1.2 | asrama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laurel menghela napas, kertas di depannya kosong tidak terisi. Laurel tidak yakin apa dia harus mengirim surat pulang.

Dia bahkan tidak tahu apa dia akan kembali ke Privet Drive.

Melirik ketiga gadis lainnya dalam kamar yang sama dengannya, Laurel merapikan alat tulisnya di atas meja. Dia sudah memakai baju tidur, rambutnya basah sehabis dicuci. Laurel merangkak naik ke tempat tidurnya yang empuk dan mewah. Asrama Slytherin terletak di bawah tanah, tapi itu tidak berarti seisi asrama memiliki pencahayaan gelap dengan udara lembap.

Kamar Laurel besar dan nyaman, dengan empat ranjang dan meja serta peti pakaian untuk masing-masing tempat tidur. Hayley Mitchell, seorang Slytherin kelahiran Muggle kelas lima, tadi masuk dengannya ke kamar untuk menempatkan mantra perlindungan di tempat Laurel.

"Kita tidak pernah tahu apa yang anak-anak lain pikirkan," jelas Hayley singkat, sekilas matanya menyapu sinis ketiga gadis yang berada dalam kamar yang sama dengan Laurel.

Eustacia Gibbon tidak malu-malu memberikan pandangan jijik pada Laurel, terang-terangan memanggilnya Darah-Lumpur. Valentina Nott memperlakukannya kasar seakan Laurel tidak pantas tidur di kamar yang sama dengannya. Hanya Astoria yang sepertinya bersikap lebih sopan. Gadis berambut gelap itu ditarik dua teman berdarah murninya selalu, Astoria tidak kelihatan bisa melepaskan diri dari mereka.

Terlalu banyak hal yang terjadi pada beberapa jam terakhir, lebih banyak dari yang Laurel bisa tangani. Laurel mendapati dia tidak terlalu banyak berpikir sedari tadi, hampir-hampir merasa otaknya akan pecah kalau dia mencoba memproses segalanya dan mencari pemecahannya. Alih-alih, Laurel memfokuskan pikirannya ke hal yang dia tahu bisa dia atasi.

Papa masih membenci sihir. Dudley masih takut pada sihir. Mama, paling tidak, menoleransi sihir, tapi itu tidak cukup. Laurel harus membuat keluarganya menerima sihir.

Laurel tidak senaif itu untuk berpikir Papa akan mendadak jatuh cinta pada dunia sihir dan sebagainya. Dia tahu membuat keluarganya menerima sihir akan menjadi proses yang panjang. Jika saja dia berhasil membuat ayahnya melihat sihir sebagai sesuatu yang lain selain abnormal ....

Laurel sekali lagi melihat ke arah tiga teman sekamarnya dan mendesah, menarik kelambu tempat tidurnya tertutup. Terlalu banyak hal yang terjadi sekaligus ... Laurel perlu tidur.

***

Teman-teman sekamarnya tidak ada yang repot-repot membangunkannya, Laurel terbangun sendiri mendengar gerakan samar mereka. Selesai berpakaian dan mengepang rambutnya satu, Laurel berjalan ke ruang rekreasi Slytherin yang sudah mulai ramai. Hayley menunggunya dan langsung menariknya keluar tanpa memberi Laurel kesempatan untuk berbicara dengan siapa pun.

"Aku tidak perlu mengajarimu tentang jalan-jalan pintas ke Aula Besar. Kau akan tahu sendiri dan terbiasa pelan-pelan," kata Hayley di sebelah Laurel. Koridor tempat mereka berjalan tidak ramai, kebanyakan anak masih di ruang rekreasi. "Seharusnya malah aku tidak perlu mengajarimu apa-apa, tapi aku lebih baik tidak melihat adik kelasku dirobek-robek oleh para suprematis Darah-Murni pada minggu pertamanya."

"Apa yang kau katakan soal kami suka kekerasan, Mitchell?" kata seseorang di belakang mereka.

Laurel mendongak dan menoleh penasaran. Sekilas dia melihat Hayley memutar bola matanya tidak senang. Seorang pemuda berdiri di berjalan di belakang mereka, cukup dekat untuk mendengar semua yang Hayley katakan tadi. Pemuda itu punya rambut gelap, dasi hijaunya tidak dipasang dengan benar.

"Aku tidak bilang apa-apa, Pucey," Hayley menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya dan memberikan senyum terpaksa. "Silakan, lewatlah terlebih dahulu. Kami hambamu yang patuh, hanya ada di sini untuk keset kakimu."

"Humph." Lawan bicaranya tidak terkesan dengan ucapan Hayley. Pemuda itu, Pucey, lalu menatap Laurel ingin tahu. "Mengasuh sepupu Harry Potter sekarang, Mitchell?"

"Kami tidak ada di sini, kami hanya properti di pinggir koridor yang tak cukup penting untuk diperhatikan," kata Hayley datar. "Silakan lanjut, Pucey. Tidak ada yang menahanmu."

Pucey mengangkat bahu sedikit, melewati mereka. Ketika pemuda itu sudah agak jauh, Hayley menarik Laurel untuk kembali berjalan. 

"Adrian Pucey," jelas Hayley datar. Gadis yang lebih tua itu mendadak menegang, mencengkeram pundak Laurel kencang. "Tunggu, aku tahu bodohnya otak kalian anak-anak kelas satu. Jangan berani-berani berbicara balik seperti itu pada anak Slytherin mana pun kalau kau mau hidup."

Laurel mengangkat pandangannya dari koridor di depan mereka pada Hayley.

"Pucey ... agak lembek tanpa teman-temannnya dan dia lumayan suka balasan sarkastis dariku. Tapi aku serius, jangan berani-berani berbicara balik pada anak-anak lain." Mata Hayley terfokus pada Laurel. "Oke?"

Laurel mengangguk patuh.

"Dan jangan khawatirkan posisimu soal 'sepupu Harry Potter' itu," lanjut Hayley. "Potter dan Malfoy tidak sepenting yang mereka sendiri pikir. Keduanya pikir dunia berputar di sekitar mereka, tapi kebanyakan anak sebenarnya tidak peduli sama sekali tentang mereka. Biarkanlah Potter dan kroninya menyelamatkan dunia, kebanyakan dari kita sebenarnya ada di Hogwarts untuk belajar." 

Nada suara Hayley agak menyindir dan Laurel mengingat cerita Harry tentang dua tahun sekolahnya sebelumnya. Laurel tidak pernah memikirkan bagaimana pandangan anak-anak lain terhadap dua kali Harry menghalangi Kau-Tahu-Siapa untuk kembali berkuasa. Laurel malah tidak yakin apakah anak-anak lain tahu apa yang sebenarnya terjadi di Hogwarts dua tahun terakhir.

"Yang paling-paling harus kau lakukan hanyalah menghindari keduanya. Aku tahu Potter adalah sepupumu dan sebagainya, tapi kurasa aku juga tahu bahwa hidupmu lebih penting dari pada keluarga," Hayley terus berbicara saat mereka mencapai Aula Besar dan mulai berjalan ke meja Slytherin. "Dan tentang Malfoy, sudah jelas bukan? Jangan cari masalah, itu selalu peraturan pertama. Dan Potter dan Malfoy, keduanya magnet masalah."

Laurel tidak berkata apa-apa. Dia tidak tahu harus berkata apa.

Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya soal seluruh masalah 'dia sepupu Harry Potter dan dia Slytherin'.

Laurel mendadak merasa gugup dengan banyaknya orang yang menatapnya di meja Slytherin, berbisik-bisik. "Lalu, apa yang mereka bicarakan?"

Mereka mengambil tempat duduk. Hayley hanya memberi pandangan sekilas pada anak-anak yang sedang berbisik-bisik itu. "Jangan khawatir. Ini fase 'rumor'mu."

"Fase apa?"

"Anak-anak Muggleborn yang disortir ke Slytherin," tangan Hayley menjulur untuk mengambil selai, "semua memiliki fase 'rumor' saat mereka baru masuk. Berani taruhan teman-teman sekamarmu membicarakan itu kemarin malam, seperti di kamarku.

"Para Darah-Murni hanya tidak bisa percaya kelahiran Muggle bisa dianggap pantas untuk masuk Slytherin. Mereka mencoba mencari penjelasan kenapa. Normalnya mereka membahas tentang praktik gelap Muggle untuk mencuri kekuatan sihir, yang maksudnya menuduh masing-masing anak Muggleborn Slytherin membunuh seseorang untuk kekuatan sihir mereka. Biasanya selalu pembahasan yang sama setiap kali ada anak kelahiran Muggle lain di Slytherin."

Normalnya, biasanya. "'Rumor'ku berbeda, bukan?" tanya Laurel, sudah tahu jawabannya tanpa perlu menunggu Hayley membuka mulut.

"Ya. Bukan hal yang terlalu buruk. Paling tidak kau tidak dituduh membunuh. Hanya mungkin saja tambah satu alasanmu untuk menghindari Malfoy." Hayley memberi jeda. "Mereka pikir kau anak ... tidak terdaftar Lucius Malfoy dengan seorang Muggle."

Mulut Laurel langsung terbuka tidak percaya. Dia tahu sudah lebih dari satu kali dia dituduh seorang Malfoy, tapi ini? Maksud Laurel, dia bukan satu-satunya anak dengan rambut seperti itu, kemarin dia melihat anak Ravenclaw kelas dua dengan rambut pirang yang mirip juga. "Itu konyol!" serunya setelah beberapa lama.

"Tidak perlu kau ucapkan keras-keras. Mereka akan mencari pembenaran apa saja untuk menjelaskan kenapa beberapa orang tanpa darah penyihir jauh lebih superior dari pada mereka dengan darah yang murni. Praktik gelap, anak haram, apalah. Nanti akan hilang sendiri." Hayley mendorong sepiring roti ke hadapan Laurel. "Paling-paling 'rumor'mu hanya akan membuat pewaris Malfoy tersayang marah. Semua anak menulis gosip pulang tentangmu ke orang tua mereka kemarin malam. Aku tidak bisa menyarankan apa-apa lagi, pokoknya hindari saja Malfoy."

Aula Besar semakin ramai seiring waktu berjalan. Meja Gryffindor yang tadinya nyaris bisa dibilang tanpa penghuni kini mulai diisi, paling berisik di antara meja-meja lain. Laurel masih tidak melihat Harry, Hermione, atau Ron.

Laurel menyantap sarapannya. Siapa pun yang memasak makanan yang dihidangkan di depannya melakukan pekerjaannya dengan sempurna. Hayley tidak berbicara lagi, sibuk dengan makanannya sendiri.

Seseorang mendadak menyelip duduk di sebelah Laurel. Rigel. 

"Jadwalmu. Baru diberikan Profesor Snape." Rigel mengoperkan selembar kertas pada Laurel. "Jadwal kita sama persis."

"Terima kasih," kata Laurel, menyadari pandangan tidak suka Hayley pada Rigel. "Ada apa?"

"Black," Hayley berujar.

Rigel mengambil makanan untuknya sendiri, tidak terlalu terlihat peduli dengan perilaku dingin Hayley padanya.

Hayley tak berkata apa-apa lagi. Laurel cepat menyelesaikan sarapannya dan langsung bangkit. "Setengah jam lagi aku punya Transfigurasi," katanya pada Hayley.

"Aku bukan pengasuhmu, Dursley. Aku tidak peduli. Jangan cari masalah, itu saja."

"Ayo, Rigel," gumam Laurel. Tak mengangkat pandangannya, gadis itu mulai berjalan keluar, mendapati dia hampir menabrak seseorang.

"Whoa, whoa. Jangan terburu-buru."

"Harry!" Laurel berkata lega, dia tidak punya kesempatan untuk bertukar kata dengan sepupunya sejak di kereta kemarin. Laurel takut kalau Harry tidak akan menerima asramanya, tapi Harry yang berdiri di depannya tidak kelihatan marah. Hanya canggung, luar biasa canggung.

"Kecuali kalau kacamatamu hanya di sana untuk hiasan, Potter, ini adalah meja Slytherin," kata sebuah suara keras. Malfoy menyeringai dari tempat duduknya di meja panjang itu. 

"Ayo," kata Harry, menarik tangan Laurel. Rigel mengikuti mereka.

"Woo, Dementor, Potter!" seru Malfoy dan kroni-kroninya ketika Harry lewat. "Woo, Dementor, Woo! Kenapa kau belum pingsan, Potter?"

Laurel menyadari Malfoy tidak bilang apa-apa tentangnya. Laurel tidak tahu apakah itu karena Malfoy belum mendengar rumor soal ayahnya atau Malfoy menunggu sampai Laurel sendirian. 

Mengeraskan wajahnya, Harry terus berjalan sampai ke depan Aula Besar, saat dia berhenti dan berbalik, menundukkan wajahnya sejajar dengan Laurel. Harry tumbuh lebih tinggi belakangan ini, meski sepupu Laurel itu masih kelihatan kecil dan kurus. "Kamu tidak apa-apa, Laurel?" tanyanya. "Aku ingin berbicara denganmu kemarin malam—"

"Ya." Laurel menunjuk ke belakangnya. "Ini Rigel."

"Oh. Senang bertemu denganmu."

"Putra Profesor Lupin," klarifikasi Laurel.

"Oh." Harry kini kelihatan lebih ramah. "Laurel, kamu sudah dapat jadwalmu?"

"Ya. Transfigurasi untuk pelajaran pertama."

"McGonagall. Dia baik kalau kau berusaha keras di kelasnya."

"Oke."

Untuk sesaat, tidak ada yang berbicara. Laurel dan Harry hanya menatap satu sama lain tanpa membuka mulut. Rigel bergerak-gerak tidak nyaman di belakang Laurel.

"Aku akan kembali ke asrama. Ada barang yang perlu kuambil," gumam Rigel canggung sebelum berlalu pergi.

"Tentang asramamu—" Harry berdeham pada akhirnya. 

"Aku masuk Slytherin."

"Ya." Harry diam lagi. "Kamu tahu, Ron dan Hermione tidak akan keberatan kalau kamu menghabiskan waktu dengan kami."

"Oh. Itu bagus."

"Dan tidak ada peraturan yang menyebutkan kau harus makan di meja asramamu kecuali pada perjamuan awal dan akhir tahun," lanjut Harry.

"Oke."

"Dan ... uh," Harry mengganti tumpuan pada sebelah kakinya. "Pilih dengan baik temanmu."

"Aku hanya kenal tiga teman sekamarku dan Rigel. Dan teman-temanmu. Dan Lyall Lupin."

"Itu bagus."

Mereka diam lagi. Harry menatap Laurel lekat-lekat, matanya yang hijau berkilat-kilat. Tiba-tiba, Harry mengangkat lengannya dan membenamkan Laurel dalam pelukannya. 

"Kamu masih adikku, oke?" bisik Harry. "Aku tidak peduli kalau kau Gryffindor atau Slytherin. Aku akan menjagamu. Selalu."

14 Desember 2020

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro