0.9 | diagon alley

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ah, Mr Potter," kata Ollivander dengan lembut saat Laurel memasuki tokonya bersama Harry. "Holly, sebelas inci, inti Phoenix, fleksibel."

"Betul, sir."

"Dan siapa ini? Kelahiran Muggle, kukira?" Matanya hinggap pada Laurel.

"Ya, sir. Ini adik sepupu saya, Laurel."

"Keponakan Lily Potter?"

"Tidak dengan darah, sir, saya diadopsi," Laurel menjawab.

"Hmm," kata Ollivander, pita pengukurnya mulai melayang dan bergerak mengukur. Dia mengamati Laurel dengan antusias. "Tangan pemegang tongkatmu?"

"Kanan," jawab Laurel. "Itu memengaruhi tongkatnya?"

Ollivander tertawa pelan. "Ingin tahu, betul? Ya, kurang lebih begitu. Tidak selalu, tentu saja, tapi semua hal-hal kecil mempengaruhi tongkat yang memilihmu."

Harry mundur sementara Ollivander memilih beberapa kotak dari rak di belakangnya, membuka dan menyerahkan salah satunya pada Laurel.

"Hazel, nadi naga, dua belas inci, agak keras. Cobalah."

Laurel menerimanya, tak terjadi apa-apa. Kulit tangannya tak merasakan apa-apa saat menyentuh kayu itu.

"Bukan Hazel, tapi mungkin ... tidak, tidak. Mungkin ini." Ollivander mengambil kembali tongkat itu, menukarnya dengan yang lain. "Willow, rambut unicorn, delapan setengah inci, fleksibel."

Angin berembus kencang dalam ruangan itu, tak merusak.

"Willow menyukaimu, Nak, tapi ini bukan tongkatmu. Dapat bekerja di tanganmu tentu saja, tapi belum. Dekat sekali, dekat sekali. Mungkin," Ollivander mengangkat suatu kotak, tersenyum lebar memandang tongkat di dalamnya, "ya, akan menjadi kebetulan yang luar biasa. Dan menarik, sangat menarik. Ambillah, Nak. Kayu laurel, rambut unicorn, sembilan inci, dan lumayan luwes. Ini tongkat yang bagus sekali."

Laurel mengambilnya dan seketika tahu itu tongkat yang tepat. Dia tidak dapat menjelaskannya, tapi dia dapat merasakannya, perasaan hangat mengenali yang langsung menyerap ke kulitnya.

"Ya, ya!" kata Ollivander bersemangat. "Punya pendirian yang kuat dan tidak biasa. Akan sulit diajak bekerja sama, terutama jika berhubungan dengan sihir hitam, tapi sempurna."

Harry melangkah maju, "Berapa untuk tongkatnya, Mr Ollivander?"

"Tujuh Galleon," jawab Ollivander, masih tidak bisa melepaskan pandangannya dari tongkat yang dipegang Laurel. "Siapa nama lengkapmu, Nak?"

Laurel menatapnya balik lurus, tangannya erat menggenggam tongkat barunya. "Laurel Octavia Dursley."

"Nama lahirmu, Nak, kalau aku boleh tahu," kata Ollivander lembut, lebih spesifik..

"Octavia Laurel," kata Laurel pelan. "Tanpa nama keluarga."

Ollivander mengangguk, menjulurkan tangannya untuk mengambil kepingan galleon yang diserahkan Laurel padanya.

Laurel dan Harry keluar dari toko Ollivander.

"Aku tidak tahu nama depanmu Octavia," kata Harry tiba-tiba.

"Secara legal, nama depanku Laurel."

Harry mengerutkan dahinya. "Ya, tapi itu sebenarnya nama tengahmu. Kenapa kamu menukarnya?"

Laurel menyadari dia berjalan semakin cepat. "Mereka menanyakan pendapatku tentang memakai nama keluarga Dursley saat aku diadopsi. Aku setuju dan juga meminta agar nama tengahku ditukar ke depan."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku," kata Harry, mempercepat langkahnya mengimbangi Laurel. "Laurel?"

Gadis yang lebih muda itu berhenti mendadak. "Orang tua kandungku yang memberikan nama itu."

"Kamu tidak menyukainya. Atau mereka." Bukan pertanyaan, pernyataan. "Lalu kenapa tidak menggantinya sepenuhnya?"

"Orang tua kandungku yang memberikan nama itu," ulang Laurel. Alasan konyol sentimentil, dia tahu, tapi itu benar.

Harry tak berkata apa-apa.

"Aku ingat orang tuaku, Harry, sebelum aku ditelantarkan." Laurel menelan ludah. "Aku ingat mereka memanggilku Octavia. Hanya itu yang kuingat tentang mereka."

***

Laurel pergi ke Madam Malkins untuk mengepas jubah seragamnya sementara Harry duduk-duduk di toko es krim Florean sambil mengerjakan tugas-tugasnya. Diagon Alley masih sepi dibandingkan biasa pada hari-hari sebelum tahun pelajaran dimulai, menurut Harry. Nyaris tidak ada murid-murid Hogwarts di sana, padahal Laurel kepingin sekali bertemu dengan teman-teman Harry. Dia baru pernah melihat Ron sekilas dari jendela Harry dan si kembar Weasley selama beberapa menit.

Harry tampaknya menikmati sekali keseharian baru mereka. Laurel dan Harry punya waktu tiga minggu, jadi mereka tidak terlalu buru-buru untuk membeli semua peralatan yang mereka butuhkan. Mereka sempat menghabiskan setengah hari di Flourish and Blotts karena, yah, Laurel ingin tahu banyak hal, meski dia tidak bisa dibilang gila belajar atau membaca.

Mereka membeli persediaan standar untuk pelajaran ramuan dan kuali baru untuk Laurel. Mereka juga berkeliaran ke toko-toko barang bekas, di mana Laurel menemukan benda-benda bagus dengan harga murah. 

Harry juga mengajak Laurel ke toko hewan peliharaan magis. "Seperti kata suratmu, kamu boleh membawa seekor burung hantu, kodok, atau kucing, tapi Ron membawa Scabbers jadi kupikir tikus juga boleh."

Toko itu mungkin merupakan salah satu favorit Laurel di Diagon Alley, walaupun sepertinya gelar tersebut terus berganti-ganti karena keseluruhan Diagon Alley—secara harfiah—penuh sihir dan memesona. Ada banyak sangkar burung hantu dengan warna dan ukuran berlainan. Juga kodok dan kucing yang berkeliaran di mana-mana.

"Pilihlah," kata Harry. "Aku yang bayar." Harry pasti telah menyadari uang dari Mama dapat dibilang pas-pasan untuk semua peralatan sekolah Laurel.

"Tidak perlu, kurasa," Laurel membalas. "Kita 'kan cuma lihat-lihat. Ada Hedwig, jadi aku tak akan perlu burung hantu." Dia tidak punya siapa pun untuk dikirimi surat ....

"Bagaimana dengan seekor kucing?" usul Harry. "Ingat, kan, Paman Vernon menjanjikan membelikanmu kucing tahun lalu. Dia tak akan keberatan jika kamu benar-benar membawa pulang satu."

"Papa cuma bilang begitu supaya aku tidak mengoceh lagi soal Hedwig," Laurel tertawa sedikit. Dia berjongkok untuk mengelus seekor kucing kelabu yang lewat di dekat kakinya.

"Kamu mau yang itu?"

"Sudah bilang, aku tidak perlu hewan peliharaan," kata Laurel. "Paling tidak sekarang." Seekor anak kucing dengan warna putih-hitam menggosokkan diri ke kakinya. "Oke, aku berubah pikiran."

Harry hendak mengeluarkan kantong uangnya.

"Astaga, Harry, aku tidak serius." Laurel nyengir dan mendongak memandang kakaknya, tangannya masih mengelus si kelabu dan sebelahnya lagi memegang si anak kucing. "Tapi yang kecil ini lucu sekali. Aku ingat dulu ada kucing yang entah bagaimana bisa masuk ke kamar kami saat aku umur lima di rumah tinggalku dulu. Awalnya semua panik, lalu--"

"Potter," kata sebuah suara, nadanya merendahkan dan mengejek. "Sudah kuduga aku akan bertemu denganmu di tempat ini. Ayahku cerita semua, kau tahu. Fudge terlalu takut kau kenapa-napa sampai menahanmu di sini. Oh, sang bocah yang bertahan hidup sekarang terancam hidupnya!"

"Tutup mulut, Malfoy," kata Harry dingin. Laurel melihat wajahnya seketika menjadi kaku dengan kebencian murni.

"Dan kuduga kau tinggal di bar kumuh itu, huh, Leaky Cauldron? Tidak punya tempat yang lebih baik untuk tinggal, betul, Potter?" kata suara itu mencemooh.

Laurel tidak ingat Harry pernah menceritakan padanya tentang Malfoy mana pun. Dan lagi, Harry tidak menceritakan keseluruhan yang buruk-buruk yang menimpanya di dunia sihir, yang berarti si Malfoy ini salah satu dari yang buruk-buruk itu.

Laurel menoleh dan melihat Malfoy untuk pertama kali. Dia seorang anak seumur dengan Harry dengan kulit pucat dan wajah yang terkesan runcing dan mata menghina dan rambut—

Oh tidak. Jangan bilang anak menyebalkan itu yang rambutnya membuat Harry teringat pada Laurel selama di Hogwarts. Namun, seingin-inginnya Laurel menolak fakta itu, tetap saja dia dapat melihat dengan jelas bahwa dia dan si Malfoy itu punya warna rambut yang sama.

"Apa yang kau lakukan di sini, Malfoy?" Harry setengah membentak.

"Oh, hanya untuk memeriksakan burung hantuku." Malfoy mengangkat sangkar yang dipegangnya dengan seringai yang tak pernah hilang dari wajahnya. "Lihat, Major di sini dari keturunan terbaik burung hantu."

"Kedengarannya bukan benar-benar dari yang terbaik kalau dia harus diperiksakan," komentar Laurel datar. Perhatian Malfoy langsung teralih padanya.

Matanya langsung terarah pada rambut pirang platinum Laurel, agak lama. Setelah itu, dia mengalihkannya pada wajah, lalu pakaian Laurel.

"Ah, ya," katanya dengan mengejek. "Sepupu Harry Potter. Mengharapkan ketempelan ketenaran sepupumu, huh? Kau tidak sepenting itu, namamu saja tidak sekali disebut pada ayahku. Kau ini cuma Darah—"

"Selesai ucapanmu dan kubunuh kau, Malfoy," ancam Harry.

"Mungkin itu artinya ayahmu yang tidak terlalu penting untuk diberi tahu soalku," kata Laurel tenang

Malfoy mengamati mereka berdua sekaligus. "Dengan mulut seperti itu, Muggle, aku tak akan heran kalau kau ditempatkan di asrama kotor yang sama dengan sepupumu."

"Lebih baik dari pada asrama apalah itu tempat kau berada. Dan untuk informasimu, aku bukan Muggle. Dan aku punya nama."

"Aku tak perlu mendengar nama Muggle konyolmu," kata Malfoy, lalu melewati mereka.

"Lebih konyol mana dari menamai anak mereka 'naga'?" gumam Harry, yang terdengar oleh Malfoy. Harry menarik keluar Laurel dari toko itu sebelum Malfoy sempat melanjutkan adu mulut itu.

"Barusan itu Draco Malfoy," kata Harry. "Darah-Murni. Luar biasa kaya dan sama manjanya. Bermasalah denganku sejak aku menolak pertemanannya. Sekarang kamu mengerti kenapa kubilang aku kecewa setiap kali melihat rambutnya sekilas."

"Sangat mengerti," Laurel agak menggerutu. "Merlin, siapa yang menamai anaknya Draco?!"

Harry nyengir melihat Laurel sudah mulai menggunakan kata-kata yang biasa dipakai penyihir. "Ayo, mau es krim lagi?"

"Kita sudah makan empat hari ini, Harry." Tapi Laurel tidak menolak ketika Harry menggiringnya ke toko Florean.

15 November 2020

Jadi kita sudah bertemu Draco; adakah yang bisa nebak Draco perannya apa di cerita ini? (~ '-')~ 

Kapalin Draco ama siapa yak? *smirk*

Rye

Tambahan Rye's note 21 November

Makasih banyak buat 120+ votes dan 400+ reads!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro