21) Peeved

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__________

"Tidak semua orang bisa menetap. Maka dari itu, jangan terlalu sering berharap."

__________

🎧🎧🎧




Setelah acara ngambek-ngambekan, keheningan tuba-tiba menyelimut di antara mereka. Keva masih sibuk melahap baksonya, pun dengan Alex yang tampaknya sangat menikmati makanan pemberian cewek di depannya itu.

Beberapa detik kemudian, mereka sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Hingga suara notif ponsel berdenting tiba-tiba, barulah atensi keduanya berpindah.


Kenong
| Va? Lo ke mana? Gue di kelas lo ni


"Bodo, Ken." Tanpa disadari Keva bersungut, mengumpat pelan karena kesal. Meski samar, Alex masih dengan jelas mendengarnya. Cowok itu menaikkan alis lalu memandang Keva dengan tatapan tak terbaca.

"Ngapain lo? Berantem sama Ken?" Alex bertanya dengan nada datar. Kendati begitu, kesan yang timbul di telinga Keva entah kenapa terdengar tajam.

"Enggak. Kesel aja," jawabnya sembari mengalihkan pandangan. Keva berusaha senormal mungkin. Dia lantas kembali memutar otak demi mencari topik lain untuk mengalihkan perhatian Alex. Namun, di sisi lain, cowok di depannya itu justru mengerutkan dahinya. Entah kenapa, sikap Keva tampak berbeda hari ini. Dia pun mulai menerawang, berusaha menebak-nebak.

"Nggak biasanya lo sama Ken begitu, apa jangan-jangan—"

"Ngaco! Udah ah, gue mau balikin mangkoknya, siniin!"

Tanpa Alex duga, Keva tiba-tiba menarik mangkoknya dalam sekali gerakan. Cewek itu bangkit lantas pergi meninggalkannya bersama ponsel yang masih di atas meja. 

Cowok itu terdiam. Bocah ngapa, yak?


🎧🎧🎧


Ken menatap malas layar ponselnya, mendengkus melihat beberapa aksara yang sama sekali tidak kunjung menuai balasan. Dia melengkungkan bibirnya dramatis, sedikit kecewa melihat kelakuan sahabatnya yang sengaja mengacangi chat.

Sambil menyenderkan punggung pada kursi bangku, Ken menengadah sambil menyisir poni ke belakang. Selagi menikmati sunyinya ruangan saat jam istirahat kedua—karena kebanyakan murid makan di kantin atau salat berjamaah di musalah—cowok itu mengangkat kedua kakinya di atas meja lantas menyilangkannya tanpa tahu dosa. Dia pun mengambil headphone di laci meja, lalu menyambungkannya pada ponsel.

"Tumben banget makannya lama. Dia ke mana, sih?" tanya Ken pada angin dari kipas yang berembus. Sejak tadi dia sudah ada di kelas Keva ini setelah mengantarkan Rere kembali ke kelasnya. Namun, entah karena apa orang yang ditunggunya tidak kunjung datang kemari.

Ken segera memasang headphone miliknya ke kedua telinga. Baru saja dia menyentuh layar untuk memutar musik secara acak, telinganya tiba-tiba disuguhkan suara yang sangat memekak. Alhasil, cowok itu langsung melepaskan benda itu sembari  mengelus telinganya yang mendadak sakit.

"Sialan! Ini headphone, bukan TOA! Dasar Kepa, kupecat kau jadi best—" Kata-kata Ken tercekat tiba-tiba. "Astaghfirullah, gini amat punya sahabat ...."

Ken yang baru saja ingin mengumpat habis-habisan seketika berlagak kalem saat ada beberapa cewek—temannya Keva—masuk ke kelas. Dia lalu mendengus kasar, berusaha sesabar mungkin memaklumi kebiasaan buruk sahabatnya.

"Kalo lo bukan sahabat gue, udah abis lo gue sikat," gumam Ken yang masih kesal.

Ya, cowok itu memang sudah terlalu sering menegur Keva yang suka mengeraskan volume televisi, laptop, dan ponselnya saat melakukan streaming film. Kalau film komedi yang genrenya romansa, sih, tidak masalah.  Ken suka itu. Namun, apalah daya jikalau Keva sering menonton film horor yang suaranya selalu sukses membuat bulu kuduk Ken berdiri? Terlebih kalau ada jumpscare! Coba bayangkan betapa terkejutnya dia!

Bukan hanya itu, Keva juga sering menonton film action di waktu senggang. Suaranya pun tak kalah mengagetkan. Mulai dari suara tembak-menembak, kaca yang pecah, teriakan, hingga suara bom. Bisa dipastikan bagaimana kondisi speaker laptopnya hari itu. Sungguh miris dan mengenaskan.

Kendati demikian, Ken sama sekali tidak masalah. Dia malah tertawa ketika mengingat itu semua. Hari-harinya sungguh berwarna bersama Keva, sama sekali tidak ada yang membosankan.

Tepat saat Ken hendak menguap, suara teriakan dari seseorang tiba-tiba terdengar. Mau tak mau cowok itu kembali menutup mulutnya lantas menelengkan sedikit kepalanya untuk melihat siapa yang sedang ada di luar.

"Hp lo ni! Dasar pikun, lupa sama barang sendiri."

Suara itu sangat familier di telinga Ken, bahkan sudah sangat dia hapal di luar kepala. Cowok itu berdiri lalu memunculkan kepalanya sedikit dari jendela belakang yang dibuka. Dapat dilihat dari sini bahwa di depan sana ada Keva dan Alex yang sedang mengobrol di depan pintu. Cowok beriris biru itu memicing saat sahabatnya menerima ponsel itu dengan kesal.

Dia kenapa? pikirnya. Buru-buru Ken berjalan mendekat untuk memastikan kalau sahabatnya itu baik-baik saja.

Sementara itu, Keva yang baru saja menerima kembali ponselnya dari Alex pun langsung mendengkus—sadar bahwa tak seharusnya kekesalan yang dia rasakan saat ini dilampiaskan juga ke orang lain. Cewek itu lantas mendongak untuk melihat Alex yang memalingkan pandangan. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi ternyata malah lebih dulu disela.

"Tadi Ken nge-spam lo, nggak sengaja gue lihat," ungkap Alex yang entah kenapa terlihat kesal juga. "Kalo lo keganggu, kenapa nggak lo block aja nom—"

Baru saja Alex berbalik, perkataannya langsung terhenti. Dia terbelalak karena ternyata di belakang Keva sudah ada Ken.

"Ngajak ribut lo?"



🎧🎧🎧




Jangan lupa vote, comment, dan share, ya. Terima kasih udah baca.




Tertanda,
Rhea.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro