9.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Andaikan waktu itu bukan aku pasiennya, kamu juga bakal nolongin?"

"Iya."

Jeffrey mendesah kecewa. Ia menunduk.

"Lihat depan," perintah Gladis. Ia menahan dagu Jeffrey.

"Terus, kenapa kamu baik sama aku?"

"Karena kamu pasien," jawab Gladis. Ia menempelkan sufratul di atas luka Jeffrey. "Aku baik ke semua orang. Nggak cuma ke pasien."

Jeffrey mendengus geli. Ia melirik wajah Gladis yang begitu dekat dengannya. "Serius? Sering bikin baper orang, dong?"

Gladis mengangkat bahu, tampak tak peduli. Ia mengambil plester dan menempelkannya dengan rapi. "Mungkin."

"Nolongin orang sambil pura-pura cuek itu, cara kerja kamu?"

Gladis menurunkan tangannya. Pekerjaannya telah selesai. Ia membalas tatapan mata Jeffrey.

"Aku baru tahu kalau aku cuek."

"Nggak cuek sih, cuma.... Apa ya?" Jeffrey berusaha mencari padanan kata yang tepat. "Hm, dingin di luar, hangat di dalam."

Gladis mendengus geli. Ia melepaskan sarung tangan dan mulai merapikan alat-alat balut luka.

"Beneran," ucap Jeffrey berusaha keras membuat Gladis percaya.

"Iya, iya," Gladis mengalah. Ia melihat ke dalam mata Jeffrey. Pria itu kaget, tatapan mata Gladis terasa berbeda. "Aku juga tahu kok, dulu aku nggak dingin. Maaf kalau bikin kamu tersinggung. Akhir-akhir ini aku memang lagi punya masalah, dampaknya malah kena orang sekitar."

"Mau kemana?" tanya Jeffrey. Ia menahan tangan Gladis yang sudah berdiri dari tempatnya duduk.

"Mau kembaliin ini," jawab Gladis bingung sambil menunjuk kotak obat.

"Nanti aja," usul Jeffrey. Ia tak ingin kehilangan momen. Ia ingin melihat mata itu lagi. "Duduk dulu. Ngobrol-ngobrol."

Gladis menurut. Ia duduk bersebelahan dengan Jeffrey. Seketika suasana menjadi sangat canggung.

Tadi mereka bertengkar. Terus, berbaikan tanpa kata maaf. Sekarang malah saling diam.

"Hm, itu...." Lidah Jeffrey terasa kelu, padahal dia tipe orang yang mudah bergaul. "Besok aku pulang."

Gladis mengangguk. "Hati-hati ya."

"Iya."

Hening lagi. Jeffrey mengaduh dalam hati. Ia berusaha mencari topik pembicaraan.

"Hm, aku mau tanya, boleh?"

Jeffrey berseri. Ia mengangguk semangat. Selama ini selalu dirinya yang bertanya, tak pernah sebaliknya.

"Om kamu yang kemarin itu, pelatih kamu juga ya?"

"Iya. Om Adam. Pembalap asal Inggris." Jeffrey mengangkat alis. "Kenapa?"

"Kayaknya dia marah banget. Memang, kalau kamu nggak ikut turnamen besok, karier kamu bakal selesai?"

Jeffrey tersenyum. Tuh kan, Gladis itu baik dan perhatian.

"Nggak tahu juga sih. Yang jelas, ada sangkut pautnya sama masalah kontrak. Ribet kalau aku jelasin ke orang awam." Jeffrey melanjutkan bertanya ketika Gladis tak kunjung buka suara. "Kamu khawatir aku bakal berhenti jadi pembalap?"

Gladis langsung mengangguk. "Kemarin aku baca-baca, investasi kamu di dunia racing sudah banyak banget. Bahkan kamu mulai ikut kejuaraan nasional sejak usia lima belas tahun. Sayang banget kalau kamu berhenti karena luka itu," Gladis menjelaskan.

"Kemarin aku sempat lihat hasil foto Rontgen. Fraktur Calcaneus. Memang umum terjadi di kecelakaan motor, cuma, ya, efeknya besar ke kamu. Kalau cuma orang biasa, mungkin nggak papa. Tapi kamu butuh kaki untuk terus maju sebagai atlet," lanjut Gladis. Tatapan matanya benar-benar khawatir. "Alignment fragmen fraktur-nya masih bagus. Dari orthopedi juga cuma dipasang gips. Aku yakin kamu bakal baik-baik aja. Tapi, luka itu butuh waktu untuk sembuh. Aku takut kamu justru nggak punya waktu."

"Shasha, itu tadi... perhatian dari dokter untuk pasien juga?"

Gladis menggeleng. "Perhatian dari penggemar untuk idolanya."

Jeffrey terkekeh. "Sudah di-upgrade ya."

"Aku serius."

"Kamu lucu kalau lagi serius."

Gladis menghela napas panjang. Dia lupa, Jeffrey adalah playboy. Percuma saja dia khawatir. Buang-buang energi.

"Sudah jam setengah delapan. Pulang sana," usir Gladis.

"Kamu mau aku ikut turnamen MotoGP?" tanya Jeffrey mengabaikan kalimat si gadis.

"Jelas mau lah."

Senyum lesung pipi Jeffrey kembali merekah. Telinganya memerah. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

"Okay, I'll do my best," ucap Jeffrey penuh tekad. Tangan kanannya mengepal. Ia menatap ke arah Gladis. "Di Bandung nanti aku bakal usaha keras biar cepat pulih. Doa-in ya."

Gladis mengangguk. Ia tersenyum.

Suasana club malam itu tidak terlalu berisik. Maklum, bukan akhir pekan. Jeffrey melangkahkan kakinya dengan leluasa menuju kursi bar. Matanya memicing, memfokuskan diri melihat seseorang yang berada dalam jarak dua meter darinya.

Ternyata itu Ghina. Jeffrey tidak begitu mengenalnya, hanya sebatas tahu bahwa gadis itu adalah gandengan Yuta. Jeffrey tidak menyangka dirinya akan berada di club berdua dengan Ghina, dia kira ia akan menghabiskan waktu seorang diri.

Keduanya saling bertukar sapa, sekadar formalitas sopan santun. Tak ada percakapan lagi di antara mereka setelah tiga menit. Ghina terlihat menutup diri. Jeffrey pun masih pusing dengan urusan pekerjaannya.

Siang tadi, akhirnya Jeffrey bisa berjalan normal, setelah terbelenggu gipsum enam minggu lamanya. Sayangnya, lepas dari gips bukan berarti Jeffrey bisa langsung semena-mena menggunakan kakinya untuk aktivitas berat. Demi bisa segera pulih, Jeffrey telah memesan fisioterapis mahal untuk membantunya.

Masalah tidak sampai sana saja, perpanjangan kontraknya sedang diperbincangkan ulang. Jika Jeffrey tidak ikut MotoGP, maka peluang untuk menang tidak ada. Jika tidak menang, maka tidak ada biaya untuk mengikuti turnamen berikutnya. Jeffrey berada dalam masalah besar.

Perhatian Jeffrey tersita oleh gaya minum Ghina yang brutal. Akhirnya ia justru bicara panjang lebar dengan Ghina mengenai hubungannya dengan Yuta. Jeffrey kenal cukup dekat dengan Yuta. Mereka membuat sebuah aliansi khusus, sebut saja teman nongkrong di Club, bersama dengan Ten dan Joni. Ya, alkohol menyatukan mereka.

Melihat kepribadian Ghina yang dingin, Jeffrey jadi teringat dengan seorang wanita lain yang pernah menunjukkan wajah tak tertarik padanya. Siapa lagi jika bukan Gladis. Ah, sudah lama Jeffrey tidak berkomunikasi dengannya. Jeffrey janji pada diri sendiri untuk tidak mengirimi Gladis pesan hingga dirinya bisa memberi kabar baik mengenai nasib turnamen besok, apakah Jeffrey bisa mengikuti atau tidak.

Saat ini Jeffrey sedang mendengarkan cerita Ghina tentang perjodohan paksa dari orang tuanya. Cowok itu terkejut. Ternyata realitas hidup para wanita Indonesia sungguh berat. Banyak label yang tersemat. Contohnya Ghina, ia harus segera membawa calon suami, jika tidak maka mau tak mau menerima perjodohan dari orang tua.

"Kalau gitu, biar gue bantu lo. Gue available kok." Sungguh benar-benar spontan Jeffrey mengucapkannya.

"Pura-pura jadi calon suami, gitu?" Jeffrey mengangguk mendengar pertanyaan Ghina. "Orang tua aku nggak bodoh."

Jeffrey mendengus geli. Ia menarik gelas Ghina ketika gadis itu ingin meneguk isinya lagi. Ghina melemparkan tatapan protesnya.

"Teman itu orang yang paling berpotensi untuk menikung."

"Kamu mau nikung Yuta?" Ghina menelengkan kepala. "Temen brengsek dong."

"Gue memang brengsek."

Ghina hanya geleng-geleng kepala. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan memanggil pelayan untuk menyelesaikan pembayaran.

"Lho, gue ditolak?" tanya Jeffrey kaget. Ternyata nilai jual Yuta lebih tinggi daripada Jeffrey, di mata Ghina.

"Kamu mabok."

"Belum kok, belum mabok."

Ghina memberikan tatapan tajam pada Jeffrey, si pria jadi menciut nyalinya. Benar-benar dingin.

"Aku paling benci sama yang namanya pengkhianatan. Temen aku ada yang sudah pacaran sepuluh tahun, di saat-saat akhir mereka mau menikah, cowoknya malah selingkuh," tegas Ghina. Jeffrey menelan ludah susah payah. "Apa yang mau kamu lakuin, sama aja bernama pengkhianatan. Kamu nusuk Yuta dari belakang."

"Calm down, girl. Gue cuma main-main," ucap Jeffrey sambil mengangkat kedua tangan ke atas, gesture menyerah.

"Nggak ada yang namanya pengkhianatan cuma main-main. Walaupun bentuknya kecil, namanya tetap saja pengkhianatan."

"Duh, lo mainnya kurang jauh."

Ghina turun dari kursi bar. Ia menunjuk-nunjuk dada Jeffrey dengan tampang sangar. Ghina menunjukkan kuasanya untuk mengintimidasi pria tersebut.

"Semoga orang-orang yang aku sayang terhindar dari orang-orang brengsek kayak kamu gini." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Ghina pun pergi.

Entah mengapa, Jeffrey merinding.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro