. Dia menoleh kembali ke arah sumber suara. Cowok berkacamata itu mengangkat alis dan memutar-mutar pulpen di tangan kanannya.

"Netta. T-nya dua."

Dia berdecak. "Nama lengkap, dong!"

"Annetta Shelladhika Putri."

Lagi-lagi cowok itu tampak tak suka kala mendengar nama Netta yang dirasa jauh dari kata mudah. "Tulis sendiri!"

Netta merengut melihat perlakuan teman barunya itu. Saat dia hendak menggoreskan tinta, dibacanya nama yang tertulis di nomor pertama.

"Arundal?" bisiknya lirih.

"Kenapa? Ada masalah?" Aru menatap tajam seolah sudah mengira Netta akan sedikit tergelitik melihat namanya yang hanya terdiri satu kata itu.

Netta buru-buru menggeleng dan menuliskan namanya di bawah nama kenalan barunya tersebut.

"Bangunin, tuh!" Aru mengangkat dagunya sedikit.

Netta melirik cowok berkaus biru dongker itu dengan khawatir. Bahkan, guncangan di bahu tak menggoyahkan dengkuran halusnya. Sial!

"Hei, siapa namamu?" Netta berbisik.

Tak ada jawaban.

"Mundur!" Aru menelengkan kepala, memerintahkan Netta untuk bersandar sepenuhnya pada kursi. Setelah melihat cewek di sebelahnya menurut, menggunakan buku Western Art Review yang memiliki sampul keras dan kuat, dia memukul kepala cowok yang masih juga terlelap itu.

"SAKIT, SIALAN!" Cowok itu berteriak sembari menepis buku yang hendak dihantamkan ke kepalanya sekali lagi.

Sontak semua mahasiswa di kelas menoleh ke arah sumber suara, termasuk ibu dosen yang justru tertawa pelan. "Makanya, di kelas jangan tidur." Tak ada tanda marah di matanya. "Minggu depan tim kalian yang akan presentasi duluan, ya!"

Netta merasa detak jantungnya berhenti sejenak, tetapi Aru sama sekali tak terlihat terpengaruh. Sementara itu, si cowok berambut cokelat berusaha tertawa canggung dan segera melirik ke arah lawan yang berani menyakiti kepalanya.

"Apa, sih, masalah lo?!" Alis tebalnya bertaut dalam. Iris cokelat cerahnya berkilat marah.

"Nama," Aru berujar dingin.

"Lo naksir gue segitunya sampai main kasar segala buat kenalan?!" Cowok itu menyipitkan mata curiga.

Netta nyaris tertawa keras kalau saja tak bisa mengendalikan diri. Cowok dengan hidung mancung, wajah tirus, dan bibir bervolume itu tampak masih terlihat waspada. Diliriknya Aru yang hanya mengangkat alis kanannya sedikit.

"Nama, buat kelompok presentasi Western Art minggu depan." Netta akhirnya menimpali.

Mulut cowok berkulit sawo matang itu membulat. "Lo aja yang nulis. Tulisan gue cuma bisa dibaca oleh Tuhan dan diri gue sendiri."

Netta lagi-lagi tersenyum mendengarnya. "Jadi, siapa?"

"Ray Hidayata."

Netta tersenyum melihat nama yang kini tertulis di atas kertas. Satu kata, dua kata, dan tiga kata. Seperti tangga. Mungkin mereka bertiga bisa berteman baik.

Namun, tiba-tiba kilatan itu kembali hadir. Netta tak boleh lengah. Jangan sampai rahasianya diketahui kedua cowok berlainan sifat ini. Terlalu akrab dengan seseorang bisa membawa petaka.

Ya, dia akan menutup rapat-rapat rahasianya.

Lulus dengan nilai baik. Hanya itu keinginannya.

***

Ketika bel tanda berakhirnya kelas terdengar di sepenjuru Fakultas Seni Kreatif dan Desain Pinus, Netta sibuk berusaha menahan kedua cowok yang dengan cuek hampir meninggalkan kelas itu.

"Ini diomongin dulu, kek!" Cewek itu merengut kesal melihat betapa tidak acuhnya kedua teman sekelompoknya. Padahal, mereka akan maju presentasi minggu depan juga karena ulah keduanya.

"Mau ngomongin apa?" Mata Aru menyipit tak senang. Dia melirik jam tangan kulitnya. "Aku sibuk. Dalam lima puluh menit aku harus sampai di kos. Cepetan!"

Mendengar betapa ketusnya cowok itu, keberanian Netta jadi menciut. Namun, jika tidak dibicarakan sekarang, cewek itu khawatir mereka tidak akan punya waktu lagi. Dia dengar tugas-tugas di DKV sangat berat sehingga tidak ada waktu untuk menumpuknya.

"Kita ngobrol di kantin aja. Gue laper." Tanpa menunggu persetujuan Netta dan Aru, Ray langsung bergegas keluar kelas.

Aru mendengkus dan segera menyusul. Netta hanya bisa pasrah sembari menyambar tas, mengikuti langkah panjang kedua cowok itu.

Kantin terlihat mulai dipenuhi orang-orang yang ingin mengisi perut. Suara riuh rendah terdengar kala para mahasiswa mengantre untuk memesan menu kesukaan mereka. Ruangan tertutup yang cukup besar, dengan jejeran bangku-bangku panjang memang cocok menjadi tempat makan siang. Aroma masakan yang menguar bercampur baur, menggugah selera.

Ray langsung memesan seporsi bakso komplet dan segelas es jeruk. Aru hanya bersedekap dan menanti Netta untuk berbicara.

"So, kita mau bahas siapa?" Ray menunjuk Netta dengan bakso yang tertusuk di ujung garpunya.

Alih-alih menjawab, Netta mengibaskan tangan, memberi tanda agar cowok itu meletakkan kembali bakso berlumur saus yang sempat mendekat ke wajahnya. Menyebalkan!

"Kurasa Sandro Botivelli menarik," Aru menyambar sebelum Netta sempat membuka mulut.

Ada embusan panjang terdengar. Tampak jelas Netta berusaha sangat sabar menghadapi dua cowok yang tampak tak tahu cara bertata krama dengan perempuan ini.

"Malesin. Kurang cetaaar!" Ray mengangkat kedua tangan di depan dada sembari melebarkan kesepuluh jemari dan digetarkan dengan berlebihan. Mulutnya yang terbuka lebar dengan kunyahan bakso yang terlihat jelas itu membuat Netta ingin menyumpalnya dengan sandal.

"Terus, siapa?"

Bukannya menjawab, Ray justru menyuapkan satu bakso lagi ke mulutnya. Untung saja Aru masih bersabar dan tidak menghantamkan buku yang sama ke kepala cowok itu.

"Gimana kalau yang standar aja?" Netta meletakkan jemarinya ke dagu seraya berpikir. "Leonardo, gimana?"

Ray baru saja hendak memprotes, tetapi Netta langsung mendelik hingga cowok itu terdiam.

"Kenapa dia?" Aru mengerutkan kening heran.

Netta mengangkat bahu sedikit. "Ini baru pelajaran pertama. Masih ada mata kuliah lain yang kita enggak tahu tugasnya apa. Kalau kita ribet cuma karena pengin cari yang unik dan cetar, nanti malah keteter!"

Aru mengangguk sedikit. "Masuk akal."

Netta tampak semringah mendengar Aru menyetujui usulannya. "Jadi, semua energi dan waktu kita bisa dipakai buat nyari info lebih detail yang enggak banyak orang awam tahu soal makhluk ini."

"Njir, makhluk! Enggak sopan lo!" Ray berusaha menahan tawa.

Netta hanya tersenyum penuh arti. "Nah, kita bagi tugasnya gimana, nih?"

"Aku cari detail karya, Ray cari soal sejarah hidupnya, kamu yang ngerangkum. Cewek lebih teliti soal kepenulisan." Aru mengangguk puas dan langsung berdiri.

Netta hendak mengajukan protes, tetapi kini giliran Aru yang mengarahkan telunjuknya ke arah mulut cewek itu. "Enggak usah mendebat! Aku bakal bikin kerjaan kamu mudah hingga kamu tinggal copy-paste karanganku aja. Enggak tahu, deh, kalau tulisan dia." Aru memindahkan tatapannya kepada Ray yang masih juga menambahkan saus ke mangkuk baksonya.

Kemudian, tanpa mengindahkan mulut Netta yang manyun lima mili ke depan, Aru meninggalkan kantin.

"Lo mau nemenin gua makan sambil kita kencan, apa gimana?"

Netta menggerutu. Bagaimana bisa takdir membuatnya berada dalam satu tim dengan satu cowok jutek luar binasa dan cowok lain yang suka merasa dia ditaksir cewek-cewek di sekelilingnya? Ya Tuhan!

Netta pun menyambar tasnya dan pergi meninggalkan Ray yang justru terkekeh pelan di kursinya.

***

Mobil yang disetir Netta memasuki garasi rumahnya. Macet ternyata lumayan menguras energi, meski terhitung cukup dekat. Apa lebih efisien jika dia naik ojek daring saja? Namun, membawa perkakas gambar dengan ojek tampaknya kurang praktis.

Cewek itu mengucap salam meski tahu tidak akan ada yang menjawab. Netta akan sendirian hingga papanya pulang sore nanti. Dia memutuskan memesan makan siang melalui ojek daring sebelum bergerak menuju kamar.

***

Sore itu, Netta baru saja selesai membersihkan tubuhnya ketika suara ketukan terdengar.

Netta membukakan pintu dan langsung mempersilakan masuk.

"Gimana hari pertama kuliah?" Suara rendah penuh wibawa terdengar dari sosok pria paruh baya dengan kacamata bertengger di batang hidung mancungnya.

Cewek itu berusaha tersenyum riang. "Baik, Pa! Udah dikasih tugas, malah."

Netta langsung kembali duduk di atas kasur dan Ahsan duduk di sebelahnya. Pendingin ruangan menyemburkan hawa segar. Kamar Netta lumayan besar, dengan dekorasi minimalis berwarna dominan putih. Hanya ada satu kasur single, satu lemari pakaian dua pintu, satu meja rias, dan satu meja belajar lengkap dengan laptop, printer, dan drawing pad.

Ahsan mengelus rambut Netta penuh kasih. "DKV emang gitu. Jadi inget, dulu pas Mama nge-date sama Papa, eh malah sambil gambar. Untung Papa Jurusan Manajemen. Kebayang enggak kalau Papa juga DKV? Nge-date bakalan jadi acara gambar bareng." Mata pria itu menerawang mengingat kenangan masa lalu sebelum kemudian terkekeh bahagia.

Ada rasa rindu yang menyenangkan kala Netta mendengar papanya bercerita tentang almarhumah sang mama. Kenangan masa muda mereka yang seru, acap kali didongengkan kepadanya. Netta tak sekali pun merasa bosan meski telah mendengarnya berulang kali.

"Kamu bener-bener mirip Mama." Ahsan tampak sangat bangga. "Pasti kamu lulus segemilang Mama."

Netta masih berusaha tak terlihat cemas dan hanya mengangguk. "Netta bakal jadi desainer grafis sehebat Mama," ucapnya sungguh-sungguh.

Senyum terkembang di wajah Ahsan. "Lalu kita berdua akan bahu-membahu memajukan perusahaan Papa." Pria itu mendekap putri tunggalnya dengan penuh sayang.

Hanya anggukan kecil yang diberikan Netta sebagai jawaban.

"Ya udah, istirahatlah. Besok kuliah apa?"

"Drawing One."

"Wah, kesukaanmu, tuh." Ahsan melirik tumpukan buku gambar di sudut ruangan.

Netta mengangguk kuat.

Ketika Ahsan sudah keluar, cewek itu mengempaskan tubuh ke kasur. Semua terasa melelahkan. Jangan sampai papanya tahu bahwa dia buta warna parsial.

Omnya berkata ini genetik dan langsung membuat Netta mengingat pelajaran masa SMA tentang gen buta warna. Saru hal yang mengganjal, kenapa Ahsan tidak mengidap buta warna? Bukankah seharusnya anak perempuan yang buta warna hanya bisa didapat dari ayah yang buta warna dan ibu pembawa gen? Ataukah Ahsan hanya belum menyadari kondisinya? Sama seperti Netta yang baru sadar bahwa dirinya buta warna saat tes kesehatan?

Netta menarik napas panjang dan memejamkan mata. Dia takut untuk bertanya, cemas akan reaksi papanya. Apakah beliau bisa menerima jika anaknya buta warna? Bagaimana jika Ahsan justru merasa bahwa putrinya adalah produk gagal?

Netta terus berpikir macam-macam hingga akhirnya kelelahan dan jatuh tertidur.

***

Hawa terasa masih dingin sisa hujan semalam. Namun, tanah basah dan aroma lembap tak membuat Netta malas ke kampus. Semua berkat pelajaran yang mungkin akan menjadi kesukaannya. Drawing One.

Jika mahasiswa jurusan lain sudah tenang mengikuti pelajaran di kelas, ada banyak anak DKV yang justru berkeliaran di luar. Mereka duduk di tepi pelataran, berkerumun di taman belakang, dan masih banyak tempat lainnya.

"Kenapa lo deket-deket gue?" Lagi-lagi Ray menyengir sambil memamerkan giginya yang putih bersih.

"Ya, ampun, emangnya aku enggak boleh gambar pohon itu?" Netta menggerakkan kepalanya ke arah pohon tinggi dengan batang pohon yang kukuh. "Lagian, di sini adem dan enggak becek. Posisinya pewe!"

"Lagian, enggak cuma dia yang ada di sini." Aru tiba-tiba ikut menimbrung. Cowok itu benar. Memang ada beberapa mahasiswa yang juga duduk di sekitar sana untuk melukis objek yang sama. Pohon berbatang besar dengan detail kayu memang sangat menarik sebagai objek lukisan. Meski beberapa mobil dosen yang terparkir menghalangi pemandangan, tetapi pohon itu cukup menonjol dibandingkan benda lain di sekitar mereka.

Ray berdecak. "Berarti mereka semua ngikutin gue."

Netta memutar bola matanya, pasrah. "Orang narsis susah," bisiknya.

Ray hanya tertawa kecil dan memulai mencoret buku gambar ukuran A3 di pangkuannya. Dalam satu jam, sketsa-sketsa pensil sudah mulai terbentuk.

Akhirnya, Netta mengubah rencana. Dia tak jadi menggambar pohon setelah mendengar betapa narsisnya Ray karena menganggap semua yang menggambar objek itu menirunya.

Netta cukup puas dengan sketsanya. Dia fokus menggambar mobil sedan yang tampak mencolok. Semua sudah terarsir, hanya tinggal merapikan beberapa detail. Cewek itu sangat senang dengan tugas yang hanya membutuhkan arsiran pensil itu. Kondisi buta warnanya tidak akan mengganggu sama sekali.

Cewek itu melirik ke arah Ray. "Gitu doang?" Netta tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat hasil lukisan Ray. Cowok itu hanya menggambar sebatang pohon, dengan arsiran gelap yang sangat minim.

Aru ikut memperhatikan gambar di atas kertas itu "Kamu mau gambar realisme atau komik?"

Ray berdecak beberapa kali sembari menggeleng. "Kalian enggak denger yang dibilang dosennya?" Dia berdeham dan menegakkan tubuh, meniru gaya dosen mereka. "Gambarlah objek paling menarik yang ada di kompleks Fakultas Seni Kreatif dan Desain Pinus. Tanpa penggaris, tanpa penghapus." Ray mengibaskan tangannya ke rambut yang sedikit menutupi mata kanannya dengan gaya tengil menyebalkan. "Apa dia bilang harus realisme?"

Netta tercenung sejenak. Namun, dia masih tak bisa menerima. "Ya kali boleh dikartunin gitu."

"Terserahlah." Aru tak peduli dan kembali berkutat dengan kertasnya.

"Wow!" Decakan kagum tak terbendung keluar dari mulut Netta. "It's brilliant!"

Aru menoleh sejenak. "Gambarku?" tanyanya memastikan.

Netta mengangguk kuat. Bagaimana tidak, Aru menghasilkan gambar seperti foto hitam putih. Satu batang pohon dengan arsiran pensil yang luar biasa detail dan tegas. Arsiran milik cewek itu terasa begitu sederhana dibandingkan buatan Aru.

"Kamu suka gambar hyperrealism?"

Dia hanya mendapat anggukan tipis sebagai jawaban.

"Serius, Ru! Kamu berbakat, pakai banget! Ini, sih, bukan cuma dapat A! Tapi, A plus plus plus! Aku yakin kamu bisa jadi pelukis kenamaan! Lalu, kalau kamu bikin pameran sendiri, aku pasti jadi tamu pertama!" Netta masih tak bisa menghentikan seluruh kekaguman yang meluncur mulus dan tulus dari bibirnya.

Saat itu, Netta bisa melihat Aru melengkungkan bibir ke atas. Wajah yang biasanya kaku, terlihat melembut dan begitu memesona. Netra di balik kacamata itu berbinar penuh harap.

"Thanks," bisik Aru, dan kembali menunduk melanjutkan gambarnya.

Tanpa bisa dijelaskan, Netta merasakan sesuatu yang menyenangkan mengaliri dadanya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro