0.11 | hogwarts express

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laurel, Harry, Hermione, dan keluarga Weasley makan bersama di Leaky Cauldron malam itu. Laurel semakin bersemangat setiap kali dia mengingat besok dia akan melihat Hogwarts untuk pertama kalinya. 

"Bagaimana kita ke King's Cross besok, Dad?" tanya Fred, sementara mereka menikmati makanan penutup.

"Kementerian menyediakan dua mobil," kata Mrs Weasley.

 Semua mendongak memandangnya. 

"Kenapa?" tanya Percy ingin tahu.

"Tentu karena kau, Perce," kata George serius. "Dan akan ada bendera-bendera kecil di atap mobil, dengan huruf-huruf KM ...." 

"Singkatan dari Kepala Melembung," kata Fred menyambung, tak kalah serius. Semua, kecuali Percy dan Mrs Weasley, mendenguskan tawa ke dalam puding masing-masing. 

"Kenapa Kementerian menyediakan mobil, Dad?" Percy bertanya lagi, dengan nada resmi. 

"Yah, kita kan tidak punya mobil lagi," kata Mr Weasley, "dan karena aku bekerja di sana, mereka membantuku ...." Suaranya biasa saja, tetapi telinganya memerah. 

"Untunglah," kata Mrs Weasley cepat. "Sadarkah kalian berapa banyak barang-barang kalian? Pasti menarik perhatian kalau kita naik kereta bawah tanah Muggle. Kalian semua sudah berkemas, kan?"

 "Ron belum memasukkan barang-barangnya yang baru dibeli ke dalam kopernya," keluh Percy. "Semuanya berantakan di tempat tidur." 

"Lebih baik kau berkemas sekarang, Ron, karena kita tak punya banyak waktu besok pagi," kata Mrs Weasley dari ujung meja. Ron memandang Percy dengan jengkel. 

Setelah makan malam semua merasa kenyang dan mengantuk. Satu per satu mereka naik ke kamar masing-masing untuk memeriksa barang-barang yang akan dibawa esok pagi. 

Laurel di kamarnya sendiri kembali memeriksa barang-barang barunya. Dia punya koper baru karena yang lama Papa belikan untuk acara liburan, hanya ukuran kecil. Koper baru Laurel tegap dan gagah, Harry yang pilihkan.

Laurel mengeluarkan tongkat laurel barunya. Dia menyukai tongkat kecil yang solid itu. Tak sabar rasanya dia mencoba mengayunkannya untuk menghasilkan sihir nanti.

Laurel tidak yakin ke asrama mana dia akan menuju. Mungkin Gryffindor, kalau begitu Harry akan senang sekali. Meski begitu, Laurel dapat melihat kalau Harry lebih dekat dengan Hermione dan Ron di dunia ini. Tentu saja, sebelum ini Harry sudah menghabiskan dua tahu penuh masa sekolah bersama mereka. Laurel jadi agak iri.

Secara pribadi, dia tak terlalu suka dengan kedua sahabat Harry itu. Mereka bukan orang-orang yang akan dijadikan teman oleh Laurel, meski dia dapat melihat bahwa keduanya orang baik. Laurel menyukai si kembar, itu sudah pasti.

Laurel merasa lebih lepas dan bebas di dunia barunya, yang sudah dia sayangi hampir lebih dari apa pun sekarang. Dia mengetahui bahwa dunia baru ini juga punya bahaya, lebih parah dari yang dapat dia bayangkan, dengan lebih dari dua pihak bertarung memperebutkan semuanya.

Yang Laurel tahu, dia akan bertahan hidup. Dia selalu bertahan hidup, dia akan melakukan apa pun untuk itu. Dan Laurel sudah tahu pihak mana yang akan dipilihnya saat dia dewasa dan bergabung dengan perang nanti: pihak Harry.

***

Laurel begitu bersemangat sehingga dia langsung tersentak bangun ketika mendengar suara pelan pintu dibuka di sebelah kamarnya. Laurel bangun dari tempat tidurnya dengan cepat dan langsung menyiapkan diri, memakai kaos dan jins dan jaket. Rambut pirangnya yang panjang dia kepang jadi satu, mengikatnya akan terasa tidak nyaman karena perjalanan mereka akan jauh juga, apalagi kalau Laurel berniat tidur.

Dia turun dan menyantap sarapan bersama Harry dan keluarga Weasley dan Hermione. Lalu, mereka semua memasukkan barang-barang ke mobil kementrian dan berkendara ke King's Cross.

Karena kelompok mereka cukup besar, Mr Weasley menyuruh mereka masuk dua-dua. Dia sendiri masuk pertama dengan Harry. Lalu Percy bersama Ginny dan setelah itu Fred dan George, yang diperbolehkan membawa bonus satu Laurel.

Mereka berdua mengapit si gadis berambut pirang dengan riang gembira. "Siap, Laurel?" kata mereka bersamaan, lalu nyengir lebar dan mereka berlari ke tembok pembatas.

Laurel tak memejamkan mata sama sekali. Dia tahu dia tak akan menabrak. Rasanya aneh sekali, satu detik berada di sisi stasiun Muggle dan detik selanjutnya berada dalam lautan orang-orang dalam jubah, saling mengucapkan selamat tinggal satu sama lain dan berteriak menyapa pada teman-teman dekat.

Hermione dan Ron serta Mrs Weasley menyusul kemudian. Mr Weasley menarik Harry ke samping untuk berbicara padanya sebelum mereka naik ke kereta, Laurel tidak terlalu memperhatikan, terlalu sibuk mengagumi pemandangan di sekelilingnya.

"Aku perlu bicara dengan kalian berdua," gumam Harry pada Hermione dan Ron ketika mereka akhirnya naik ke kereta.

Mereka menyusuri koridor. Laurel tidak merasa senang harus mengikuti mereka, tapi Harry ikut menariknya. Mereka terus berjalan mencari kompartemen kosong, tapi semuanya selalu saja penuh satu di ujung gerbong. Hanya ada seorang laki-laki di dalamnya, terlalu tua untuk menjadi seorang murid, yang sedang tidur. Kelihatannya dia lelah sekali.

"Menurutmu siapa dia?" desis Ron pelan, ketika mereka duduk dan menutup kembali pintu.Mereka memilih tempat duduk sejauh mungkin dari jendela.

"Profesor R.J. Lupin," bisik Hermione segera. 

"Bagaimana bisa kau tahu?" 

"Ada di kopernya," Laurel yang menjawab, menunjuk rak barang di atas kepala si laki-laki. Di rak itu ada koper kecil butut diikat dengan tali yang ikatannya rapi. Nama Profesor R.J. Lupin tertera di salah satu sudutnya dengan huruf-huruf yang sudah mulai mengelupas. 

"Menurutmu dia punya hubungan darah dengan anak seangkatan Ginny itu, Lyall Lupin? Mungkin ayahnya?" tanya Ron.

"Yah, mungkin," kata Hermione. "Maksudku, kan Lupin bukan nama yang sangat biasa. Dan tunggu, Lyall Lupin kan penulis buku Hewan Gelap Berbahaya! Aku baru beli tahun ini untuk sampingan Pemeliharaan Satwa Gaib dan Pertahanan pada Ilmu Hitam--"

"Mungkin kakek dari Lyall Lupin teman Ginny. Dia mengajar apa, ya?" tanya Ron lagi, mengernyit memandang profil Profesor Lupin yang pucat. 

"Jelas, kan," bisik Hermione. "Cuma ada satu lowongan. Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Dan kalau benar dia putra Lyall Lupin Senior, dia bakal jadi guru terbaik kita. Bukunya bagus sekali ..., dan aku sudah memastikan bahwa buku-bukunya bukan seperti milik Lockhart." Wajahnya memerah pada kalimat terakhir, dan Laurel ingin bertanya siapa Lockhart.

"Yah, mudah-mudahan saja dia memang sanggup mengajar," kata Ron ragu-ragu. "Kelihatannya satu kutukan saja bisa menghabisinya. Ngomong-ngomong ...," dia berpaling pada Harry, "apa sih yang mau kamu bicarakan dengan kami?" 

Harry mulai bercerita. Ternyata benar dugaan Laurel soal Black ingin membunuhnya, Mr Weasley sudah memberitahu Harry tadi. Hermione dan Ron kelihatannya malah lebih ngeri dengan ide itu dari pada Harry sendiri.

"Oh, Harry ... kau harus sangat, sangat hati-hati. Jangan cari masalah, Harry." 

"Aku tak pernah cari masalah," kata Harry, kedengaran sakit hati. "Masalah yang biasanya menemukanku." 

"Memangnya Harry begitu tolol, mencari orang gila yang mau membunuhnya?" kata Ron gemetar. 

"Aku mau pergi," Laurel mengumumkan, sudah merasa sangat bosan terjebak dengan tiga anak yang lebih tua dan seorang laki-laki dewasa yang sedang pulas itu.

"Ke mana?" tanya Harry, seketika menolehkan kepala padanya.

"Entah. Mengganti pakaianku ke jubah Hogwarts lalu mencari Ginny atau teman seumurku, mungkin? Kalian kan tidak akan mau aku mengikuti kalian ke mana-mana."

Harry membuka mulutnya untuk mengatakan dia tidak keberatan, tapi Hermione dan Ron keburu memotongnya. "Hati-hati, Laurel. Jangan cari masalah."

"Aku bukan Harry," kata Laurel singkat, lalu meninggalkan kompartemen itu.

Laurel mengganti pakaiannya dengan seragam Hogwarts lalu berjalan menyusuri menyusuri kereta, menoleh sana sini kalau-kalau dia melihat seseorang yang dikenalnya. Tidak siapa pun.

"Well, well, kalau itu bukan sepupu si Potter yang terkenal." Sebuah suara menyapanya dari belakang.

"Malfoy," balas Laurel dingin, tidak senang. Laurel membalikkan tubuhnya, menatap langsung pada anak laki-laki yang lebih tua itu.

Malfoy menyeringai mencemooh. "Kau benar-benar pergi ke Hogwarts, rupanya."

Laurel diam saja, menatapnya tajam.

"Sayang sekali sekolah ini menerima Darah-Lumpur sepertimu," kata Malfoy. Suaranya tidak keras, tak akan ada yang bisa mendengarnya selain Laurel. Gadis itu tahu bahwa kebanyakan orang akan mengamuk mendengar panggilan itu. Menurut Laurel kedengarannya tidak terlalu buruk. Dia tidak peduli juga.

"Kenapa kau tidak pergi ke sekolah lain saja, kalau begitu?" Laurel membalas. Dia berjalan melewati Malfoy, menempel-nempel ke dinding agar tidak harus menyentuh Malfoy.

Kepangnya tertarik ke belakang. "Ow!"

"Biasanya aku yang memutuskan kapan pembicaraan selesai. Darah-Lumpur," bisik Malfoy mengancam.

"Ya, betul sekali, kau sedang memegang rambut seorang Darah-Lumpur. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku mencuci rambutku."

Malfoy melepaskan genggamannya dalam sekejap dengan jijik dan meninggalkannya, mungkin untuk mencari wastafel. Laurel tertawa sedikit, tentu saja dia baru mencucinya kemarin. Meski dia pastinya akan melakukannya lagi nanti malam, siapa yang tahu benda macam apa saja yang sudah dipegang Malfoy sebelum rambutnya.

"Hei," panggil seorang gadis berambut hitam dari kompartemen di sebelahnya. "Kau mau bergabung?"

"Tidak masalah," kata Laurel, tersenyum sedikit berharap kekagetannya tidak terlihat dan masuk ke kompartemen itu. Ada tiga gadis di dalamnya, sudah dalam jubah mereka. Ketiganya tidak memakai dasi asrama, jadi mereka pasti anak-anak tahun pertama seperti Laurel yang belum di-Seleksi.

"Namaku Astoria Greengrass," kata gadis berambut hitam yang tadi memanggilnya.

"Valentina Nott," kata gadis dengan rambut cokelat dan mata terang.

"Aku Eustacia Gibbon. Panggil aku Stacey saja," kata gadis satunya lagi.

"Aku Laurel," kata Laurel, tersenyum pada mereka. "Laurel D-"

"Apa kau tahu si anak itu dari asrama apa?" tanya Valentina, agak cekikikan.

"Siapa? Malf-?"

Dia dipotong lagi, kali ini oleh Stacey. "Itu, Terry Boot, yang tadi sempat mondar-mandir di lorong. Aku berkenalan dengannya tadi. Merlin, dia tampan." Dia cekikikan juga.

Laurel meringis dalam hati. "Kurasa dia Ravenclaw," kata Laurel, mengingat-ingat nama Terry Boot yang pernah disebut sekilas oleh Harry. "Dia seangkatan dengan kakakku."

"Ya, kami tahu. Juga dengan kakakku Daphne," kata Astoria. "Tapi kau tahu seperti apa mereka, tidak mau mengikutkan kita dalam pergaulan mereka."

Harry tidak seperti itu, tapi Laurel tidak berkata apa-apa. "Apa yang kalian tunggu-tunggu setelah nanti di Hogwarts?" Laurel bertanya setelah beberapa saat.

"Makanannya," Astoria berkata. "Dan tempat tidurnya."

"Bertemu dengan Profesor Snape. Kudengar pelajarannya menyenangkan. Untuk kita, paling tidak," kata Valentina.

Kita mendengar cerita yang berbeda sekali, gumam Laurel dalam hati. "Aku sudah pernah bertemu Profesor Snape," ucapnya.

"Tentu saja," kata Stacey. "Aku sih sama dengan Astoria. Aku kelaparan."

Laurel mengeluarkan tawa kecil. "Aku sendiri tidak sabar menunggu Seleksi."

"Untuk apa?" tanya Valentina heran. "Kan sudah jelas."

"Jelas apa?"

"Kita semua akan masuk Slytherin, kan?" kata Stacey. "Keluargaku Gibbon, juga Greengrass, Nott, dan Malfoy. Keluarga kita semua selalu masuk Slytherin, itu kan sudah sangat jelas."

Laurel mulai merasa tidak enak, berdoa agar dugaan yang baru terlintas di kepalanya salah. Anak-anak perempuan dengan nama-nama berlebihn yang langsung bersikap ramah padanya. "Malfoy?"

"Kau adik Draco, 'kan?" kata Astoria tanpa dosa. "Dia mengunjungi rumahku kemarin, dengan kakak Valentina juga dan teman-teman sekelasnya untuk berkumpul dengan kakakku. Draco sama sekali tidak menyebutmu. tapi kau tahu kan seperti apa kakak-kakak kita. Daphne selalu mengusirku jauh-jauh dari teman-temannya."

"Aku adik Draco Malfoy," ulang Laurel, agak datar.

Astoria membulatkan matanya. "Kau bukan?! Tapi warna rambutmu warna Malfoy! Dan tadi Draco berbicara denganmu di depan dan tertawa mengganggumu—"

"Dia sedang menindasku, jangan bilang kau tidak tahu apa bedanya," Laurel membalas, sadar penuh tatapan Valentina dan Stacey sekarang menuduh. 

"Kenapa dia menindasmu?" Astoria tidak terpengaruh kedua temannya, hanya terlihat ingin tahu.

"Aku kelahiran Muggle." Laurel berdiri. "Senang bertemu dengan kalian."

Dia keluar dari kompartemen itu, merasa agak kecewa. Dia tidak menyangka status darahnya benar-benar akan berpengaruh sebesar itu dengan para Darah-Murni. Laurel lalu kembali mengangkat kepalanya, dia tak akan jatuh hanya karena satu kelompok anak perempuan centil menolaknya.

Dia terus berjalan sambil sekali-kali menengok kalau-kalau ada kompartemen yang masih kosong. Kebanyakan sudah penuh, atau malah diisi kakak kelas yang sedang berduaan. Laurel sempat menjenguk ke dalam kompartemen tempat Percy dan pacarnya Penelope, juga beberapa pasang remaja kasmaran lagi. Tidak, terima kasih. Laurel tidak mau bergabung dengan mereka.

Akhirnya, Laurel menemukan sebuah kompartemen yang hanya diisi dua anak laki-laki. Anak yang lebih besar berambut cokelat dan yang satu lagi berambut hitam. Mereka kelihatannya lumayan ramah, jadi Laurel mengetuk pintu dan memasukkan kepalanya.

"Halo," katanya. "Keberatan kalau aku duduk di sini?"

"Tidak sama sekali," kata anak yang lebih besar, nyengir ramah padanya. Laurel menyelip masuk dan mendudukkan dirinya di depan mereka berdua.

"Dari mana saja kamu, memang? Tidak dapat kompartemen dari tadi?" tanya anak itu.

"Tidak, aku awalnya di kompartemen yang sama dengan kakakku dan teman-temannya," balas Laurel. "Aku bosan, jadi aku pergi."

"Oh," anak itu mengangguk-angguk. Si anak berambut hitam tidak berkata apa-apa, wajahnya agak tegang. "Omong-omong aku Lyall. Lyall Lupin."

"Punya hubungan dengan Profesor R. J. Lupin?" Laurel mengingat laki-laki bertampang lelah di kompartemen Harry tadi.

"Yeah, itu Dad. Dia akan mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam tahun ini. Dia hebat, kamu akan menyukai pelajarannya." Lyall terlihat senang sekali membahas ayahnya. "Tunggu, kamu sudah lihat Dad?"

"Ya, Profesor Lupin sedang tidur di kompartemen kakakku."

Lyall mengangkat bahu. "Baguslah. Dad tidak punya cukup waktu tidur akhir-akhir ini. Dad menyuruhku bergabung dengan teman-temanku tadi, padahal aku sudah menawarkan duduk dengannya."

"Aku Laurel Dursley," kata Laurel kemudian, baru menyadari dia sama sekali belum menyebutkan namanya.

Lyall mencolek si anak berambut hitam. "Ini Rigel," katanya. "Adikku. Aku kelas dua sekarang," Lyall masih terus berbicara. "Rigel baru masuk Hogwarts tahun ini. Sama sepertimu, kan, Laurel?"

"Ya," kata Laurel, agak lega karena dia paling tidak sudah berkenalan dengan seorang teman seangkatannya.

"Dia ketakutan soal asrama yang akan dimasukinya," lanjut Lyall, masih mencolek-colek adiknya dengan iseng. "Kubilang dia tidak usah khawatir, Dad tidak akan membuangnya keluar dari keluarga kalau dia masuk Slytherin."

Rigel memelotot pada kakaknya. "Aku tidak mau masuk Slytherin." Itu pertama kali Laurel mendengarnya berbicara. Suaranya agak tinggi dan marah.

"Terserahmu," ucap Lyall riang. "Bagaimana denganmu, Laurel? Tahu kira-kira asrama mana yang akan kau masuki?"

"Bukan Slytherin," kata Laurel, as a matter of factly. "Aku kelahiran Muggle. Kemungkinan besar Gryffindor seperti kakakku. Entahlah."

"Dad seorang Gryffindor, Mum Hufflepuff," Lyall menjelaskan. "Aku sudah yakin aku akan masuk Hufflepuff, tapi semua orang masih suka mengganggu bahwa aku akan masuk Slytherin. Bukan berarti Slytherin itu jelek-jelek amat." Lyall melirik Rigel sedikit, kelihatan agak cemas. "Percaya sajalah pada Topi Seleksi. Kamu pasti akan dimasukkan ke asrama yang tepat."

"Sesuatu dari troli, anak-anak?" Seorang wanita menjenguk ke dalam ruangan kecil kompartemen. Lyall melompat bangun, tangannya merogoh saku. Laurel juga.

Laurel memilih beberapa cokelat dan permen Honeydukes. Dia sama sekali tidak tertarik mencoba Kacang Segala Rasa Bertie Botts, meski Lyall membelikan sekotak besar untuk mereka semua. Lyall juga membeli beberapa Pastel Labu.

Mereka berpesta sedikit setelahnya. Laurel memakan Pastel Labu dari Lyall. Dia lumayan menyukainya. Setelah itu Laurel membuka Cokelat Kodok-nya. Wajah Merlin yang barjanggut lebat menghiasi kartu yang didapatnya.

"Untung bukan Morgana, aku sudah punya dua," komentar Laurel.

"Dari mana kamu mendapatkannya?" tanya Lyall. 

"Kakakku membawakanku pulang satu, lalu aku dikirimi bebera[a oleh teman-temannya pada tengah tahun. Aku mencoba memulai koleksiku sendiri, Harry memberikan beberapa kartu yang dia punya lebih—" ucapan Laurel diputus Rigel.

"Harry? Seperti Harry Harry Potter?"

"Ya," kata Laurel, langsung agak menyesalinya. Dia lupa tadi bahwa Harry seperti semacam selebritas di dunia sihir.

"Aku tidak tahu Harry Potter punya adik," kata Lyall, terlihat agak kaget tapi tidak separah dugaan Laurel akan bagaimana dia menerima kabar itu.

"Sepupu," ralat Laurel. "Aku sepupunya, dari pihak Muggle."

"Keponakan Lily Potter?" tanya Lyall tertarik.

"Tidak dengan darah, aku diadopsi." 

"Keren," siul Lyall. "Rigel juga diadopsi."

Rigel menonjoknya. Dia jelas tidak suka dibicarakan.

"Ow, jangan marah, Adik Kecil," kekeh Lyall. "Kadang aku malah berpikir Dad dan Mum jauh lebih menyukaimu."

"Jangan panggil aku Adik Kecil," geram Rigel. "Aneh kedengarannya, tahu."

"Jadi kau sepenuhnya kelahiran Muggle? Aku setengah-setengah. Dad dan Mum sama-sama half-blood," Lyall malah lanjut menjelaskan. Dia kelihatannya senang sekali membahas keluarganya. "Bukan berarti itu punya arti banyak, tapi ada banyak orang yang menganggap penting status darah. Omong-omong, mungkin kamu pernah mendengar nama Mum juga? Auror Nymphadora Tonks."

"Tidak," kata Laurel, penasaran. 

Lyall mengeluarkan tawa sedikit. "Kukira semua orang kenal Mum. Paling tidak semua guru kenal ibuku, sih. Karena Mum metamorfagus."

"Metamor apa?"

"Jangan sok pamer," gumam Rigel, tapi Lyall lebih dari gembira untuk menjelaskannya. 

"Metamorfagus," ulang Lyall riang. "Mum bisa mengganti penampilannya. Warna rambutnya, bentuk wajahnya. Berguna sekali kalau untuk menjahili orang." Lyall tertawa. 

"Berhenti pamer, Lyall."

"Sesuai dengan kemauanmu, Adik Kecil."

"Jangan panggil aku Adik Kecil."

"Jangan mengatakan apa yang harus kulakukan."

"Tutup mulut, Lyall."

"Tutup mulut, Rigel."

Laurel tersenyum kecil melihat keduanya. 

"Kamu pikir ada kesempatan kamu mendarat di Hufflepuff?" tanya Lyall. "Rigel punya kesempatan setengah-setengah masuk Hufflepuff dan Slytherin, kalau kubilang."

"Mungkin." Laurel banyak memikirkannya, dia hampir yakin dia akan masuk Gryffindor, tapi dia juga pikir sikapnya tidak terlalu cocok sebagai seorang Gryffindor ....

Saat itu, kereta mendadak berderik dan melambat kecepatannya, lalu berhenti mendadak sampai Laurel hampir tersungkur jatuh. Lampu mati.

"Ada apa?" Rigel bertanya dalam kegelapan. "Kita belum sampai, 'kan?"

"Belum, Hogwarts masih agak jauh." Suara Lyall terdengar agak khawatir.

"Aku akan bertanya ke luar, mungkin ada hambatan atau keretanya rusak." Laurel bangkit dan meraba-raba pintu kompartemen, melangkah keluar dan langsung ditabrak sesuatu sedetik setelahnya.

16 November 2020

Rye bikin Nymphadora Tonks lebih tua jadi udah punya anak ama Lupin ( ~ '-')~

Buat yang nggak ngerti maksud ucapan Astoria tentang nama Laurel, Daphne di mitologi Yunani itu adalah seorang peri hutan yang diubah menjadi pohon laurel (hewwo kalian yang adalah demigods)

Makin lama makin cringe kok kayaknya tulisan saya.

Rye

Edit 25/03/2021 - Nama Teddy dan Orion diubah jadi Lyall dan Rigel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro