STAR AND STORIES

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama : Nur Annisa Fatimah Azzahra (Icha A.)

Judul : Candramawa

Sub-tema : We got different star and stories (reflection)

Genre : Fanfiction, Teenfiction, Teenlit

Happy Reading!

"S-sial ...."

Seorang pemuda dengan surai cokelatnya tampak kesakitan. Kondisinya sungguh mengenaskan. Kaus putih dengan bagian bahu yang terkoyak, darah mengucur deras dari sana. Sementara itu, hidungnya terus mengeluarkan cairan kental dengan warna pekat. Napasnya putus-putus, rasanya nyawa sudah di ujung tanduk.

Obsidiannya menggelap, pandangan mulai memudar. Malam itu, Kim Taehyung memilih untuk melarikan diri, meninggalkan seluruh hidupnya yang luluh lantak. Dengan harapan berpendar dalam kelam langit malam, membisu dalam pekat yang membelenggu. Menjadi separuh gila untuk jiwa yang hidup, membiarkan diri menjadi samsak utama anjing malam kelaparan, setengah mabuk, nyawanya terasa ditarik paksa ke luar raga.

"Hey, apa yang terjadi?"

Sebelum sebuah suara dari ujung lorong terdengar begitu memekakan, maka berakhirlah siksaan Taehyung malam ini. Tergantikan dengan suara baku hantam singkat dari arah lain, berakhir dengan tumbangnya raga tanpa rasa di sana.

***

Getaran sebuah benda persegi membuat empunya tersentak kaget. Kesadarannya perlahan pulih, setelahnya ia mengaduh kesakitan. Memegangi kepala yang terasa berdenyut.

Efek tadi malam.

Begitu pikirnya.

Tiga botol soju untuk seseorang yang kadar toleransi alkoholnya rendah cukup membahayakan. Belum lagi ia sengaja pergi ke wilayah perkumpulan gangster ternama kota Seoul, mengumpani diri sendiri agar cepat mati. Tidak pernah mengerti bagaimana bahagia bisa menjadi nyata, pun juga tidak bisa merasakan sakit yang sesungguhnya.

Hatinya mati, namun raganya masih bernapas. Kim Taehyung.

Niat bunuh diri, namun berakhir dengan sekarat dan porak-poranda, hancur melebur bagai debu, sialnya masih tetap hidup meskipun ia menghamba untuk mati.

Saat jemarinya menggeser layar ponsel, ia lantas tersenyum miris. Masih pukul dua malam, kalender pengingat di ponselnya menunjukkan tanggal sebelas April. Tanggal ulang tahun mendiang sang adik.

"Selamat ulang tahun."

Lalu segera bangkit, berniat mencari tahu di mana ia sekarang. Sedikit terseok dengan tangan kanan memegangi bahu kiri yang terbalut perban.

Rasanya hanya sakit yang menghujam sepanjang nadi. Meski ia tahu, sebenarnya dirinya tak bisa merasa lagi.

Berada di dalam rumah kecil yang terlihat agak tak terurus membuatnya sedikit risih. Terlebih tidak ada siapapun di sini. Hanya ada gedung-gedung konstruksi bekas di sekitarnya.

Saat langkah terhenti di luar, ia menangkap siluet seseorang tengah berdiri di atas gedung konstruksi, merentangkan tangan seolah siap untuk mati.

Yang dilakukan Taehyung tentu berlari masuk ke dalam gedung. Lewat pintu belakang usang, menaiki tangga darurat dengan tergesa.

Di atap gedung, sang pelaku yang tampak lebih muda darinya nyaris terpeleset ketika berjalan di pinggiran gedung. Maka suara tubuh yang bertubrukan menandakan bahwa si pelaku selamat dari maut.

Kalau saja Taehyung tidak segera menarik ujung jaket pemuda itu, dipastikan dirinya sudah menjadi saksi kematian seseorang.

Meskipun tak tahu jelas ingin bunuh diri atau hanya berdiri di sana, Tehyung tetap merasa wajib menyelamatkannya.

"Kau bisa mati!"

Yang dimaksud menoleh, tampak terkejut dengan kehadiran Taehyung. "Ah, terima kasih."

Taehyung lantas membantu pemuda itu untuk bangkit agar tidak terus-terusan menindih kakinya saat tadi ikut terjatuh karena menahan beban tubuh pemuda itu.

"Aku Jeon Jungkook. Hyung, sudah sembuh?"

"Maksudmu?"

Jungkook-begitu katanya. Tersenyum manis, menampakkan dua gigi kelinci yang membuat fokus Taehyung sempat teralih.

"Hyung sekarat. Tidak ingat saat terlibat perkelahian dengan anggota gangster daerah sebrang tadi malam?"

Taehyung mengangguk.

"Namjoon hyung yang membawamu ke rumah kami. Di dekat gedung ini."

"Kenapa menyelamatkanku?"

Jungkook memiringkan kepalanya, binar polosnya seakan menyihir siapa saja yang terjebak pesonanya. Seperti bintang yang luar biasa menakjubkan. Bersinar lewat cara yang menggemaskan. "Aku dan Namjoon hyung tak ingin kau mati." Lantas manik indahnya bergulir menatap angkasa malam. Di mana ribuan bintang tampak begitu indah, menjadi latar perbincangan hangat mereka malam ini.

"Padahal, aku sengaja melakukannya."

"Sengaja?"

"Ya. Hidupku begitu hancur. Maksudku-aku tak punya siapa-siapa lagi di sini. Ayahku sudah mati, begitu juga adik kesayanganku."

Jungkook kembali tersenyum. Matanya tak beralih, masih setia memandangi langit dengan taburan sihir Tuhan. "Kenapa?"

"Aku membunuhnya, ayahku."

Meskipun sempat terkejut, tetapi Jungkook tidak senantiasa menampakkannya. Ia hanya memutar tubuh, menghadap Taehyung dan menatapnya dalam. "Karena?"

"Ayahku, melecehkan adikku. Setelahnya membunuhnya. Bajingan gila."

"Dia pantas mendapatkannya. Karmanya, hyung. Kau tidak bersalah."

"Hakim pun berkata begitu. Mengingat usiaku saat itu baru enam belas tahun."

Jungkook mengangguk pelan.

"Tapi harapanku rasanya musnah setelah kejadian itu."

"Harapanmu, apa?"

"Harapanku hanya menjadi seorang pelukis terkenal, membahagiakan mendiang adikku karena bakatku."

"Kau masih bisa melanjutkannya, hyung. Hidupmu tak akan berhenti hanya karena kehilangan mereka."

Mendadak Taehyung merasa tersinggung dengan ucapan Jungkook.

"Kau tidak mengerti! Jangan berkata seolah-olah-"

"Tentu saja aku mengerti! Aku jauh lebih mengerti situasi seperti ini. Kau pikir, melihat ayah dan ibumu mati di depan mata kepalamu sendiri karena pembantaian saat usiamu baru sepuluh tahun itu mudah? Menjadi gelandangan saat masih kecil, padahal aku berharap bisa tumbuh menjadi musikus terkenal seperti ayah. Membanggakan seperti ibu. Tapi takdirku berkata lain."

Kali ini, Taehyung sukses bungkam dibuatnya. Ia tak pernah menyangka, masa lalu Jungkook sekelam itu. "Jadi-"

"Aku melarikan diri dari Busan. Anak sekecil diriku, sampai di Seoul entah bagaimana. Yang terakhir ku ingat hanya saat aku ikut menaiki truk milik paman pemilik peternakan dekat rumahku. Bertemu Namjoon hyung yang juga melarikan diri dari penjara karena membakar pom bensin terbesar di kotanya. Ia merawatku, kami tumbuh bersama. Mencari uang dengan mengandalkan bakat."

Taehyung menatap lamat kedua binar polos adiknya. Seolah Jungkook adalah satu-satunya bintang yang ada di sana. Bintang paling terang dan indah, namun tersembunyi dalam gulita.

"Yang kau dengar itu benar. Aku melarikan diri dari penjara, tiga bulan setelah mendekam di dalamnya."

Sebuah suara di belakang mereka cukup mengejutkan keduanya. Obsidian kembar Taehyung menemukan Namjoon tengah berdiri dengan plastik berisi ramyeon dan roti.

"Bagaimana lukamu?"

"Lebih baik."

"Taehyung, soal mimpi dan harapanmu ... Everyone suffers in their life. There are many sad days. But rather than sad days, we hope to make better days. That's what makes us live. That's what makes us dream. Maybe you made a mistake yesterday, but yesterday's you were still you. Sama sepertiku dan Jungkook."

"Every life's a movie. We got different star-or destiny, and stories. We got different nights and mornings. Takdir manusia berbeda, jangan jadikan kesalahanmu kemarin alasan untuk membunuh harapanmu esok."

Sejak malam itu, Taehyung kembali tersenyum. Hingga matahari muncul dari peraduan, harapannya ikut terbang ke permukaan.

***

Oke, ini ff kpop pertama aku. Hehe, jadi maklum kalo masih agak aneh ya?:(

Oh ya, kritik dan saran sangat dibutuhkan!

Lots love,

xoxo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro