1 Dituduh Selingkuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenapa hidup aku harus selalu susah macam gini?

Agni mengembuskan napas berat. Hati-hati dia memasukkan lagi gawai ke saku celana. Dirapikannya apron dan berjalan gontai keluar gudang penyimpanan makanan beku.

“Lagi-lagi Mama nggak kirim duit.” Perempuan sembilan belas tahun itu mengeluh lirih. “Mana duit bulan ini udah mau habis pula.”

Mata Agni mencari-cari sesuatu di antara tumpukan keranjang plastik di hadapannya. Sementara bibirnya terus mengomel tanpa henti.

“Iya, sih. Tahu banget aku kalau apa-apa sekarang mahal. Harga naik. Pemasukan tetap. Besar pasak daripada tiang.” Bibir Agni bergerak-gerak monyong kanan kiri menirukan ekspresi mamanya tiap kali memberi alasan super defensif.

“Tapi aku kan, anak tunggal. Anak kesayangan. Kirim dikit aja nggak ada salahnya, kan? Masak jualan kue Mama di sana nggak ada untung sama sekali? Nggak takut kalau anak gadis satu-satunya ini bakal kelaparan terus metong gitu?”

Dia mengangkat sekotak besar sayap ayam beku. Tujuan utamanya masuk ke gudang persediaan adalah untuk mengambil bahan makanan yang diperintahkan juru masak, sekaligus mengecek m-banking. Pasalnya tempat kerja Agni sekarang memang tidak mengizinkan pegawainya memainkan ponsel pada saat jam kerja.

“Agni, bumbu marinasi kemarin mana?”

Dengan dagunya, Agni menunjuk kotak merah di sudut konter dapur. Seseorang yang bertanya mengangguk senang.

“Agni, sudah kupas bawang putihnya?” Satu teriakan lagi muncul dari arah kanan.

Wanita itu menghela napas panjang. Mendekati Imlek, suasana di dapur ini seolah berubah jadi neraka. Heboh, menaikkan level stres, dan rawan pemecatan.

Perempuan itu meletakkan sayap ayam beku di samping juru masak. Dia lantas menoleh ke satu orang berseragam koki yang melontarkan tanya padanya.

“Belum, Bang. Ini masih mau dikupas.”

“Tambah sekilo lagi. Besok malam Minggu, pengunjung pasti nambah.”

Dalam hati Agni bergidik. Mengupas bawang adalah siksaan duniawi maha berat untuknya. Namun, dia tak mampu berbuat apa-apa. Karena itu memang sudah tugasnya di sini.

“Sekalian kupas bawang, sekalian bersihkan kerang juga. Urusan dapur biar yang lain kerjain. Kamu selesaikan itu dulu.”

Mulut Agni terbuka lebar membentuk huruf O. Kepala juru masak memberikan sekeranjang besar, benar-benar besar, kerang dara.

“Dibekukan, Chef?” tanya Agni terkejut.

“Enggak. Mau langsung dimasak nanti jam lima. Pesanan khusus.”

Agni menelan ludah. Dia mengangguk pelan. Bayangan harus membeli obat anti gatal sudah menari-nari di pelupuk mata.
Tak ada yang membantunya mengangkut keranjang-keranjang berat itu. Tak ada kesempatan bermanja-manja di sini. Semua setara. Mau lelaki, mau perempuan. Adu kekuatan harus sama dan seimbang.

Beruntungnya cuaca tidak sepanas beberapa hari kemarin. Mendung tebal yang menggelayut disertai embusan angin membawa kesegaran di badan Agni yang sudah lelah.

Perempuan itu duduk di bagian luar dapur. Berhadapan dengan halaman parkir pegawai tanpa batas tembok. Ada gang kecil di sana yang memisahkan restoran Cina tempat Agni bekerja paruh waktu, dengan bangunan di sebelah.

“Apes bener kudu ngupasin bawang.” Agni mengeluh. “Mana tangan pasti gatal-gatal lagi habis ngupas.”

“Kalau gatel tinggal minum obat.”

Agni langsung mendongak. Dia kaget setengah mati melihat seorang lelaki muda berdiri bersandar di tembok. Posisinya sedikit masuk ke ceruk kecil di dinding. Ditambah warna pakaian lelaki itu yang serupa cat dinding membuat kehadirannya tak terdeteksi oleh Agni.

“Astaga, bikin kaget.” Agni mengelus-elus dada. “Untung siang.”

“Kenapa emang kalau malem?”

Agni mengernyitkan dahi. Dialek lelaki itu sangat medok khas Malang. Saat mengamati lebih saksama, rona merah mewarnai pipi Agni. Lelaki itu cukup tampan.

“Gue kira setanlah.” Agni menjawab seraya cepat-cepat menundukkan pandangan. Dia berusaha menutupi semburat merah di wajahnya.

“Ganteng gini dibilang setan.”

Agni merasakan pergerakan di sampingnya. Dia kembali menoleh. Debaran jantungnya kembali meningkat saat menyadari si lelaki muda turut berjongkok di sampingnya.

“Ambil air. Sini aku ajarin cara kupas bawang biar alergimu enggak kumat.”

Agni mengerjap-ngerjapkan mata. Dia memandangi si lelaki dengan sorot mata bingung.

“Pelayan di resto ini pada lemot, ya? Disuruh malah bengong.”

Agni terbelalak, “Enak saja lemot. Lo ngatain orang jangan sembarangan.”

“Makanya buruan bawa air ke sini. Mumpung aku lagi baik hati, nih.”

Agni mendengus. Dia beranjak ke keran dan mengisi satu baskom kosong dengan air. Perempuan itu mengamati cermat saat si lelaki memasukkan dua genggam bawang putih dalam air.

“Rendam bentar. Sambil nunggu, kamu bisa bersihin kerangnya.”

Agni manggut-manggut. Anehnya dia patuh saja melaksanakan perintah si lelaki asing itu. Agni merasa makin takjub saat menyadari si lelaki menyingsingkan lengan kemejanya dan turut membantu Agni menggosok kerang.

“Aku Hujan. Siapa namamu?” tanyanya tanpa menoleh pada Agni.

Perempuan itu melirik pria di sampingnya. Aroma kolonye maskulin menyapa lembut indra penciuman Agni. Lagi-lagi debaran jantung dara muda itu meningkat cepat.

“Agni. Lo pegawai baru?”

Agni langsung mendapat lirikan tajam dari Hujan. “Tampang keren gini masak dibilang pegawai.”

“Lah, lo ngejogrok di sini bareng gue.” Agni membela diri. “Ya, kali, lo tamu mau ikut kotor-kotoran sama pegawai di belakang.”

Hujan menghela napas berat. Omongan perempuan itu memang tak salah. Logikanya mana ada tamu yang rela mengotori dirinya sendiri dengan membantu pekerjaan pelayan restoran.

“Enggak penting siapa aku.” Hujan enggan menjelaskan.

Agni mengangkat bahu. Dia tak mau tahu urusan orang lain. Toh, dirinya sendiri masih sepekan bekerja di sini. Asalkan pegawai baru itu tak merecokinya, Agni akan bersikap cuek sepenuhnya.

Namun, dia tak bisa mengabaikan keunikan nama lelaki itu. Tanpa sadar bibirnya bersenandung. Sebuah lagu lawas tahun dua ribuan yang sangat booming. Dibawakan oleh grup musik asal Bandung dengan vokalis yang tak pernah gagal membuat Agni terpesona.

“Jejak siapa yang mau dihapus?” Hujan tiba-tiba bertanya.

Agni menghentikan senandungnya. Wanita itu menoleh.

“Kamu lagi patah hati? Nyanyiin lagu sedih gitu.”

Agni mendengus. “Sembarangan. Lagunya cocok buat lo. Hujan. Lagian punya nama aneh bener. Hujan.”

Agni mengulang nama lelaki itu. Dia menunjuk langit yang mendung.

“Jangan-jangan mendung gini karena lo ada di sini.”

“Sembarangan.” Hujan mencipratkan air ke muka Agni. Bibirnya melengkung senyum lebar melihat reaksi perempuan itu yang langsung protes berat.

“Mama kasih nama Hujan karena aku dibuat pas hujan. Lahirannya juga pas hujan deres banget.”

Agni bengong.

Selama beberapa detik dia tidak mampu bereaksi dengan baik. Wajah perempuan itu dengan cepat berubah merah padam. Rasa panas dirasakannya sepanjang leher dan pipi.

“Dibuat?” tanya Agni gugup. Nada suanya mengandung kepanikan.

“Iya, dibuat. Caranya dengan—”

“Stop! Stop!” Agni langsung mengangkat tangan meminta berhenti. Wajah perempuan itu sudah semerah kepiting rebus. “Gue udah ngerti maksud lo. Enggak perlu dijelasin segala.”

“Lah, tadi nanya.” Hujan terkekeh.

Agni mengerucutkan bibir. Dia kembali berkutat dengan kesibukannya membersihkan kerang. Diam-diam perempuan itu melirik kembali ke arah Hujan dan bertanya dalam hati.

Selama ini sangat susah baginya untuk bicara santai pada orang baru. Agni lebih sering diam. Namun, berbeda dengan Hujan.

Pembawaan ramah lelaki itu membuatnya nyaman. Tak sadar Agni bicara cukup loyal. Pelit kata yang biasanya jadi identitas perempuan itu seolah luruh saat berhadapan dengan Hujan.

Dan nama lelaki itu sangat epik. Dia tak yakin apakah akan mudah melupakan sosok Hujan bila pertemuan siang hari ini usai.

“Nah, udah beres.”

Agni tersenyum. Berkat bantuan Hujan, pekerjaannya jadi lebih cepat selesai.

“Terima kasih,” ucapnya tulus sembari menepikan keranjang kerang yang sudah dibersihkan.

“Bawangmu juga udah bisa dikupas, tuh.” Hujan meraih baskom bawang. Dia menarik kulit bawang dengan sangat mudah tanpa bantuan satu alat pun. Hanya berbekal jemari saja.

Pemandangan itu mencengangkan Agni. Dia tak mengira bila mengupas bawang ternyata bisa dilakukan dengan sangat mudah dan aman.

“Kamu enggak pernah masuk dapur?” Hujan mengernyitkan dahi heran melihat ekspresi takjub di wajah lawan bicaranya.

Agni menjawab. “Masuk dapur sering, tapi anti kupas bawang. Selama ini pake bawang bubuk yang sudah siap beli itu.”

“Emang alergi?”

Perempuan itu mengangguk. “Gatal-gatal mulu kalau ngupas bawang. Eh, terima kasih lagi untuk bantuannya. It’s very usefull.” Agni memamerkan senyum lebarnya.

Hujan membalas senyum Agni. Dia hendak bicara, tetapi suara melengking bernada feminin terdengar menyapa indra pendengaran dua orang di teras belakang itu.

“Oh, jadi gini ulahmu di belakang aku? Pantesan susah bener diajak ketemuan. Ternyata kamu selingkuh sama dia?”

Agni bengong. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. Kekagetan perempuan itu memuncak saat satu tamparan mendarat di pipinya.

Agni terkesiap. Hujan langsung membentak keras. Dia meraih Agni masuk pelukan dan melempar tatapan tajam ke perempuan yang baru datang.

“Selvi! Gila kamu, ya!” Hujan meradang.

“Apa? Mau belain selingkuhan kamu?” Selvi balas membentak.

“Dia bukan selingkuhan aku,” geram Hujan.

Selvi mendengus keras. Tatapan perempuan dengan riasan sempurna ala aktris Korea itu melekat pada Agni dan Hujan.

“Jika bukan selingkuhan, kenapa kamu peluk-peluk dia, hah?”

Hujan mengertakkan rahang. Dia pilih mengabaikan sejenak kemarahan perempuan di hadapannya. Lelaki itu memeriksa Agni saksama.

“Kamu sakit? Enggak ada luka serius, kan?”

Agni menggeleng. Tak ada luka fisik apa pun. Namun, harga dirinya sudah terluka. Dituduh sembarangan dan ditampar tanpa tedeng aling-aling.

“Maafin Selvi. Aku akan bawa dia pergi.”

Selvi terbelalak. Perempuan itu berkacak pinggang. “Hei, urusanku belum kelar sama dia. Enak saja sudah mau pergi. Kalian mau menghilangkan jejak perselingkuhan, ya?”

“Selvi, diam!” Hujan membentak.

Suara keras lelaki itu sontak mengagetkan tidak hanya Selvi, tetapi juga Agni. Dua perempuan tersebut menatap Hujan lekat-lekat.

“Kamu sembarangan menuduh orang. Dia cewek baik-baik, bukan selingkuhan aku.”

Hujan maju selangkah. Dia melepas Agni demi mendekati perempuan yang masih memasang raut muka marah itu.

“Sebelum kamu nuduh orang sembarangan, lebih baik kamu ambil kaca dan lihat dirimu sendiri, Sel.”

“Apa maksudmu?” Selvi menyipitkan mata.

“Pura-pura enggak tahu?” Hujan bertanya dingin. “Jelasin saja padaku apa maksud foto ini.”

Hujan menyodorkan ponsel pintarnya ke depan muka Selvi. Perempuan itu melihat sekilas dan langsung terbelalak. Suaranya terbata-bata saat bertanya.

“Dari mana kamu dapatkan foto-foto itu?”

“Enggak penting aku dapat dari mana. Lebih baik kamu jelasin aja apa maksudnya ini. Sekarang. Di sini.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro