1.9 | quidditch dan dementor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam sarapan sudah hampir berakhir. Aula Besar hampir kosong, banyak anak yang sudah berangkat ke kelas mereka. Kelas satu Slytherin tidak memiliki pelajaran sampai siang nanti.

Laurel duduk di meja Slytherin, Rigel di sebelahnya tapi dia nyaris tidak menyadari kehadiran anak laki-laki itu. Gadis itu baru masuk ke Aula setelah Harry dan kedua temannya keluar. Laurel bergerak seperti sebuah robot. Tangannya mengambil roti dan menuang susu secara otomatis.

Menggigit sarapannya tanpa selera, Laurel menatap kosong lurus ke depan, tidak menyadari ada tangan yang menjulur ke atas cangkirnya, menuang sesuatu diam-diam hampir tidak terdeteksi siapa pun kalau saja Rigel tidak sedang kebetulan menoleh. Gadis itu mengangkat gelasnya tanpa kecurigaan, membawanya ke mulut.

"Jangan minum itu!" Rigel berseru. Terlambat, Laurel mengangkat pandangannya tepat saat tegukan susu pertamanya meluncur memasuki kerongkongannya.

Laurel menatap Rigel. "A-apa?"

"Apa yang kau masukkan ke sana, Nott?" salak Rigel pada si pemilik tangan tadi, Valentina yang mengedip-ngedip seolah tidak bersalah.

"Semestinya bisa kalian lihat sendiri hasilnya beberapa detik lagi." Valentina melayangkan senyum menawan padanya.

Mata Rigel dipenuhi kepanikan. Laurel mengangkat alis. Apa pun yang dimasukkan ke minumannya tadi, tidak mungkin sangat berbahaya, bukan? Mereka sedang berada di sekolah.

Laurel menoleh kepada Valentina, membuka mulutnya untuk berbicara pada gadis itu sebelum menutupnya kembali ketika menyadari sesuatu. Rambutnya. Kepangnya mengayun saat dia menoleh, tapi warnanya tidak pirang terang lagi. Warnanya merah. Merah agak gelap, tapi berapi-api tampaknya di bawah cahaya matahari pagi yang menyinari Aula Besar, seperti rambut anak-anak Weasley.

Laurel menarik napas cepat. Kulitnya juga merah. Merah cerah yang mencolok menyakitkan mata dengan garis-garis emas. Warna-warna Gryffindor.

"Kuduga kau akan senang jika lebih mirip dengan spesiesmu," kata Valentina dengan nada sok manis. "Aku suka rambut barumu, omong-omong. Oh, juga kulitmu. Aku tidak tahu kau begitu mencintai Gryffindor!"

Bibir Laurel gemetar saat balas menatap Valentina. Stacey Gibbon cengengesan di sebelah temannya. Astoria Greengrass mengamati Laurel dengan wajah datar, tapi ada perasaan bersalah di matanya.

"Penawarnya!" tuntut Rigel. "Aku bisa melaporkan kalian pada seorang profesor."

"Jangan terlalu serius, Black." Nada suara Valentina dibuat-buat ceria.

Laurel mencengkeram pinggir meja dan menarik dirinya sendiri bangun, berlari keluar dari Aula.

Lari. Lagi-lagi dia berlari. Laurel merasakan air mata mulai menggenangi matanya. Kenapa Valentina memilih hari ini untuk menuangkan ramuan itu ke ramuannya, membuat kulitnya merah-emas dan rambutnya seperti para Weasley? Ini hari terburuk untuk terlihat sebagai seorang pecinta Gryffindor.

"Whoa! Easy there!"

Laurel mendongak. Matanya buram sejak tadi dia mulai menangis, tapi seketika dia mengenali sosok yang dia tabrak. Mata ramah Fred Weasley balas menatapnya. Kembaran identiknya berdiri di sebelahnya. Sekilas ada ekspresi khawatir di wajah kedua pemuda itu yang lalu ditekan dengan senyum penuh kenakalan.

"Siapa yang mengubahmu menjadi seorang Weasley, Laurel?" tanya George.

Mata Laurel melebar, menumpahkan air matanya lagi. Dia tidak mau dibilang mirip dengan seorang Weasley ... tidak setelah ucapan-ucapan kasar yang dilontarkannya pada Ron kemarin.

"Perlu kuakui, Forge, mereka melakukan kerja yang bagus." Fred mengangguk-angguk serius, mengeluarkan sapu tangan untuk Laurel, mengusap lembut air mata gadis kecil itu.

"Betul, Gred. Hampir bisa disalahkan sebagai Ginny kecil, Laurel ini. Gryffindor pride, rambut merah."

"Ya, hanya saja--"

"-- Ginny tidak pernah-"

"--mengepang rambutnya."

"Kami dapat menghilangkan bintik-bintik itu dan mengembalikan rambut dan kulitmu dalam sekejap, tenang saja," Fred berkata lembut. "Kau punya penawarnya, George?"

"Yeah. Ada di suatu tempat di dalam sini." George membuka tasnya dan mulai mengacak.

"Ini rahasia, tapi tidak semua prank kami berjalan lancar." Fred mengedipkan sebelah mata pada Laurel dengan gaya berkonspirasi. "Harus selalu sedia kalau ada yang berjalan salah. Kau tahu kau harus pergi ke mana lain kali kalau ada yang membuatmu menumbuhkan ekor kalajengking."

Laurel belum membuka mulutnya sama sekali, hanya memandang kedua Weasley itu dengan mata terbuka lebar.

"Ini." George mengulurkan salah satu botol dari dalam tasnya pada Laurel. "Akan kembali seperti normal dalam sekejap. Minumlah."

Si kembar memperhatikannya, menunggunya menenggak isi vial itu. Agak ragu, Laurel membuka juga botol mungil itu dan meminum satu teguk ramuan bening di dalamnya.

Warna merah-emas di kulit Laurel mulai memudar, demikian pula warna rambut Weasley-nya.

"Nah! Kau baik-baik saja!" kata George ceria, diam-diam waspada melihat betapa diamnya Laurel di depannya. Gadis kecil itu kelihatan sangat ketakutan seakan siap meledak lagi tangisnya kapan saja kalau si kembar tetap memaksa untuk berinteraksi lebih lanjut dengannya.

"Kurasa kami punya tempat untuk dihadiri sekarang!" Fred menepukkan tangannya, seperti tahu apa yang baru saja dipikirkan George. "Sampai nanti, Laurel!"

Mereka berdua berbalik dan berjalan pergi. Setelah menikung sekali dan keluar dari jangkauan pengelihatan dari tempat Laurel berdiri tadi, si kembar Weasley berhenti dan menoleh pada satu sama lain.

Mereka perlu berbicara pada Harry tentang apa yang terjadi.

***

Dengan alasan tangan Malfoy yang masih terluka (omong kosong), Slytherin menarik diri dari pertandingan Quidditch yang akan datang pada detik-detik terakhir, meninggalkan Hufflepuff melawan Gryffindor. Dengan cuaca yang buruk seperti ini, tentu saja asrama Laurel itu mundur dengan liciknya. Laurel tahu betapa kerasnya Wood melatih tim Gryffindor untuk bermain dalam cuaca seburuk ini, Slytherin pasti kalah telak jika berhadapan dengan mereka hari ini.

Laurel memanjat tribun, menggigil sedikit. Dia sudah memakai pakaian hangat tambahan, menghadapi diri untuk diterpa badai. Tidak mungkin dia melewatkan pertandingan Quidditch pertamanya.

Pertandingan ini tidak seperti yang dibayangkannya sebelumnya. Laurel pikir dia akan ada untuk mendukung Harry, tapi sudah dua hari penuh mereka tidak berbicara.

Semua Slytherin mendukung Hufflepuff dalam pertandingan kali ini, tentu saja. Tipikal Slytherin, mencari segala cara untuk selalu berada di pihak seberang Gryffindor. Paling tidak, itu artinya para Slytherin duduk dekat Hufflepuff. Laurel menyelip di sebelah Rigel, yang duduk di sebelah Lyall yang menggunakan segala atribut Hufflepuff yang dimilikinya. Bagaimanapun, Lyall kan memang seorang Hufflepuff.

Laurel bahkan tidak tahu apa yang harus ditontonnya, dengan kencangnya angin dan air hujan yang mengaburkan segalanya. Samar-samar terdengar suara Lee Jordan dari tribun guru dan komentator, memanggil satu-persatu anggota tim Gryffindor dan Hufflepuff saat mereka terbang ke luar. Cedric Diggory adalah kapten tim Hufflepuff. Dia berjabat tangan dengan Wood, lalu permainan dimulai.

Mereka hampir tidak bisa mengikuti jalannya permainan. Skor kedua tim merangkak naik dengan lambat sementara para Chaser saling mengejar, dengan para Beater terbang dengan waspada menjaga mereka.

Harry kelihatan hampir diterbangkan dari sapunya. Laurel menegang, mencengkeram bangkunya tanpa bisa menghentikan dirinya sendiri, khawatir.

Cedric memiliki keuntungan dengan tubuhnya yang lebih besar dan berat dari Harry, terlihat terbangnya lebih mantap tanpa sebentar-bentar ditiup keluar jalur oleh badai seperti Harry. Bagaimana caranya mereka menemukan snitch dalam cuaca seperti ini? Pertandingan dapat berjalan sampai berjam-jam, sejauh yang Laurel tahu.

Entah setelah beberapa lama, Wood meminta time out pada Madam Hooch dan mengumpulkan timnya untuk berbicara. Laurel mendengarkan cerocosan Lyall soal pertandingan itu dan membanggakan chaser-chaser asramanya. Gryffindor unggul lima puluh poin, tapi kecuali seseorang segera menangkap snitch angka itu tidak banyak artinya.

Permainan kembali berjalan. Harry terbang dengan kepercayaan diri baru. Badai semakin ganas, dengan petir menyambar-nyambar setiap beberapa lama. Jubah-jubah para pemain sudah lama tidak berkibar, menempel ke punggung mereka saat mereka terbang mengitari arena.

Pada satu titik, semua orang mulai berteriak-teriak dan menunjuk. Cedric menunduk nyaris tegak lurus dengan sapunya, tangannya menjulur siap menangkap bola kecil keemasan beberapa jauh di depannya. Harry membalapnya. Semua orang berteriak lagi, beberapa bangkit untuk mendapatkan pengelihatan lebih jelas.

Seperti itu mungkin, sedetik kemudian udara menjadi lebih dingin lagi. Suhu udara seakan jatuh, membuat darah Laurel terasa membeku. Keheningan melanda stadion.

Sosok-sosok gelap melayang mendekati lapangan, beratus-ratus banyaknya. Para dementor tidak memiliki wajah, tapi Laurel dapat membayangkan ekspresi kelaparan yang sedang mereka punya. Semua penonton membeku di kursi masing-masing. Harry hampir sekali mencapai snitch itu, mencapai kemenangan Gryffindor.

Lalu, si Anak yang Bertahan Hidup sepertinya menyadari sesuatu, menunduk ke bawah dan mendapati beratus-ratus dementor yang menunggunya seperti lautan jubah hitam.

Harry terhuyung di atas sapunya.

Tangan Cedric menutup di sekitar snitch, menoleh ke belakang untuk merayakan kemenangannya.

Laurel menutupi mulutnya, jeritan kecil melompat keluar sebelum dia sempat menghentikannya. Matanya melebar penuh kengerian. Harry Potter, seeker termuda abad ini, jatuh dari sapunya beberapa ratus kaki dari tanah.

Dumbledore bangkit berlari dari tempat duduknya, meneriakkan sesuatu. Tubuh Harry melambat dan mendarat dengan di rumput, tidak bergerak lagi. Tanpa berhenti sejenak pun, Dumbledore berbalik dan mengacungkan tongkatnya pada gerombolan dementor. Sinar perak meluncur dari ujungnya, dan para dementor langsung mundur dan kocar-kacir seolah sinar itu menakuti mereka.

Laurel melihat Hermione dan Ron terburu-buru berlari ke arah tubuh Harry, demikian pula dengan para pemain dari kedua tim yang langsung melesat dan melompat ke tanah, berdesak-desakan di sekitar Harry.

Laurel tidak tahu tempatnya di sini.

***

Harry menatap serpihan Nimbus 2000-nya yang sudah tidak mungkin dibetulkan lagi. Teriakan ibunya terus-menerus terulang di telinganya. "Jangan Harry. Kumohon, jangan Harry!"

Dia mendengar teriakan ibunya setiap kali para dementor mendekat. Reaksi Ginny bahkan tidak separah dirinya, dan Ginny lebih muda setahun darinya. Juga Laurel, yang dua tahun lebih muda darinya.

Laurel ....

Gadis kecil itu tidak terlihat batang hidungnya sejak Harry masuk rumah sakit. Dia terus-menerus berharap-harap cemas melihat kilasan rambutnya yang terang, tapi hasilnya nihil. Laurel tidak akan mengunjunginya.

Ron sepertinya terbelah antara memberitahu bahwa Laurel berlaku seperti anak mana saja yang diperlakukan begitu oleh kakaknya yang terlalu protektif atau meledak-ledak karena ucapan kasar anak itu kemarin. Hermione berusaha meyakinkan Harry bahwa Laurel akan baik-baik saja, setelah air matanya sendiri berhasil dikeringkan setelah mendengar kekasaran Laurel kemarin.

"Dia terlalu terbiasa mendengar kata itu, dia tidak mengerti artinya," kata Hermione padanya setenang mungkin. "Kita tidak bisa menyalahkannya."

Fred dan George tidak tahu apa yang terjadi kecuali bahwa Laurel akhirnya meledak pada Harry.

"Apa yang akan kalian lakukan kalau itu Ginny?" Harry bertanya kemarin.

"Pertama-tama, kami tidak akan pernah mengikuti atau menyeret Ginny kemana-mana, jadi itu tidak akan pernah terjadi pada kami," kata George. Ada kilasan bersalah di matanya dan Harry tahu dia teringat kejadian tahun lalu. Mungkin Ginny tidak akan berhasil terayu oleh Tom Riddle kalau kakak-kakaknya lebih peduli padanya.

"Kedua, kalaupun itu terjadi pada Ginny, Laurel bukan Ginny. Mereka berbeda, Harry. Kami tidak bisa berkata apa-apa, Harry. Lakukan saja hal yang menurutmu benar dan jangan berbuat bodoh."

Harry mendesah dan menyandarkan tubuhnya di bantal ketika mengingat lagi percakapan itu. Jangan berbuat bodoh. Mau bagaimanapun dia berusaha mengelak, Harry tahu dia banyak berbuat hal-hal bodoh akhir-ahir ini.

Tentang Laurel, ditambah lagi dengan teriakan ibunya yang menggema di telinganya setiap kali dementor datang mendekat ... kepala Harry terasa penuh.

Pengunjung tetap berdatangan dengan membawa hadiah-hadiah untuknya. Ginny Weasley memberikannya kartu semoga cepat sembuh, menyerahkannya dengan wajah merah. Ketertarikan si bungsu Weasley sudah mereda dibandingkan tahun lalu, rona wajahnya lebih tentang fakta bahwa Harry menyelamatkannya di Kamar Rahasia dari pada sampah tentang si Anak yang Bertahan Hidup.

Saat akhirnya Harry keluar dari rumah sakit, dia tidak melihat Laurel kecuali kilasan-kilasan sekilas di Aula Besar. Laurel sepertinya menghindarinya.

Pansy Parkinson bersemangat sekali memperagakan bagaimana Harry jatuh dari sapunya saat permainan kemarin. Malfoy, entah kenapa, tidak berkata apa-apa saat duduk di samping Parkinson, mendengarkan cerita-cerita gadis itu dengan wajah datar yang tidak bisa Harry baca. Beberapa kali Harry mendapatinya menatap Laurel dan dirinya sendiri bolak-balik, agak ragu.

"Apa yang kau masukkan ke dalam kepalanya, Malfoy?" Harry bertanya keras. Dia ingin mengejar Laurel, tapi dia juga ingin menyakiti Malfoy karena apa pun yang dia lakukan itu. "Yang tadi itu bukan adikku."

"Seharusnya kau bertanya kalau dia pernah jadi adikmu," Malfoy malah membalasnya menantang. "Bahkan Weasel di sini tidak cukup bodoh untuk membuntuti Weaselette ke mana-mana."

"Tongkat Ron, Malfoy!"

Malfoy memutar-mutar tongkat Ron di jarinya. "Untuk apa kukembalikan? Agar kau bisa mengutuk anak-anak Slytherin lagi?"

"Ron tidak akan mengutuk adikku dan kau tahu itu! Jangan ikut campur!"

"Expelliarmus!" Hermione berkata, suaranya bergetar karena tangis. Malfoy membiarkan tongkat Ron melayang ke arah Hermione. "Tinggalkan kami sendiri." Hermione mengacungkan tongkatnya sendiri.

Malfoy terlihat sudah ingin pergi, tapi ada sedikit keraguan di matanya yang tidak Harry mengerti.

Kali selanjutnya Malfoy membuka mulut, suaranya rendah mengintimidasi. Matanya dingin dan mengancam, seperti yang tahun lalu Harry lihat di ekspresi Lucius Malfoy saat Dumbledore mengindormasikannya soal kehancuran buku harian Tom Riddle, hanya saja Lucius Malfoy terlihat siap meledak-ledak sedangkan Draco Malfoy yang berdiri di depannya terlihat terkontrol.

"Slytherins look after one another." Suara Malfoy yakin, tapi keyakinan yang seolah baru dia sadari tepat sebelum itu. "Ingat itu kali selanjutnya kau memutuskan mengangkat tongkat pada salah satu dari kami."

Malfoy membalikkan badannya dan berjalan pergi dengan kepala terangkat. Mungkin dia tahu, mungkin dia tidak tahu, tapi dia berhasil menyerang Harry di titik terlemahnya.

Malfoy benar-benar mengakui Laurel sebagai seorang Slytherin. Sepertinya.



8 Februari 2020

Ada youtube music playlist buat Laurel Dursley di link profile Wattpad Rye, meski lagunya baru ada sedikit.

Bulan ini Rye ikut Daily Writing Challenge yang diselenggarakan oleh Nusantara Pen Circle (dicek profile grup kami monggo) dan Rye mencoba menulis semua challenge Rye dalam Harry Potter Universe. Silakan dicek di work yang judulnya Finding Tomorrow, isinya oneshot-oneshot Harry Potter nan random soalnya tema yang dikasih setiap harinya juga random banget. Salahin admin NPC.

QotC: Marauders Era (generasi remus, sirius, james dan lily potter) atau Golden Trio Era (generasi harry, ron, hermione)?
Marauders Era nggak dapat happy ending :( tapi Rye pilih Marauders Era karena (obviously) tokoh favorit Rye adalah Remus Lupin.

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro