Bab 14: Serangan Balasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di meja yang terletak agak di dalam, Netta duduk dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Sudah lama dia ingin makan di kedai yang katanya paling antik di lingkungan PINUS ini. Ditambah, dia sudah berdamai dengan Aru dan Ray sehingga pagi ini terasa begitu menyenangkan.

Benar saja, interior penuh kayu bergaya vintage mendominasi. Entah mengapa, Ray begitu benci makan di sini. Apa makanannya tak seenak harapan? Namun, Netta sering melihat pembeli membludak di kala siang. Beruntung pagi ini tempat tersebut masih tampak sepi.

Netta bisa melihat semua meja dan kursi di sini berupa ukiran jati yang sangat indah. Bahkan, kamera CCTV di langit-langit kedai pun diberi hiasan ukiran kayu tipis di sekitarnya agar tidak terlihat mencolok dan terkesan modern. Dinding dipasangi papan tulis hitam berisi menu istimewa hari ini yang ditulis tangan hingga terlihat sangat menarik.

Bongko mento yang menjadi menu khusus camilan terlihat cukup menjanjikan. Bentuknya mirip nagasari, tetapi isiannya daging, jamur, dan terasa gurih. Lontong krubyuk juga tampaknya cocok untuk menu sarapan ditemani blenyik. Kombinasi lontong pedas dan gorengan teri hangat pasti luar biasa. Membayangkannya saja perut Netta sudah keroncongan. Namun, dia harus bersabar dan memesan bersama kedua sahabatnya nanti.

Netta tampak ceria ketika mendengar suara pintu terbuka. Akan tetapi, senyum itu menguap cepat ketika melihat siapa yang datang.

"Bonjour, La Chere!" Ale melangkah anggun diiringi selir-selirnya.

Netta baru saja akan berdiri ketika Cassandra menekan bahu cewek itu dan menyuruhnya kembali duduk.

"Mau ke mana, Darl?"

"Aku enggak mau ngobrol sama orang yang merasa lebih pinter, lebih cerdas, dan terutama enggak bisa bedain mana tugas yang dikerjain sendiri sama dibikinin orang lain!" Netta berusaha berontak, tetapi sayangnya, tekanan Cassandra juga cewek-cewek di sekitarnya membuat Netta tak bisa berkutik.

Alis Ale mengerut dalam. "Ah, ada tukang ngadu, ternyata." Akan tetapi, senyum memesona itu kembali terpasang. "Masa kamu percaya sama bualan mereka? Aku enggak mungkin begitu, 'kan?"

Netta terlalu malas untuk menanggapi cowok narsis sekaligus bebal di hadapannya itu.

Ale kemudian duduk dengan gaya bak raja di hadapan Netta. "Apa lo udah istirahat? Gue lihat lo udah segeran. Bisa tolong lanjutin warna? Nanggung. Tinggal dikit lagi selesai, 'kan?"

Netta merasa telinganya berdengung. Bagaimana bisa cowok di hadapannya begitu tebal muka dan masih meminta seperti itu. Lagi pula, apa-apaan sekarang dia membawa banyak sekali cewek-cewek? Apa Ale ingin dirinya cemburu? Jangan mimpi!

Ya ..., mungkin Ale tidak sadar kejadian kemarin sudah direkam. Namun, aneh jika Ale tiba-tiba membawa banyak sekali cewek saat ini, termasuk Cassandra, yang berani mencoba memukulnya di perpustakaan waktu itu.

Atau, jangan-jangan Ale sudah tahu Netta tak akan mau lagi membantu hingga cowok itu memikirkan cara yang lain? Netta merasa dirinya tak bisa mengalah terus.

"Kerjakan sendiri! Aku masih banyak urusan." Kali ini, Netta berusaha berdiri meski Cassandra masih terus memeganginya.

Saat itu, terdengar gebrakan di meja.

"Gue enggak nerima penolakan!" Ale bangkit. Tubuh jangkungnya menjulang ketika mendekati Netta yang kembali terduduk ketakutan. Cowok itu mencengkeram lengan Netta dan menariknya hingga cewek itu berdiri. "Gue udah bilang, cuma lo yang berhak nolong gue!"

"Tapi, aku enggak mau!" cicit Netta frustrasi.

Lengan kukuh Ale mengguncang-guncang bahu Netta hingga kepala cewek itu bergoyang-goyang seperti hiasan di dasbor mobil. Kepalanya terasa berputar.

"Lepasiiin!" jeritnya.

Ale mendorong sekaligus melepaskan genggamannya. Netta terhuyung dan menabrak meja konter. Cewek itu tahu dia dalam bahaya. Dia berusaha berlari ke arah pintu keluar. Sayangnya, pintu dijaga dua cewek bertampang garang yang tampak tak mudah untuk disingkirkan.

Brak!

Bersamaan dengan suara keras pintu terbuka, satu cewek terdorong dan terjungkal ke depan, sementara yang lain terdorong ke samping.

Tampak siluet menentang cahaya mentari yang menyinari kedai. Dua cowok bertampang serius menyerbu masuk. Netta dengan segera berdiri di balik punggung kedua sahabatnya. Tubuhnya gemetaran dan wajahnya memerah menahan tangis.

"Wah!" Ray maju beberapa langkah, meninggalkan Netta dalam perlindungan Aru yang memilih menggeser posisinya menjauh dari pintu ke sebelah kiri.

Cewek-cewek di sekitar Ale tak ada yang berani mendekati Ray yang kini terlihat seperti singa buas, siap menerjang siapa pun yang berani menghalangi. Meski tidak sejangkung Aru ataupun Ale, tinggi Ray yang mencapai 176 cm cukup mengintimidasi mereka semua.

Ale menatap sinis dan sama sekali tidak terlihat takut. Justru kesal karena perburuannya tiba-tiba terusik. "Jangan ganggu gue!"

"Ganggu?" Ray tergelak. Langkahnya semakin mendekati Ale. "Ternyata kegantengan lo cuma kamuflase buat nutupin fakta kalau sebenarnya otak lo enggak lebih gede dari kedelai."

Ale terbeliak. Matanya memerah mendengar ada cowok buruk rupa berani menghinanya di depan banyak cewek.

Mimik Ray tiba-tiba berubah terkejut "Oh ..., sorry..., I mean, otak lo enggak lebih cerdas dari otak keledai. Ah, whatever! They're the same thing!"

"Lo mancing?" Ale merasakan telinganya berdengung? Amarah mulai menguasai batinnya.

Ray menelengkan kepalanya sembari menyunggingkan senyum sinis penuh penghinaan. "Ngapain mancing ameba? Enggak level!" Suara kekehan terdengar. "Gue enggak bakal mancing makhluk yang bahkan enggak punya harga diri sampai minta dibuatin tugas pakai acara maksa kayak gini."

Ale tiba-tiba mengayunkan kepalan dan menghantam pipi kiri Ray sekuat tenaga. Cowok berambut ikal itu terpental ke belakang dan sudut bibirnya langsung mengeluarkan darah. Netta menjerit dan ingin berlari ke arah Ray, tetapi Aru menahannya.

Ale kalap. Belum pernah seumur hidupnya ada yang berani menghinanya seperti tadi. Dirinya pasti akan membuat Ray babak belur. Pukulan kedua dilancarkan ke arah perut.

Suara hantaman terdengar keras hingga Ray tanpa sadar mengaduh dan menyemburkan air dari mulutnya mengenai baju Ale. Cowok blasteran itu semakin murka melihat bajunya ternoda.

Netta kembali berusaha maju untuk melerai, tetapi Aru masih bergeming dan menahan lengannya.

Belum sempat Ale maju untuk yang ketiga kali, suara pintu yang lagi-lagi dibuka keras dan kasar terdengar.

Dua sosok bertubuh besar berpakaian serbahitam menerjang masuk. Satu orang langsung menahan gerakan Ale dan yang satunya langsung memeriksa kondisi Ray yang langsung mendapatkan penolakan.

"Gue enggak apa-apa. Urus aja si protozoa!"

"Baik, Mas." Pria berbadan kekar itu langsung menyusul rekannya memegangi Ale yang semakin memberontak, tetapi tetap tidak mampu berkutik.

"Lepasin! Siapa kalian?" Ale masih berusaha meronta, akan tetapi dua pria itu seperti karang dan sama sekali tak tergoyahkan.

Para cewek di sekitar mereka ketakutan. Tak satu pun berani angkat bicara. Mereka berpegangan kepada satu sama lain sembari menyaksikan semua kejadian mendadak ini. Bagaimana tidak? Dua pria bertubuh gempal dengan wajah garang kini memegangi pangeran mereka.

Mengerikan!

Ray meringis dan mengelap bibirnya. "Aku benci diam doang saat dipukul. Sakit, tahu!"

Cowok itu menoleh ke arah Aru dan berseru. "Awas kalau taktikmu ini sampai gagal!"

"Tidak akan," balas Aru penuh percaya diri.

"APA MAKSUD KALIAN?!" Ale masih meraung.

Ray menyugar rambutnya ke belakang, tak memedulikan ocehan Ale. "Net, kamu tahu kenapa aku benci makan di kedai ini?"

Netta menggeleng perlahan. Cewek itu masih mencerna semua yang terjadi di hadapannya.

"Ini kedai papiku. Dia sengaja nyuruh aku masuk PINUS karena punya kedai ini. Katanya biar menjamin makananku supaya enggak kangen Jepara." Ray memutar bola matanya malas. "Tapi aku enggak suka diatur-atur cuma buat makan aja. Makanya aku malas ke sini."

Netta membuka mulutnya penuh keterkejutan.

"Terus, Aru bilang, Ale pasti marah karena kemarin kamu udah enggak mau bantuin dia plus nolak undangan makan siang dia." Ray menoleh ke arah Ale. "Ameba sok jadi raja ini pasti terluka harga dirinya."

Netta masih kehabisan kata-kata. Kedua sahabatnya tahu sampai sedetail itu? Cewek itu membeliak. Mereka tahu! Ray dan Aru tahu dia membantu Ale sejak di perpustakaan. Namun, mereka memilih diam dan menghargai keputusan yang justru malah merepotkan keduanya.

Ya, Tuhan, apa yang telah dirinya lakukan? Netta bahkan merasa dirinyalah telah membuat Ray terluka.

"Ray terluka atas keputusannya sendiri. Itu sama sekali bukan salahmu," Aru tiba-tiba berbisik seolah bisa membaca pikirannya.

Lagi-lagi, ekspresi Netta begitu mudah dibaca kedua sahabatnya. Cewek itu merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dada.

"Gue sebenernya benci minta bantuan Papi buat beginian." Ray menarik napas. "Meski gue yakin, gue bisa bikin wajah bakteri satu itu enggak berbentuk, gue enggak boleh berkelahi." Ray mengepalkan tangannya di depan dada. "Karena nanti lo keseret-seret." Cowok itu menoleh ke arah Netta dengan pandangan yang lembut.

"GUE ENGGAK PEDULI! GUE BAKAL ANCURIN KALIAN SEMUA!" Ale masih meraung meski posisinya masih tak berdaya.

Ray mendekat ke arah Ale, "Oh, ya? Kita lihat apa yang kira-kira bakal dilakukan oleh pemilik perusahaan ukiran antik paling tersohor di Asia kalau tahu putra tunggal kesayangannya dipukul cecunguk, ya?"

"Lo enggak punya bukti kalau gue yang lakuin! Saksi gue jauh lebih banyak!"

Aru mencebik dan mengeluarkan gawai dari saku kemejanya. "Mode merekam sudah on sejak tadi. Ada di bajuku dan baju Ray. Kamu bisa membayangkan isinya, bukan?"

Ray terbahak. "CCTV di kedai ini juga sudah merekam sejak awal. Kami juga punya rekaman sejak Netta membuatkan PR-mu di perpustakaan. Lo pikir kenapa gue minta Netta buat ke sini?"

"Kami enggak sebodoh itu." Aru mengeluarkan senyum mengerikan yang memiliki hawa membunuh dahsyat.

"INI FITNAH! GUE BAKAL ADUIN KE KAMPUS KALIAN UDAH MENCEMARKAN NAMA BAIK GUE!" Ale makin meracau tak jelas.

"Silakan kalau lo siap dengan tuntutan mengajak cewek-cewek untuk mengeroyok satu cewek di dalam kedai."

Ale mengumpat keras. Dia masih tak menyerah. Dia sesumbar akan menyewa pengacara mahal dan siap untuk melumatkan lawan-lawannya.

"Pernah denger Deddy Yudhistira?" Ray memajukan wajahnya hingga berjarak dua puluh senti dari wajah Ale yang memerah.

"Iya! Itu pengacara terhebat di Indonesia! Memenangi ratusan kasus dalam waktu singkat." Mata Ale tampak bersemangat. "Gue bakal sewa dia! Berapa pun biayanya, gue bisa bayar!"

Ray tergelak. "Mau sewa berapa pun dia enggak bakal mau. Gue jamin!"

"Sok tahu!"

"Lo pengin sewa ahli hukum yang bisa menyelesaikan masalah ini di meja hijau dalam sekali kedipan mata itu? Mustahil." Ray menoleh ke arah Aru yang masih tak berekspresi. "Mana mau dia menuntut anaknya sendiri."

Tiba-tiba Ale membeku. Cowok itu kehabisan kata-kata.

Netta tak kalah terkejut. Setelah syok mendengar siapa ayah Ray, kini dia terkena serangan telak saat tahu siapa ayah Aru. Tak mungkin pengacara kondang luar biasa itu adalah ayah Aru! Akan tetapi, sifat dingin, tegas, dan penuh perhitungan Aru memang sesuai.

"Jadi, masih mau lanjut?" Ray memberi kibasan tangan dan kedua bodyguard itu langsung melepaskan Ale.

Cowok itu menatap nanar dengan netra birunya. Namun, dia tak berani bertindak gegabah. Kamera CCTV dan juga kedua gawai di saku kemeja lawannya masih merekam dengan sempurna.

"Kalian pasti bakal gue balas!" Ale masih berusaha mengancam meski tahu ancamannya hanya seperti cahaya lilin menentang matahari. Cowok itu pun pergi diikuti seluruh selirnya yang juga ketakutan ikut terbawa masalah.

Ray mendekat ke arah kasir yang tadi menghubungi Ale untuk datang. Wajah cewek itu pias. "Jadi, Nona, lo mau ikut Ale, apa mau bertobat dan tetap kerja di sini?"

"Maaf, Mas, sa-saya ...." Cewek itu tergagap.

"It's okay. Gue kasih kesempatan kedua. Tapi, kalau lo macem-macam or keliatan terlibat dalam penggencetan Netta kayak di perpustakaan waktu itu, siap-siap aja nyari pekerjaan baru!"

Cewek itu mengangguk penuh rasa terima kasih. Nafsu sempat membutakannya dan dia sangat bersyukur Ray memberinya kesempatan untuk tetap bekerja paruh waktu demi membiayai kuliahnya di sini.

Sementara itu, Netta yang merasa semua masalah telah berlalu terhuyung ke belakang. Kakinya terasa sangat letih dan lemas. Untungnya, Aru dengan sigap menahan tubuhnya sembari menarik kursi untuk duduk.

"A-aku .... Makasih ..., makasih ...." Hanya ucapan itu yang mampu terucap di sela-sela tangis yang akhirnya pecah.

"Gue minta maaf bawa-bawa orangtua." Ray ikut menarik kursi dan duduk di depan Netta.

"Kami terpaksa," Aru menambahkan.

"Bayangin, pas gue nelepon Papi dan cerita semua, Papi nyaris terbang ke sini." Ray menepuk jidatnya. "Papi begitu protektif dan bahkan mengirimkan tiga bodyguard ke Jakarta dengan pesawat tercepat. Satu disuruh jaga pintu biar enggak ada siapa pun masuk."

Netta melongo.

Ray menarik napas "Gue pernah bilang kalau gue sebenernya lebih senang les gambar, 'kan? Itu karena gue dipaksa ortu kuliah di sini. Padahal, niat gue ikut les gambar terbaik yang ada di Jakarta." Cowok itu tersenyum canggung.

Netta masih tak mampu membalas perkataannya.

"Gue enggak pengin ketahuan siapa orangtua gue karena gue pengin sesukses mereka di bidang yang gue sukai."

Netta menutupi wajahnya. "Aku malu."

Ray mengerutkan kening heran. "Kenapa?"

"Aku seolah pamer kalau ayahku punya bisnis travel, padahal keluarga kalian jauh lebih hebat. Aku berasa kayak remahan gorengan di mata ortu kalian."

Aru yang kini duduk di sisi Netta melepas kacamatanya, mengelapnya dengan sapu tangan, dan memasangnya kembali. "Siapa orangtua kami enggak penting sama sekali. Yang hebat itu mereka. Bukan kami."

"Betul!" Ray memotong, yang langsung mendapat pelototan tidak suka dari Aru.

"Kami berdua enggak bercita-bercita meneruskan pekerjaan ayah kami. Sedangkan kamu justru berencana membuat perusahaan ayah kamu lebih maju dari sekarang."

Netta terdiam sejenak dan menurunkan tangannya.

"Jadi, kamu lebih hebat dari kami berdua, Net. Harusnya kamu sadar itu."

Kali ini, Netta tak bisa menghentikan tangisnya.[]



AUTHOR'S NOTE:

Otsukare, nasi kare, bumbu kareee!!!

Sayonara, Ale-Ale!

Gimana, gimanaaa? Suka enggak sama chapter ini?

Scene mana yang paling kalian suka?

Shirei suka pas Ale berserk, tapi enggak bisa ngapa-ngapain. Wakakaka .... Shirei puas! 🤣

Sampai jumpa Rabu depaaan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro