empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


PRANGGG!

"Astaghfirullahh, Dek, kenapa?!" teriak Refar panik sambil mengetuk pintu kamar Riu kencang sekali.

Bunyi itu ternyata berasal dari alarm laknat yang baru saja Riu lempar karena menganggu tidurnya. Lemparan asal Riu menyebabkan alarm yang tidak bersalah itu pecah terbentur tembok. Bunyinya kencang sekali hampir mirip dengan keadaan kdrt, makanya Refar panik banget abis sholat shubuh denger bunyi kayak begitu.

Riu menutup telinganya menggunakan bantal. Matanya yang kiyip mengisyaratkan dirinya masih butuh tidur. Bahkan dirinya sampai rela membanting alarm pemberian Refar saking tidak mau diganggunya, eh malah ada pengganggu yang lain.

"Refar berisik!" omel Riu berteriak kencang sekali. Ia juga melempar buku matematika yang tebalnya gak kira-kira ke arah pintu biar Refar diem gitu.

Refar yang di luar kamar Riu loncat kaget mendengar bunyi kedebuk buku matematika terbentur pintu. "Astagfirullah, Dek, tobat napa!"

Haduh. Abangnya itu pasti berfikir yang macam-macam. Memang konyol sekali otak dia. Riu saja sampai tidak bisa menebak apa yang ada di fikiran abangnya sekarang, mungkin kira-kira seperti ini : Riu sibuk mau bunuh diri sampai melempar gelas kaca di kamar, Riu frustasi sama hidup terus mecahin jendela kamar, Riu pusing karena skorsing terus mau loncat dari jendela.

BRAKK!

Riu menganga. Pintu kamarnya yang sudah ia double kunci itu terbuka lebar. Menampilkan Refar yang masih mengenakan sarung kotak-kotak kebanggaannya. Ternyata oh ternyata, Refar beneran sekhawatir itu sampai langsung ngibrit abis sholat shubuh.

"Dek, gapapa kan?" tanya Refar baik-baik. Tersirat rasa khawatir lewat matanya.

Riu bangkit dari tidurnya. Menghampiri Refar yang masih mematung di pintu. Kalau dilihat dari pergerakannya, pasti Riu bakal marah-marah gak jelas sambil keluar hinaan. Tapi Refar terlanjur khawatir untuk meladeni omelan adiknya, toh omelan dari Riu juga sudah menjadi makanan pokok.

Begitu sampai tepat di depan wajah Refar, Riu berjinjit sedikit karena tinggi mereka sedikit berbeda.

"Ganggu aja sih!"

"Bodo."

Riu menyentil kening abangnya kesal. Tidak lupa juga ia tendang kaki Refar. Setelah puas menyiksa abangnya, Riu kembali rebahan.

Bukan Refar namanya kalau tidak berhasil membuat Riu ngomel kencang. Ngisengin Riu entah kenapa menjadi hal paling menyenangkan di dalam hidupnya. Melihat wajah merah padam Riu, terus dengerin ocehan Riu yang bikin pengang, malah bikin Refar makin sayang sama Riu.

Refar dengan tidak ada akhlaknya melompat absurd ke kasur Riu. Tepat sekali untungnya dia terjun di sebelah badan Riu, kalau sampai Riu ketiban pasti omelan Riu menambah lima kali lipat.

"Gue masih ngantuk, Bang, please." Riu memohon dengan sungguhan. Semoga Refar mengerti.

"Nanti siang temenin gue ke birthday party temen gue yuk!" ajak Refar heboh terus sekarang malah berulah memeluk Riu dengan kurang ajarnya. Memasang wajah memohon yang padahal Riu saja tidak akan sudi melihatnya.

"Mumpung lu lagi libur—eh lupa! Di skors deng adek gue." Refar menjitak kepala Riu seakan Riu anak kecil yang bandel. "Adek gue udah gede aja berani nabok anak orang, eh terus diskors."

Riu hanya diam mendengarkan apa yang Refar katakan. Antara saking lelahnya dan saking tidak pedulinya.

"Ikut, yuk?" ajak Refar sekali lagi. Wajahnya mendekat ke wajah Riu.

Riu menggeleng.

"Banyak cogan loh!"

"Gak mau, Bang, gue lagi mager."

"Ayo, plis, Dek, gue nanti dikira jomblo gak bawa cewek," ucap Refar kali ini dengan sungguhan. Kedua tangannya di tempelkan untuk memohon.

Riu membuka sebelah matanya. Ia tertawa di dalam hati, kan emang Refar jomblo!

"Biarin, kan emang jomblo. Wle!"

Riu mengumpat di balik selimut setelah menendang Refar hingga jatuh ke lantai.

•••

Riu akhirnya bangun juga setelah berhibernasi hingga pukul sepuluh siang. Dirinya meringis sebal ketika ingat ia lupa olahraga hari ini. Yah, gagal deh program olahraga sebulan penuh yang sudah ia rencanakan bulan lalu.

Riu bangkit dari kasur dan menuju cermin yang tergantung di dinding kamarnya. Menatap intens seluruh wajah lusuhnya yang semakin hari malah semakin berjerawat. Sudah hitam, dekil, berjerawat, ah susah sekali buat jadi orang good looking.

Jerawat kurang ajar di pipinya tidak kunjung mereda, kemerahan itu menganggu penampilannya. Bukan hanya dua jerawat di masing-masing pipi, ada juga beberapa beruntusan di dahinya. Wajahnya yang juga berkulit hitam menambah kesan kotor.

Riu menggaruk kepalanya frustasi. Lelah sekali setiap hari harus rela menahan makan junk food, bangun pagi untuk olahraga, tiap malem menyempatkan untuk skincare, menghabiskan uang jajan untuk beli seperangkat skincare pembasmi jerawat. Semua tips yang ada di google sudah ia coba, tapi tetap saja jerawatnya datang lagi datang lagi.

Daripada pusing mikirin jerawat, mending Riu masak. Pasti si kunyuk Refar tidak memasak.

Tanpa berlama-lama lagi karena perutnya juga sudah lapar setengah mampus, Riu langsung saja berlari menuju dapur. Melihat isi kalkus yang ternyata tidak seperti harapannya. Mlompong sekali kulkasnya, hanya ada dua buah telur, sereal, dan susu. Bosen dengan makan telur, Riu memilih makan sereal.

"Ihh dapurnyaa bersih banget!" puji Riu lebay melihat penampilan dapur rumah pertama kalinya dalam keadaan kinclong sekali. Mulus tanpa noda. Mungkin Refar menyempatkan waktu—walaupun tidak mungkin, tapi Riu mencoba untuk berpositif thinking.

Saking sibuk menyiapkan sereal dan menyeduh susu, Riu sampai tidak sadar ada seorang laki-laki paruh baya yang menghampirinya.

"Riu?" panggil laki-laki itu meyakinkan. Barangkali itu bukan Riu, barangkali maling, mengingat ini hari selasa pukul sepuluh pagi, Riu seharusnya ada di sekolah bukan malah pake piyama lagi nyeduh susu.

Riu menoleh mendengar namanya dipanggil. Badannya membeku melihat laki-laki paruh baya itu.

"Aayaah?" tanya Riu terbata-bata saking gugupnya. Pasti ayah akan mengomel tau Riu bolos sekolah.

Tapi sikap ayah malah menunjukkan sebaliknya. Ayah mendekati Riu dan menempelkan punggung tangannya di dahi Riu. "Kamu sakit, Nak?"

Riu menganga. Kaget banget sama pertanyaan ayah. Untuk pertama kalinya setelah bunda meninggal, ayah menanyakan keadaan Riu.

Lama Riu tidak menjawab. Otaknya sedang tidak konek antara bingung mau jawab apa, kaget ditanya begitu, sama saking bahagianya karena tau ayah ternyata masih peduli. Takut salah jawab juga.

Akhirnya, Riu hanya menjawab lewat anggukan kepala.

Ayah manggut-manggut saja. Padahal harapan Riu, respon ayah lebih dari itu. Riu kira ayah akan semakin panik dan segera mengajaknya ke rumah sakit, atau paling mentok setidaknya ayah membuatkan ia sarapan dan memberikannya obat.

Tapi, lagi-lagi, raut wajah ayah jauh dari perkiraan Riu. Detik selanjutnya, ayah melempar gelas hingga pecah kena dinding dapur. Riu dibuat semakin terkejut. Ayah mulai, deh.

"Udah berani bohong sama ayah?" tanya ayah dengan tatapan mematikan. Seperti bukan ayah. Atau ayah kerasukan setan. Aduh, Tuhan, tolong kembalikan ayah Riu yang duluu, duluu bangett sewaktu bunda masih ada.

Memang, semenjak bunda tidak ada, semua keadaan rumah berubah. Ayah dengan sikap penuh kasih sayangnya tergantikan dengan tatapan menusuk dan ringan tangan. Untung saja Refar tidak mengikuti jejak ayah yang kadang bermain tangan, tapi entahlah mungkin di luar rumah Refar menunjukkan sikap yang berbeda.

Riu menatap ayahnya kesal. Apa sih yang ayahnya mau, selalu mencari keributan setiap kali mengajak ngobrol dirinya.

"Kamu diskors?!" bentak ayah berteriak. Masih dengan tatapan mata seramnya itu. Urat-urat wajahnya sudah mengeras, pasti sedikit lagi amarahnya akan memuncak.

Riu mundur pelan-pelan takut ayah mendadak memukul atau melempar barang. Tapi sialnya ia sudah sampai di pojokan dapur, tidak bisa berlari ke arah manapun. Kakinya gemetaran, pasti dia akan menjadi korban amarah ayah lagi seperti waktu itu.

Ayah tersenyum seram melihat Riu sudah terpojokkan seperti itu. Membuatnya semakin mudah saja untuk melakukan aksi. Tanpa menunggu jeda, ayah menjambak rambut Riu keras.

"Aaaayyyah!"

Tanpa sadar, Riu meneteskan air matanya takut. Entah takut entah kesakitan entah kesal. Riu yang sangat jago karate ini tidak pernah bisa mengendalikan kehebatannya untuk melawan ayah. Rasanya berat sekali untuk membalas segala kejahatan yang ayah lakukan. Hatinya masih berkata, ia ayah yang tidak akan menjadi korban pukulannya.

Riu pasrah sambil terus sesenggukan menatap mata tajam ayah. Mana sekarang dia sendirian di rumah, Refar tidak mungkin tiba-tiba datang menolongnya.

Ayah mengambil pecahan gelas yang sudah berhamburan di sekelilingnya, tangan kanannya masih aktif menjambak rambut Riu kencang. Sedang Riu menggelengkan kepalanya, seolah menolak semua perlakuan ini. Tapi justru semakin Riu berontak, semakin kencang jambakan ayah.

"Sadar, ayah!" Riu setengah berteriak.

Ayah menatapnya. Menusuk kedua mata Riu hanya lewat tatapan saja. Lalu tiba-tiba tersenyum, ih ayah sudah seperti psikopat. Ternyata tatapan ayah itu untuk mengalihkan aksinya yang dengan kejamnya menggores pecahan kaca ke tangan kanan Riu.

Air mata Riu semakin menetes deras. Tapi sebisa mungkin dia tidak boleh menangis. Kata orang-orang kalau ia terlihat lemah, ayah akan merasa senang.

"Jangan nangis dong, Cantik," ucap ayah pelan tapi mencekam. Pecahan kaca sudah ia lepas, begitu pula dengan jambakan di rambut, kini tangannya berganti mengelus pipi Riu lembut.

Ayah terus mengelus pipi Riu—PLAK! elusan itu sialnya tergantikan dengan tamparan keras sampai ada jiplakan di pipi mulus Riu.

•••

Riu menghapus air matanya yang masih saja menetes sejak kejadian tadi pagi. Melirik sebentar ke arah jam dinding, ah sudah pukul sepuluh malam rupanya, pantas saja langit sudah gelap. Cepat sekali, ya, hari sudah malam saja, padahal Riu hanya berdiam diri di kamar.

Luka goresan itu nyata, berarti tadi Riu tidak bermimpi. Iya benar, ayah secara sadar menyakiti Riu lagi. Bukan mimpi buruk. Luka-luka di punggung yang kemarin juga benar nyata, masih terasa perih kalau Riu bergerak. Mengingat ini bukan mimpi, Riu meneteskan air matanya.

Sulit sekali hidup menjadi dirinya. Ah daripada pusing memikirkan hidup, Riu lebih baik keluar kamar dan memasak telur. Dia bahkan sampai lupa makan saking sibuknya menangis.

Riu keluar. Menatap Refar yang anehnya berpakaian rapih dengan setelan jas, mungkin abangnya baru pulang dari pesta ulang tahun yang tadi pagi mereka bicarakan.

Refar menatap Riu sebentar, kemudian melewati adiknya begitu saja tanpa menanyakan apa-apa. Ah memangnya apa yang Riu harapkan, mana mungkin Refar mau peduli dengan urusan ia sudah makan apa belum. Sudah terbiasa dengan rasa sesak ini, Riu memilih untuk tidak mau peduli juga.

"Heh, bikinin gue kopi, ya!"

Riu diam saja. Tidak mau membalas dan tidak mau nurut juga. Abang laknat banget emang.

"Woi! Denger gue gak?"

"Gue laper, tau!" omel Riu seakan laporan, dia tuh ngasih kode biar abangnya peka gitu kali-kali kek beliin dia makan, ngajak makan di luar gitu, atau paling enggak masakin telor ceplok kek, ah menyebalkan.

Refar malah tertawa dari atas tangga menatap Riu yang sudah ada di lantai bawah. Dari tawanya sih kedengeran banget dia mengejek Riu, "Lah terus apa urusannya sama gue, Setan?"

"Lo yang setan!"

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro