prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bandung, 2011.

Anak kecil dengan kuncir dua kanan kiri terduduk di depan sekolah dasar sambil menggendong tas ransel rainbow, mengemut permen lolipop kesukaannya. Dia, Lyariu. Masih tetap setia menunggu abang Refar untuk menjemput, soalnya tadi pagi abangnya itu sudah berjanji.

Permen lolipop yang sedang tadi sudah ia makan sebenarnya sudah habis, tapi Lya suka saja menggigit tangkai bekas lolipopnya. Bosen sejak tadi juga sudah melandanya berkali-kali, tapi ia selalu berusaha melakukan hal aneh, seperti tiba-tiba latihan karate, atau mencoret-coret bukunya.

Lya lagi-lagi bosan. Ia membuka tasnya dan mengambil selembar kertas dari buku. Lya memandangi kertas itu cukup lama, buat apa ya? Dia bukan anak kreatif yang tiba-tiba saja dapat ide, kata orang-orang sih begitu. Makanya dia percaya dan selalu mengurungkan niatnya untuk berkreasi.

Sebentar. Lya berhenti berfikir. Ia seperti mendengar suara tangisan gitu, kalau didengarkan bisa jadi jarak keduanya tidak jauh. Bukannya takut mengira itu hantu, Lya malah meninggalkan tempat dan mencari sumber suara.

Pohon rindang yang digosipkan banyak setannya itu mencuri perhatian Lya. Suara tangisan itu semakin kencang ketika Lya berjalan mendekati pohon itu. Ah, pasti ada orang yang sedang terluka. Hanya itu yang difikirkan oleh bocah kecil tujuh tahun. Lya bukan tipikal anak penakut, justru ia sebaliknya, malah sampai dibilang laki-laki saking beraninya.

Lya bingung memandang seorang anak laki-laki. Bertubuh gendut sekali, berkulit putih, berambut hitam coklat, siapa itu. Lya tidak familiar dengan badan anak itu, atau mungkin dia tidak bersekolah di sini.

"Apanya yang sakit?" tanya Riu membuka suara. Dia yakin sekali kalau anak laki-laki yang usianya tidak jauh darinya ini, pasti terluka. Lya akan membantu sebisanya.

Anak laki-laki itu menggeleng sambil tetap menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kedua tangan. Lya menjadi bingung harus membantunya dengan apa. Oh, kata bunda kalau ada yang lagi bersedih, kita hibur saja. Bukan urusan kita untuk memaksa dia bercerita tentang alasan dia menangis, tapi urusan kita justru membuat senyumnya terbit kembali.

Lya mengambil perahu kertas yang tadi dia buat. Memandang sebentar hasil tangannya, ini tidak pantas disebut perahu bahkan. Bentuknya super acak-acakan, semerawatur banget. Tapi ah gapapa deh, mungkin anak ini akan tertawa karena puas mengejek perahu jelek ini.

"Buat kamu," ucap Lya tersenyum. Gadis kecil itu ikhlas sekali menyerahkan perahunya.

Anak laki-laki itu melempar tangan Lya pelan. Bermaksud menolak. Tapi bukan Lya namanya kalau menyerha begitu saja.

Lya ikut berjongkok sejajar dengan anak laki-laki itu, "nama kamu siapa? Aku Lya."

Lya tetap setia menampilkan senyum keliatan gigi gupisnya. Sebaliknya, anak laki-laki itu juga tetap setia mengumpat. Masih menangis tersedu-sedu kalau didengarnya dari suara sesenggukannya.

"Lya!"

Suara teriakan dari pintu gerbang sekolah membuat Lya menoleh. Bunda! Rupanya bunda datang untuk menjemput Lya. Melihat langkah bunda yang semakin mendekat, Lya menaruh perahu buatannya di tangan anak laki-laki itu.

"Besok, kita main di sini, ya!"

Lya langsung lari ngibrit menghampiri bunda yang sudah cerewet bertanya panjang lebar. Sedangkan anak laki-laki itu mulai memunculkan wajahnya, melirik sedikit ke arah gadis kecil yang kalau tidak salah namanya Lya.

Padahal, padahal, dia ingin menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Dia juga ingin mengiyakan permintaan gadis itu. Tapi gadis itu sudah terlanjur menjauh bersama wanita paruh baya yang menurut pengamatannya pasti itu ibu dari gadis kecil.

Senang bertemu denganmu, Lya, ucap anak laki-laki itu di dalam hati.

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro