13 Calon Istri Mas Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamu tahu kenapa aku nggak suka kalo kamu mulai bilang lu-gue? Karena itu ngejauhin kamu dari aku. Ada jarak yang nggak bisa aku seberangi dan aku nggak suka itu.

(Hujan saat ngomelin Agni)

~~oOo~~

"Sampai mati pun juga gue nggak bakal mau minta bantuan dia."

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Agni. Langkahnya cepat meninggalkan Hujan. Namun, lagi-lagi Agni kalah jarak sebab panjang kaki mereka berdua memang tak sama.

Dengan cepat Agni terkejar oleh Hujan. Lelaki itu menahan kepergian Agni.

"Cemburu, ya?" todong Hujan tiba-tiba.

Agni melotot galak. Hujan tertawa kecil. Mereka berjalan bersama tanpa mempedulikan tatapan orang-orang.

"Dih, gitu aja ngambek." Hujan gemas ingin menjawil puncak hidung Agni. Namun, dia berusaha keras menahan diri.

"Ya, elo kebangetan. Udah tahu itu pacar elo adalah musuh besar gue. Lah, enak banget nyodorin ide mau pinjem duit ke dia."

"Sudah jadi mantan." Hujan mengoreksi perkataan Agni.

"Iya. Mantan yang bentar lagi bakal balik jadi pacar," sindir perempuan itu ketus.

Hujan menghela napas berat. Biasanya dia tidak punya kesabaran ekstra menghadapi perempuan perajuk. Namun, melihat Agni yang sedang ngambek seperti sekarang justru Hujan jadi bersemangat menggoda.

"Kenapa jadi elo-gue lagi?" Hujan menatap perempuan di sampingnya lekat-lekat.

"Apaan, sih?" Agni mendengus.

"Ayolah. Aku-kamu gitu, loh."

"Ribet banget sama panggilan sih, Jan? Nggak penting itu! Yang penting sekarang adalah cari duit buat modal."

Hujan menggeleng-geleng. Dia menarik Agni menepi ke sebatang pohon besar. Panas terik sedikit berkurang berkat rindangnya pohon yang memberi keteduhan.

"Buat aku itu juga penting. Elo dan gue bikin kita berjarak. Aku nggak bisa seberangi jarak itu, Agni."

Perempuan itu tertegun.

"Mikirin apaan? Mukanya sampe bengong gitu." Hujan menjawil ujung hidung Agni.

Perempuan itu menepis tangan Hujan. Wajahnya memerah. Cepat-cepat Agni memutar otak mencari jawaban yang tidak menunjukkan kebaperannya. Gengsilah dia kalau sampai ketahuan memikirkan perkataan Hujan yang tembus ke hati.

"Mikirin duit," elak Agni cepat.

Hujan menahan tawa geli. "Jadi, gimana hasil pemikiranmu?"

"Minjem duit Tante aja kalau gitu."

Hujan menatap jahil ke arah Agni. Mukanya menahan ledakan tawa. Ternyata sangat mudah memprovokasi perempuan keras kepala itu. Tinggal sodorkan nama Selvi … voila, Agni pasti langsung mengambil tindakan agresif.

"Kamu nggak apa-apa aku minjem duit Ibuk?" Hujan menegaskan.

Agni menganggukkan kepala. "Mending pinjem sama Tante-lah, ketimbang …." Perempuan itu tak melanjutkan perkataan.

"Ketimbang aku balikan sama Selvi?" Hujan berbaik hati meneruskan perkataan rekannya.

"Urusan elo-lah, mau balikan lagi apa nggak," dengkus Agni kasar.

Hujan menghela napas panjang. "Kok, balik elo-gue lagi, sih? Mbok konsisten aku-kamu gitu, loh."

Agni memutar bola mata. Dia bergegas melangkah pergi menjauhi lokasi. Pasalnya mereka sudah jadi tontonan banyak orang. Rasa malu Agni meningkat drastis menyadari situasi di sekelilingnya.

Mereka berpisah untuk mengikuti perkuliahan. Namun, di penghujung hari Hujan sudah menunggu Agni di halaman depan gedung Dekanat, tempat Agni menyelesaikan kuliah terakhirnya.

Kehadiran lelaki itu sontak menarik perhatian mahasiswi angkatan Agni. Ralat, bahkan golongan mahasiswa pun turut melongo melihat wujud Hujan yang tanpa tedeng aling-aling melambaikan tangan penuh kebahagiaan pada Agni.

"Kalian pacaran?" todong salah satu teman kuliah Agni.

"Eh, nggak. Aku sama Hujan cuma teman. Kami sedang terlibat kerjaan bareng." Agni melambai-lambaikan tangan dalam gerakan penolakan.

Jawaban Agni jadi blunder. Bukannya mereda, antusiasme teman-temannya justru meningkat drastis.

"Kerjaan apaan?"

"Duh, enak banget kerja bareng kating seganteng itu."

"Nggak terima pekerja baru tuh, Mas Hujan? Aku mau daftar, dong."

Agni memelotot galak. Buru-buru dia menggeleng dan menjawab ala kadarnya. Setelah itu Agni menyeret Hujan pergi dari halaman Dekanat.

"Ngapain ke sini, sih?" tanya Agni sewot.

"Lah, kita sekampus, Non. Sefakultas lagi. Terserah aku-lah mau nongkrong di mana." Hujan menjawab geli.

"Ya, tapi …." Agni frustrasi. 

"Tapi apa?"

"Nggak perlu tebar pesona macam gitulah." Agni sewot. 

Hujan menyeringai. Tanpa peringatan lelaki itu menumpangkan lengan ke bahu Agni. Aksinya langsung disambut tepisan kasar perempuan itu, juga kesiap keras teman-teman Agni. Namun, bukan Hujan namanya jika gampang menyerah.

Dia kembali merangkul Agni. Kali ini diiringi dengan sedikit pelukan bertenaga yang membuat perempuan itu mati gaya. Tanpa mempedulikan tatapan protes Agni, dia menyeret perempuan itu menuju mobilnya.

"Aku mau ke tempat kerja dulu." Agni menolak ajakan Hujan.

"Kamu nggak mau mengundurkan diri?"

"Kenapa aku harus mengundurkan diri?" Agni mendadak terkena sindrom pra menstruasi. Bawaannya mendadak emosional tiap kali berdekatan dengan Hujan. 

"Kan, kamu mau kerja di food truck kita," jawab Hujan. 

"Aku masih bisa kerja di tempat lain juga, Jan." Agni memprotes.

"Nggak bisa. Kamu harus jaga kesehatan. Food truck kita operasionalnya malam sampai dini hari. Pagi sampai siang kamu kuliah. Terus istirahatmu kapan?"

"Tapi–"

"Aku gantiin upah kamu kerja part time, ditambah dengan bagi hasil dari food truck kita. Gimana?"

Agni terperangah. Selama lima detik penuh dia lupa di mana dirinya berada saat ini. Yang ada dalam kepala mungil Agni hanya prospek mendapat uang cukup besar, versi dia tentu saja, tanpa harus bekerja banting tulang sekeras sebelumnya.

Dan iming-iming kata istirahat membuat iman Agni goyah. Pertahanan diri perempuan itu hancur berantakan. Namun, untuk menjaga gengsi Agni masih pura-pura menolak tawaran Hujan.

"Nggak bisa gitu dong, Jan. Aku tetap harus cari duit sendiri. Masak ngandelin bantuan kamu melulu?"

Hujan menaikkan alis tinggi-tinggi. Komentarnya meluncur dalam nada setengah kesal.

"Ini anak, dimudahkan malah masih saja cari yang sulit. Oke, kamu boleh kerja tambahan. Tapi bikin kue saja buat Pasar Minggu. Deal!"

"Dih, maksa."

"Mau apa nggak?" Hujan bertanya tidak sabar. "Buruan jawab. Kita harus pergi sebelum keburu sore banget, nih."

"Mau ke mana, sih?"

"Kencan," seloroh Hujan.

Agni memutar bola mata. "Hujan, nggak lucu candaanmu."

"Kamu baper?" Hujan penasaran.

"Nggak. Tapi dengerin joke garing kamu tuh, kayak dengerin bapak-bapak RT lagi ngerayu janda kampung. Norak."

Tawa Hujan pecah. Lelaki itu buru-buru mendorong Agni masuk mobil. 

"Norak gini juga banyak yang naksir aku. Tuh, teman-teman kamu pada ngiler lihat kita ngobrol."

"Mereka norak, jadi ngiler sama kamu." Agni membalas asal.

Tawa Hujan kembali terdengar. Lelaki itu segera menggeber gas keluar kampus. Tujuan mereka kali ini adalah salah satu bengkel di wilayah Singosari. 

Dan Agni terperangah takjub melihat Hujan menunjukkan VW Combi yang sudah dimodifikasi. Lelaki itu menepuk badan mobil yang telah dicat warna hijau putih.

"Rezeki anak baik. Kemarin hunting di komunitas. Ada yang nawarin ini mobil buat disewa. Murah, Ni. Cuma tiga jutaan."

Tiga juta murah.

Agni bergumam dalam hati. Dia tidak mau mengutarakan pendapat tentang perbedaan perspektif mereka akan konsep murah dan mahal. Cuma bakal menimbulkan debat kusir yang tak berakhir.

"Udah sekalian dimodifikasi seperti mobil buat jualan, ya?" Agni mengagumi fasad samping mobil.

"Betul. Kita tinggal cari printilan lain buat jualan. Besok libur kuliah?"

Agni menggeleng. "Ada satu makul, tapi jam dua siang."

"Kalau gitu, pagi kita mulai belanja. Yok, sekarang ikut aku."

"Ke mana lagi?" Agni mengeluh.

Hujan menatap perempuan di sampingnya lekat-lekat. Lidah lelaki itu ingin sekali meloloskan jawaban sembarangan lagi. Namun, kali ini dia takut ucapannya akan menjadi doa.

Ke tempat calon mertuamu.

Itu yang ingin dikatakan Hujan, tetapi berhasil dipendam lelaki itu. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Ambil duit. Yok, ke rumah aku."

Agni bengong. "Jan, mending kamu sendirian aja deh, yang pulang. Aku tunggu di rumah aja."

"Oh, nggak bisa. Ingat, yang ditawarin pinjaman itu kamu, bukan aku."

"Tapi–"

"Agni, ingat. Kita satu tim. Mau nggak mau, kamu harus mau ke rumahku." Hujan menarik Agni menjauh dari VW Combi.

"Tapi–" Agni masih meragu.

"Ndak apa-apa, Mbak. Itu Mas Hujan mau ngenalin ke camer, tuh. Iyain aja, biar cepet kalian nikah."

Hujan dan Agni menoleh berbarengan ke sumber suara. Si pemilik mobil yang disewa tengah berdiri di satu sisi ruangan. Senyumnya merekah lebar melihat ekspresi dua orang yang berdiri tak jauh darinya itu.

"Udahlah, Jan. Jadi cowok yang gercep gitu, loh. Mending sama cewekmu yang sekarang ini. Ebes-mu pasti mau terima seratus persen. Kamu juga mau to Mbak, jadi calon istri Mas Hujan?"

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro