4 Mungkin Kita Berjodoh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agni basah kuyup.

Akibatnya jok mobil Hujan juga jadi becek terkena tetesan dari baju Agni. Namun, perempuan itu tak peduli. Bagi Agni, rusaknya jok kulit mahal Hujan tak sebanding dengan penderitaannya pasca dipecat dari restoran.

"Cemberut mulu. Senyum dikit bisa nggak?" Hujan menyalakan wiper. Kakinya lalu menginjak pedal gas dan kopling. Tangannya lincah memindah tongkat persneling. Mobil Hujan kemudian melaju pelan menembus derasnya hujan di wilayah Suhat.

"Mulut gue ini. Terserah mau cemberut apa nggaklah." Agni sewot.

Hujan mengembuskan napas keras. Dia bertanya tanpa tedeng aling-aling.

"Kamu lagi datang bulan, ya? Senewen mulu bawaannya?"

"Eh, gue senewen karena lo--"

"Bisa pakai aku-kamu saja? Risih kuping aku dengar kamu bilang lo-gue melulu." Hujan memotong cepat.

Agni terbelalak. Mulutnya terbuka siap protes keras. Namun, niat perempuan itu kembali tertahan saat Hujan nyerocos lagi.

"Terus aku nggak minta dihargain yang gimana gitulah. Tapi bisa nggak, kamu say thanks sama aku dulu? Kondisimu genting tadi."

"Gue nggak minta--"

"Aku-kamu, please?" Hujan memotong.

Dengkusan Agni terdengar keras. Refleks perempuan itu menghentakkan kaki kuat-kuat. Kekesalannya kian memuncak karena Hujan sepertinya tidak terpengaruh tingkah Agni sama sekali.

"Aku nggak minta diselamatkan." Akhirnya perempuan itu mengalah.

Senyum Hujan merekah. Lelaki itu menginjak pedal rem. Laju mobil harus dipelankan karena mereka memasuki wilayah hobi banjir.

"Nah, gitu, dong. Enak di kuping aku yang Jawa tulen ini." Hujan memuji.

Sebenarnya Agni ingin marah. Dia masih jengkel dengan tingkah pacar Hujan yang semena-mena membuat dirinya dipecat.

Namun, pujian dari lelaki itu tak urung membuat hatinya menghangat. Bahkan Agni merasakan pipinya memanas, hingga dia terpaksa membuang muka ke arah kiri.

"Mau kamu nggak minta diselamatkan pun, kondisinya tadi juga genting. Empat preman loh, yang kamu hadapi." Hujan memutar roda kemudi.

Dia berniat menyalip satu mobil berjenis pick up yang berjalan pelan di depan. Sayangnya, ternyata ada motor yang melaju di depan kendaraan roda empat tersebut. Hujan tidak tega menyalip dengan risiko akan membuat genangan air menyiram tubuh si pengendara motor.

"Aku bisa bela diri, kok." Agni bersikeras.

"Yang benar?" Hujan melirik perempuan di sampingnya. "Gerakan kuda-kuda saja kamu nggak bisa. Sok-sokan bilang bisa bela diri."

Agni terbelalak. "Emangnya kamu juga bisa bela diri?"

"Dih, masih nanya. Tadi yang ngehajar empat preman pakai satu tangan itu siapa? Roh aku?" Hujan berdecak keras.

Agni terperangah. Gara-gara emosi yang memuncak, dia jadi lupa pada aksi heroik Hujan. Dalam hati wanita itu memuji kemampuan si lelaki yang sangat mumpuni.

Berkelahi keroyokan itu sulit. Dan Hujan sukses melakukannya dengan posisi terus melindungi Agni. Dia penasaran jenis bela diri apa yang dikuasai oleh lelaki itu.

"Kosmu di mana? Aku antar pulang."

Lamunan Agni buyar seketika. Dia terbengong-bengong sejenak. Fokusnya hilang sudah.

"Hei, ditanya malah diem."

Agni mengerjapkan mata. Saat itu dia berharap dirinya masih ada di tengah hujan deras. Biar aliran air mata tak tampak di wajah pucatnya.

"Kamu nggak punya kos?"

Serangan telak. Sikap pengendalian diri Agni yang memang tinggal secuil saat berhadapan dengan Hujan, kini langsung tandas tak bersisa. Perempuan itu melempar lirikan tajam ke arah Hujan.

"Bisa nggak kalau ngomong nggak kelewat jujur?" Agni sewot.

Hujan membulatkan mata. "Eh, beneran nggak ada kos?"

"Gue diusir," jawab Agni ketus. Tanpa malu-malu perempuan itu meneruskan perkataannya. "Gara-gara pacar seseorang yang ngira gue jadi selingkuhan. Terus main pecat seenaknya. Dasar cewek kampret."

Hujan mendesah keras. "Aku-kamu, please? Singkirin lo-gue saat ngobrol bareng aku."

"Lah, lo siapa, sih? Deket sama gue aja nggak. Sok-sok ngatur nyuruh gue ngubah panggilan." Agni sewot.

"Kan, tadi bisa." Hujan keras kepala.

"Tadi gue keseleo lidah." Agni mengelak. "Pokoknya gue nggak mau nurutin mau lo. Kita tuh, nggak deket. Ngapain harus--"

"Kalau gitu, kita deketan saja mulai sekarang." Hujan memotong.

Perempuan di sampingnya terbelalak. "Kebiasaan banget, sih? Motong omongan orang seenaknya."

"Deal, yak. Kita deketan mulai sekarang. Berarti nggak ada lo-gue lagi. Hanya ada aku dan kamu."

Agni memutar bola mata. Perempuan itu tak habis pikir mengapa perkara sebuah panggilan saja bisa jadi masalah besar untuk Hujan.

Agni bersandar ke jendela mobil. Mereka sudah melewati Monumen Pesawat Terbang. Kendaraan roda empat itu melaju mulus di jalanan yang relatif sepi.

Hujan deras ditambah jam yang mulai merangkak tinggi membuat suasana jalan ikonik Malang Kota itu jadi sangat berbeda dengan kala siang hari. Minim kendaraan yang membuat macet. Hening dari orang-orang yang berlalu lalang.

Kedamaian praktis mewarnai pedestrian Sukarno Hatta menuju arah Pasar Blimbing itu.

"Lo--"

"Kamu!"

Agni mendesis keras. "Kamu kenapa sok care banget gini, sih? Aku nggak mau dilabrak pacarmu yang songong banget itu."

Hujan tersenyum tipis. "Selvi maksudmu?"

"Namanya Selvi?"

Hujan mengangguk. "Sekarang sudah jadi mantan."

Agni tertegun. Dia memandangi Hujan dengan tatapan bingung.

"Kamu dingin? AC-nya aku matiin, ya?"

Agni melihat tangan Hujan yang bergelang kulit mematikan AC mobil. Lalu jendela di bagian samping kirinya dibuka sedikit, sekadar cukup menjadi ventilasi tanpa harus memasukkan air hujan ke pangkuannya.

"Aku minta maaf. Ulah Selvi memang keterlaluan." Hujan berkata lembut. "Tapi aku beneran nggak nyangka kalau kamu dipecat. Kupikir waktu itu Selvi hanya gertak sambal doang."

Agni terdiam. Dia tidak ingin mengomentari perkataan lelaki itu. Fisik Agni sudah lelah. Yang diinginkannya hanya tidur sejenak.

Jadi, itulah yang dilakukan Agni. Dia membiarkan Hujan mengoceh sendirian. Perempuan itu memejamkan mata dalam kondisi baju masih basah. Tidak memikirkan apakah dia akan sakit atau tetap kuat layaknya Gatotkaca.

Dan keesokan harinya, jeritan Agni melengking tinggi. Perempuan itu histeris seraya menarik selimut tinggi-tinggi menutupi dagu. Matanya terbelalak.

"Agni? Kenapa?"

Yang dipanggil nyaris kehilangan detak jantung. Dia melayangkan pandangan ke arah pintu kamar yang terbuka lebar.

"Kamu apain aku, hah?" Agni berteriak histeris. "Mana bajuku? Kenapa ... kenapa ...."

Perempuan itu tak mampu melanjutkan perkataan. Matanya masih terbelalak. Wajah Agni pucat pasi.

Hujan menggaruk-garuk pelipis dengan ujung telunjuk. Lelaki itu menghela napas panjang.

"Nggak usah lebay. Aku nggak doyan sama kamu."

Agni melotot galak. Hujan berjalan masuk.

"Eh, mau apa kamu?" Perempuan itu panik. Dia merapat ke kepala tempat tidur dan memastikan tiap inci tubuhnya tertutup helaian selimut.

"Astaga, kamu jadi orang suuzan melulu, deh." Hujan menghela napas. "Aku mau kasih baju kamu, nih. Udah aku cuci, tapi belum sempat disetrika."

Bola mata Agni membulat lebar. Detik berikutnya rona merah menjalari leher dan muka perempuan itu.

Bagian pakaian luar yang terlipat rapi masih oke dipandang mata. Namun, Agni malu semalu-malunya saat melihat pakaian dalamnya teronggok tak kalah rapi di atas celana dan kaus yang sudah bersih.

"Oh, sebelum kamu nuduh aku yang macem-macem, aku mau kasih tahu dulu. Yang gantiin baju kamu itu pembantu di sini. Cewek, kok. Bukan cowok. Aman pokoknya dirimu."

Agni tak tahu harus bernapas lega atau tidak. Hujan masih terus bicara.

"Semalam kamu ketiduran. Baju juga basah. Takutnya sakit. Tapi mau aku gantiin pake baju aku, kata si bibik nggak perlu. Ya, udah."

"Bisa keluar dulu? Aku mau pakai bajunya," pinta Agni dengan suara tercekat.

"Pakai aja di sini. Aku nggak bakal lihat, kok."

"Hujan!" Perempuan itu langsung melempar bantal. Kena telak ke kepala sang pemilik kamar.

"Aduh. Iya. Iya. Aku keluar. Duh, brutal banget sih, kamu jadi cewek."

Hanya butuh sepuluh menit bagi Agni untuk beberes diri. Ada kamar mandi dalam di kamar tidur itu. Seseorang telah berbaik hati meletakkan sikat gigi baru di sana.

Saat perempuan itu keluar kamar, pemandangan menghangatkan hati terpampang di depan mata. Hujan tengah berdiri di depan meja makan. Tangannya terlihat menata dua piring nasi goreng yang masih mengepulkan asap.

"Bikinan pembantu kamu?" tanya Agni.

"Bukan. Ini bikinan aku sendiri. Duduk sini, kita sarapan."

Agni patuh. Percuma juga mengelak dari tawaran menggiurkan Hujan. Perutnya yang keroncongan otomatis jadi pengkhianat sejati.

Mereka makan dalam diam. Agni cukup terkejut menyadari rasa masakan Hujan tak bisa diremehkan. Enak. Paduan bumbunya pas. Menyantap sarapan buatan Hujan bahkan langsung mengingatkan Agni akan masakan buatan mamanya sendiri.

"Kamu ada tujuan?"

Agni yang baru usai menandaskan nasi goreng terakhirnya mendongak.

"Kamu bilang, kamu diusir dari kosan?"

Kepala berambut sepunggung itu mengangguk.

"Punya tempat buat tinggal?" tanya Hujan lagi.

Agni menggeleng. "Baru mau cari."

"Tinggal di sini saja. Ada kamar kosong, kok." Hujan memberi tawaran. "Kamu masih kuliah? Kuliah di mana? Jauh nggak dari sini?"

Mendapat berondongan pertanyaan seperti itu Agni langsung menghela napas panjang. Dia sedang malas basa-basi dan membuat perdebatan. Jadi, Agni langsung menjawab lugas pertanyaan Hujan.

"Aku cari kosan deket kampus aja. Kuliah di UB, semester dua. Kalau tinggal di sini, kejauhan. Selain itu juga bahaya serumah sama cowok macam kamu."

Hujan bengong. "Cowok macam aku? Emang seperti apa aku ini?"

"Nyebelin, tukang bikin rusuh, bau-baunya juga bakal bawa sial melulu buat aku."

Hujan terperangah. Mata bulat lelaki itu mengerjap-ngerjap lucu. Tambahkan pula mulutnya yang terbuka lebar. Ketampanan Hujan langsung turun pangkat masuk kategori menggemaskan.

"Aku? Bawa sial? Yang bener aja!" Lelaki itu protes berat. "Kamu tuh, yang bawa sial buat aku. Aku jadi putus sama Selvi, kehujanan semalam, sekarang dituduh yang nggak-nggak pula. Dasar cewek aneh."

"Heh, kalau udah tahu cewek aneh kenapa masih nolongin aku juga?" Agni mulai sewot.

"Karena kamu kayak anak kucing. Ngeliat kamu di Suhat kemaren tuh, bikin kasihan tahu."

Agni geleng-geleng kepala. Konsep Hujan yang menyamakan dirinya dengan anak kucing sedikit membuat perempuan itu tersinggung.

Namun, lagi-lagi Agni malas berdebat. Dia bangkit, mencuci piring kotornya sendiri, dan segera bergerak kembali ke kamar.

"Mau ke mana?" Hujan mengejar.

"Cari kos baru. Ada kuliah siang juga aku. Harus balik ngampus sebentar lagi."

"Aku antar." Hujan berkata cepat.

"Nggak usah. Aku bisa naik angkot."

Hujan terdiam. Dia mengamati Agni yang tengah mengambil koper dan tasnya.

"Ngomong-ngomong, makasih buat bantuannya. Aku nggak janji bisa balas budi ke kamu. Tapi aku bakal ingat kebaikan kamu."

"Omonganmu kayak kita nggak bakal ketemu lagi aja." Hujan nyeletuk.

"Memang nggak bakal ketemu lagi, kan?"

Hujan mengambil kunci dari atas meja televisi. Dia mengedikkan kepala, memberi isyarat pada Agni untuk mengikutinya.

"Ke mana?" tanya perempuan itu heran.

"Kampus kamu. Feeling aku, kita bakalan sering ketemu, deh. Terima nasibmu, ya. Karena kayaknya kita berjodoh, nih."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro