6.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naya menyambangi rumah Gladis setelah selesai jadwal praktek. Tak lupa Naya membawa buah tangan. Kedatangannya kesana, selain untuk menengok sang sahabat, ia juga mau menjenguk ayah Gladis.

"Eh, Naya. Masuk, masuk," ucap Gladis dengan wajah sumringah. "Kamu ke sini sendiri? Nggak sama Kak Rendra?"

"Kak Rendra jaga malam." Naya meletakkan parcel aneka buah di atas meja. "Ayah kamu gimana kabar?"

"Sudah mendingan. Dikit-dikit bisa aktivitas. Ya, pindah gitu, dari kamar ke ruang tengah atau ke teras belakang, yang penting nggak di kasur terus."

"Syukur lah," ucap Naya. "Kalau kamu, gimana?"

"Aku? Aku ya gini-gini aja." Gladis tertawa sumbang.

Naya menghela napas panjang. Ia tahu, hati Gladis hancur. Pernikahan Niko tempo hari membawa perubahan pada sahabatnya tersebut. Tak hanya itu, Ayah Gladis pun terkena imbasnya. Kondisi kesehatannya anjlok mendengar kabar bahwa Niko tak jadi menikahi sang putri bungsu karena harus membina rumah tangga dengan wanita lain.

Sesungguhnya, saat ini tidak hanya Gladis yang sedang sedih. Ghina juga iya. Naya baru saja bertukar cerita dengan Loli. Setelah pulang dari trip Osaka, Ghina justru menangis dan menceritakan kegundahan hatinya pada Loli tentang hubungannya dengan Yuta. Dua diantara mereka berempat sedang bersusah hati, tentu Naya tidak bisa tidak khawatir. Ia menawarkan bahu untuk Gladis menangis, sama halnya dengan Loli pada Ghina.

"Masih sakit hati?" tanya Naya hati-hati.

Gladis termenung sesaat. "Sakit hati jelas masih, Naya. Setidaknya, sudah nggak di fase denial atau angry. Aku mulai menerima kenyataan."

Naya tersenyum. "Iya, Dis. Kamu harus bangkit."

"Niko masih berusaha kontak aku, Naya."

Naya menegakkan punggung. Wajahnya kalut. "Terus?"

Gladis tersenyum tipis. Ia tahu, Naya pasti khawatir pertahanan Gladis akan kembali runtuh. "Nggak aku balas. Aku cuma iseng baca-baca pesan masuk dari dia."

"Harusnya, kamu biarin saja, Gladis."

"Aku coba gitu, tapi susah," Gladis membuang pandangan ke arah lain. "Sepuluh tahun bukan hal yang sebentar. Aku sudah kenal dia terlalu jauh. Untuk langsung berubah gitu aja jelas nggak mungkin."

"Keputusan kamu untuk nggak datang ke resepsi mereka itu sudah benar. Aku yakin kamu pelan-pelan bisa melepas dia dari hidup kamu."

"Naya, kadang aku pikir, aku ini benar-benar menyedihkan," keluh Gladis.

"Kenapa?"

"Aku nggak bisa ubah kebiasaan hidup saat masih bareng Niko dan setelah putus dari Niko. Bangun pagi, aku otomatis ambil HP untuk buka kontak dia, untung nggak kebablasan kirim selfie, kebiasaan dulu pacaran. Kalau lagi makan cantik, aku juga masih suka ambil gambar, kayak dulu aku selalu kirim foto makanan ke Niko." Gladis menghembuskan napas dengan perasaan berat hati. "Aku kangen dikasih ucapan selamat pagi, kangen tiap weekend diapelin Niko ke rumah, kangen ditanyain tentang kegiatan aku tiap hari."

"Gladis, itu cuma kebiasaan."

"Aku tahu, Naya. Makanya aku bilang aku ini menyedihkan."

Naya merentangkan tangan, ia merangkul sahabatnya itu lembut. "Aku bisa lakuin itu semua, sebagai pengganti Niko. Nggak cuma aku, Loli sama Ghina juga."

Gladis tertawa kecil. "Ih, nggak ah. Kalian urusin hidup kalian sendiri-sendiri saja."

"Kamu nggak mau buka hati untuk yang baru, Dis?"

Gladis menggeleng. "Belum saatnya. Aku harus sembuh dulu dari luka ini. Toh, kalau jodoh, nggak akan kemana, kan?"

Naya mengangguk setuju. "Benar. Pokoknya, kamu jangan sampai berbuat bodoh kayak aku."

"Maksudnya?"

"Masih sakit hati habis pisah dari Kak Jeno, eh nggak lama kemudian jalan bareng Kak Julian. Ujung-ujungnya juga nggak ada sama mereka berdua," Naya meringis. "Muncul pemain baru yang nggak aku sangka bakal masuk di hidup aku sebagai suami."

Gladis tersenyum. "Iya, kan? Jodoh nggak ada yang tahu kecuali Tuhan."

Naya ikut tersenyum. Gladis adalah orang yang paling sabar dan tegar yang pernah ia kenal. Di kasus lain yang serupa dengan yang dialami Gladis, bisa saja pihak yang tersakiti mengamuk dan membabi buta pada si pria. Namun Gladis tidak begitu. Meskipun syok, Gladis mampu menahan emosinya dengan baik. Ia tidak marah, tidak menangis meraung-raung. Dengan tegasnya, Gladis bicara pada Niko, "Putusin aku, nikahin dia."

Tidak ada satu pun wanita yang benar-benar rela kekasihnya harus dibagi. Begitu pula dengan Gladis. Naya masih ingat bagaimana rupa bahagia Gladis saat bertemu dengannya untuk meminta bantuan menyelenggarakan pesta pertunangan dirinya dan Niko. Eh, seminggu kemudian, Naya mendapat dua kabar buruk sekaligus. Pertama, Gladis dan Niko putus. Kedua, Ayah Gladis masuk ICCU.

Naya tahu, ketegaran yang ditunjukkan Gladis semata hanyalah benteng rapuh. Ia bersikap kuat demi orang tuanya. Gladis mengorbankan diri sendiri, agar paling tidak rasa sakit hati sang ayah tidak terlalu parah. Naya tahu bagaimana sedihnya perasaan ditinggal oleh orang tua untuk selama-lamanya. Di kasus Gladis, hanya sang Ayah yang tersisa, tentu Gladis akan menjaganya dengan baik, meskipun perasaannya harus dikorbankan.

"Kita ngobrol hal lain aja, deh," ucap Gladis. Suaranya terdengar riang.

Naya mengangguk. "Oh iya, tadi Kak Rendra sempat cerita. Katanya ada artis yang sedang dirawat di rumah sakit kalian ya?"

"Artis? Siapa ya?"

"Kak Rendra juga lupa namanya. Cowok. Model iklan."

Kening Gladis berkerut. "Nggak ada, ah. Kalau ada, pasti semua orang pada tahu." Gladis berusaha mengingat. "Aku cuma tahu ada pasien pebalap sih."

"Beneran ada kok. Model deodoran. Bentar, aku googling dulu," Naya langsung meraih ponselnya dari dalam tas. Ia mengutak-atiknya sebentar, lalu ditunjukkan pada Gladis. "Nih, yang ini."

Gladis nyaris tersedak oleh ludahnya sendiri. Wajah Jeffrey terpampang disana. Pria itu berdiri dengan percaya diri tanpa atasan, perut kotak-kotaknya sungguh sangat sempurna. Gladis baru tahu kalau pasiennya begitu terkenal.

"Ini pebalap, Naya. Namanya Jeffrey."

"Pebalap apaan? Aku nggak pernah nonton balapan soalnya."

"Pebalap motor. Aku juga lupa nama lengkapnya siapa," ucap Gladis. Ia mengedikkan dagu ke arah ponsel. "Coba cari tahu di Google."

Naya menurut. Jarinya kembali menari di keyboard layar sentuh. Hasil pencarian teratas adalah kejuaraan yang baru saja Jeffrey dapatkan di Valenciana GP. Belum lama ini.

"Beneran, Dis! Pebalap profesional! Wah, sudah banyak juga dia dapat juara."

"Mana, mana?" Gladis tak bisa menutupi rasa ingin tahunya. Ia menarik ponsel Naya hingga dirinya bisa melihat lebih jelas.

Mata Gladis membulat. Ia menemukan fakta mengejutkan. Awalnya, Gladis memang memandang remeh mata pencaharian sebagai atlet. Dia bahkan suka mengejek kakak iparnya yang kelewat suka pada dunia motor racing.

Ternyata seorang Jeffrey Esa Kurniawan tidak bisa dipandang sebelah mata. Dia berada di level yang berbeda. Jeffrey digadang-gadang akan menjadi the next Valentino Rossi, apalagi mereka berdua berasal dari tim pabrikan yang sama.

"Olahraga mahal nih," ujar Naya masih terus membaca. "Aku mah Yoga di rumah cukup."

Gladis terperangah. Ia teringat sesuatu. "Memang mahal gimana?"

"Ya ini. Motornya dibuat khusus, pasti mahal. Belum alat pelindungnya. Belum biaya latihannya."

"Kalau gajinya, berapa?" tanya Gladis penuh rasa ingin tahu.

"Bentar, aku cari dulu," Naya kembali mengorek informasi layaknya antek-antek CIA. "Wih, gajinya gede banget. Nih, lihat sendiri. Itu dalam kurs Euro, belum rupiah. Oh ya, jangan lupa. Kalau menang, uang hadiahnya juga dapat banyak. Sponsor juga pasti ada."

Gladis menerima ponsel pemberian Naya. Rahangnya sukses terjatuh. Pantas saja Jeffrey bisa dengan enteng membelikan mainan kemarin untuk Raka. Uang segitu sih, sama saja seperti mengeluarkan uang untuk beli gorengan bagi kaum rakyat jelata seperti Gladis. Jeffrey seorang milyarder.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro