18) Keterkejutan yang Lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


🎧🎧🎧



Hari Senin adalah hari paling menyeramkan bagi kelas XI IPA 5. Bukan hanya atmosfer yang mendadak tegang, ekspresi seluruh anggotanya pun seketika berubah. Mereka sama-sama ngeri melihat seseorang berambut sebahu yang kini tengah berdiri sambil membawa buku panjang bermotif. Cewek itu tampaknya akan segera melaksanakan aksi andalannya.

"Lo bulan lalu belum bayar, sekarang mau bayar, nggak?" Jeny bertanya tegas, tetapi sambil tersenyum penuh arti-menuntut si lawan bicara untuk segera menjawab.

Di sisi lain, cowok yang sekarang baru saja meletakkan ponselnya itu justru mengerang frustrasi. Dia lantas menyentakkan kepala, lelah kenapa dia selalu lupa membawa uang lebih.

"Gue belum punya duit, J!" balas cowok berkulit seputih pualam itu sambil sedikit memohon. "Plis, deh. Besok aja, ya?"

Sontak saja Jeny membanting buku panjang yang dipegangnya di atas meja. "Bullshit banget ya mulut lo! Gitu aja teros alasannya. Minggu lalu lo bilang apa ke gue, hm? Lo mau bayar sekarang, kan? Dan, ya! Mana buktinya?"

Semua orang mendadak kaku dibuatnya, kecuali bagi mereka yang rajin membayar kas kelas tanpa harus dibentak lebih dulu. Jeny mengetuk-ketukkan bolpoin pada meja, menatap Dhino dengan sorot penuh ancaman.

"Mau bayar, apa naik lima belas ribu per minggu?" tawar Jeny yang sukses membuat Dhino kalang kabut.

"Yah, anjir! Yodah ni, yodah! Gue bayar satu bulan kemarin, tapi kembaliin separuhnya, ya? Gue nggak bawa uang lagi soalnya." Dhino yang awalnya sudah terbawa emosi mendadak tersenyum penuh harap. Cowok itu menyerahkan uang berwarna biru pada Jeny yang langsung saja disambar.

"Oke, pinter. Gitu dong dari tadi! Ini kembaliannya, makasih," ucap Jeny seraya memberikan permen bernilai tidak lebih dari lima ratus rupiah pada Dhino.

Cowok yang baru saja diberi permen olehnya itu hanya bisa memandangi benda tersebut dengan tatapan kosong. "Lah? Kok?"

Tak lagi mempedulikan cowok pualam itu, Jeny kembali memasang wajah galak dan beralih ke meja lain-lebih tepatnya meja di belakang Dhino. Satu di antara dua cowok yang sekarang ada di depannya langsung memberikan uang pas pada Jeny, tetapi tidak untuk satu yang lain.

"Lo kurang tiga minggu, bayar tiga puluh! Mana?" Suara khas Jeny kini kembali menggaung ke sepenjuru ruangan. Cewek itu bersedekap, menebak-nebak alasan apa lagi yang membuat cowok di depannya sekarang tidak segera membayar.

Sayangnya, cowok yang dia maksud itu justru tersenyum, tetapi terlihat sangat jahil. "Sans, gue pasti bayar, kok."

"Bilang gitu aja terosss!"

"Kali ini gue janji, J. Gue pasti bayar semua."

"Kapan?"

"Akhir semester," balas cowok itu yang sontak saja membuat Jeny ingin menampol mukanya dengan wajan milik ibu-ibu kantin.

"Lo mau gue santet, ya?"

"Aelah, intinya gue pasti bayar, kok. Tenang aja. Kalo mau, sekalian gue traktir lo-nya. Gimana?"

Beberapa murid yang masih duduk-duduk di sana otomatis menoleh ke arah cowok yang sedang mengobrol bersama Jeny itu. Dalam hati, mereka ingin sekali bersorak agar bisa ditraktir juga. Namun, belum sempat salah satu dari segelintir orang itu menyuarakan keinginannya, Jeny lebih dulu bersuara.

"Mau mati lo?" ketus Jeny yang entah kenapa makin membuat suasananya mencengkeram. Perkataan itu sontak saja memusnahkan semua angan-angan semu sebagian murid di kelas itu.

"Jutek banget jadi orang. Gue janji, deh, gue bakal traktir lo seisi kantin! Lo bebas mau makan apa, minum apa. Lagian gue kan-"

"BODO AMAT! Gue nggak peduli lo mau traktir gue segede apa, sebebas apa. Lo mau kasih empangnya Pak Botak ke gue pun ga bakal gue biarin lo keluar kelas!" potong Jeny tegas yang membuat si cowok sok cool di depannya itu kicep seketika. "Bayar atau gue gundulin rambut lo sekarang?!"

"Iya, iya!" seru cowok yang kembali berlagak sok keren itu. Buru-buru dia mengambil uang dengan nominal yang tadi sudah diucapkan oleh Jeny sambil bergumam pelan, "Cepet tua mampus lu."

"HA? LO BILANG APA? Lo mau naik lagi tagihannya?" Jeny berteriak heboh, sedangkan si cowok di depannya langsung menggeram frustrasi.

"Kagak! Mana ada gue bilang gitu!" balasnya sembari cepat-cepat menyerahkan uangnya pada Jeny. Sejenak, beberapa orang yang masih di sana menepuk jidat. Sudah tahu Jeny begitu, eh malah dirayu-rayu. Alamat kas naik beneran entar.

Setelah menerima uang pemberian cowok sinting yang rumornya memang lagi usaha PDKT, Jeny pun kembali menjalankan aksinya sebagai rentenir kas-eh, bendahara kas maksudnya. Cewek itu lantas mengizinkan satu per satu anggota kelas yang sudah membayar lunas bulan ini untuk segera keluar kelas.

Mendengkus keras-keras, Jeny tiba-tiba merasa letih kala melihat sederet nama paling tengah yang masih belum tercoret tanda ceklis. Cewek itu kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun, dia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan cowok yang paling menyebalkan di kelasnya.

Siapa lagi kalau bukan Ken?

Baru saja melangkah, Jeny tiba-tiba dikagetkan oleh gebrakan pintu yang begitu keras. Kelas yang sudah kosong makin membuat suara itu terdengar lebih kencang. Jeny melayangkan tatapan tajam, menatap cowok yang sekarang ini memegang dua mangkuk mi ayam sambil berjalan menuju bangkunya.

Bucin anjir, mangkok gitu aja minta dibawain. Dasar Keva!

Jeny baru ingin menghampiri Ken untuk menegurnya soal tunggakan kas. Namun, setelah seorang cewek bertubuh semampai masuk ke kelasnya tepat ketika kaki kirinya baru menapak pada lantai, di saat itu pula dia terpaku.

Rere?



🎧🎧🎧



Masih inget siapa Jeny? Dia karakter tomboi yang bisa dibilang akrab sama Keva.

Pan-kapan aku mau buat cerita soal dia. Ada yang tertarik nggak, ya?

Ken: "Tamatin cerita ini dulu, woy! Baru buat baru!"

Ahaha. Segini aja dulu, deh.

Dan, seperti biasa ... jangan lupa vote, komen, dan share.

Makasih banyak~




Tertanda,
Rheanna Maze.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro