Dodo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini mungkin cuaca mulai menampakkan bahwa langit tidak akan kembali menurunkan airmata seperti biasa. Saya menghirup udara dalam, mengembuskannya perlahan menikmati pagi bersama kicauan teman-teman yang mulai membahas masalah dosen yang sangat monoton dalam menyampaikan materi. Ah, tentu saja saya hanya bisa mengangguk, mengiyakan argumen teman-teman saya. Pukul 08.15 kami menunggu jam kelas program paket niaga di luar lab komputer tempat biasa. Di kejauhan, saya lihat salah satu teman saya berjalan santai ke arah saya duduk dengan almamater yang tersampir di bahu, menepuk bahu saya keras.

"Do! Habis Pemrograman Web kita ngopdud di pujasera. Gua baru gajian."

Saya menyengir kuda, menunjuknya dengan telunjuk. "Bener lu! Jangan ngasih ekspektasi doang!"

Dia terkekeh, "Gak bakalan. Eh, lu ngapain sih? Ngerjain tugas? Tugas siapa?" matanya menatap kaget ke layar laptop di pangkuan. Menampilkan tampilan Microsoft Word secara kontras.

"Bukan. Gua cuma iseng aja nulis gak jelas sambil nunggu tuh dosen."

"Anjing lu! Gua kira itu tugas lagi. Ck!"

Saya terkekeh. Melayangkan tatapan ke arah datangnya dosen yang selama ini kami tunggu. Melirik jam di tangan, dua puluh lima menit kami menunggu dosen yang satu ini. Tapi tak apalah, menghela napas, melirik ke arah teman di samping saya.

"Go. Cabut yuk!"

Mendengar ajakan saya, Argo, teman saya selama menjadi mahasiswa semester dua menoleh antusias. "Eh, asli, lu gak lagi broken home kan?"

Saya menggeleng penuh keyakinan. Sejak kapan pula saya mengalami broken home? Dasar. Keluarga saya begitu harmonis. Menutup laptop, saya melirik ke arah dosen yang kini memasuki ruangan lab komputer bersama beberapa mahasiswa lain. Tangan saya sigap menarik tas, diikuti Argo di sebelah saya.

"Yakin lu mau cabut? Ada serangan negara api di kepala lu ya?"

"Buruan. Gua mau nagih traktiran lo di pujasera sekarang,"

"Asu! Ada maunya juga lu." Argo mengumpat misuh, berjalan meninggalkan lab komputer disusul oleh saya. "Beneran lu gak titip absen? Eh, anjir, lu gak bener-bener korslet kan?"

Saya menaikn bahu acuh. Benar-benar anak ini, begitu tidak percayanya pada saya yang notabene tidak pernah membuang-buang waktu selain belajar dan mengikuti kelas. Walaupun saya baru masuk semester dua, tapi tidak sedikit dosen memuji kerajinan saya dalam ikut memasuki kelas. Apalagi mengikuti kelas yang sangat membosankan dan tidak menggairahkan. Tapi entah kenapa, untuk kali ini saya benar-benar ingin melanjutkan cerita dunia buatan ini. Saya benar-benar membutuhkan ide untuk melahirkan satu tokoh sentral yang akan mengisi setiap laju kehidupan dunia buatan yang saya buat.

Sesampainya di pujasera, Argo berseru memesan dua kopi esspresso dengan makanan ringan lain. Saya duduk di salah satu kursi, diikuti olehnya. Argo menyeringai, melempar sebungkus rokok berkualitas ke atas meja.

"Noh."

"Dank u well(Terima kasih: Belanda), Boss."

Argo terkekeh, "Bisa aja lu bilang boss."

Saya menyambar bungkusan rokok tersebut, membukanya. Saya menarik salah satu rokok, menyulutnya dengan pemantik, mengembuskannya dengan santai. Entah lah, seharusnya saya tidak diperbolehkan merokok oleh Mama. Tapi Papa saya sudah memberikan izin lisensi untuk membiarkan saya merokok. Asal dalam batas wajar, tidak terlalu sering.

"Tumben pengen banget bolos, Do? Angin dari mana, sih?" Argo bertanya serius, ikut menyulut rokok dan menyesapnya pelan.

"Pengen buat dunia buatan. Gua dapet ilham pagi tadi."

Saya membuka laptop kembali, menghidupkannya.

"Dunia buatan ya? Maksudnya nulis cerita gitu? Duh. Gak ada kerjaan banget, Cuk!"

"Makanya, gua coba-coba buat cerita, Go."

Argo tertawa, menerima semua pesanan dua esspresso dan beberapa makanan ringan. Menghisap rokoknya kembali sebelum mengalihkan pandangannya pada satu titik. Tepat di belakang saya mengetik cerita.

"Do, do! Belakang lu! Cadass.. "

Mendapat tepukan di bahu, saya ikut menatap apa yang dilihat Argo di belakang saya.

Seorang mahasiswi berkulit sawo matang berjalan dengan anggunnya ke arah gedung FIKSI. Rambutnya terurai sebahu di antara wajahnya yang ayu dan hitam manis. Dengan berbalut kaus putih bergambar partitur not balok, dilapisi dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah, celana jeans belel dan sepatu converse, membuatnya tampak cocok dan terlihat casual.

"Manis, Do! Kayaknya gua baru liat dia di gedung FIKSI. Ternyata, sefakultas juga."

Saya menatap gadis itu lama. Menahan decakan kagum yang bisa-bisa keluar dari mulut saya. "Lu sih ngajak cabut aja. Jadi gak bisa sekelas sama tuh cewek!"

Saya meringis, mendapat jitakan keras di kepala saya. "Lu yang ngajak cabut, Njing."

Alih-alih melihat gadis itu lenyap dari pandangan, saya mulai mendapat gagasan penting dalam tulisan saya. Gadis itu benar-benar menguntungkan. Akan saya buat dirinya sebagai salah satu tokoh sentral yang akan menghidupkan cerita saya.

Namanya Anggrek.

Ah, tidak cocok.

Citra?

Terlalu mainstreem.

Lintang Asmara?

"Permisi."

Saya menautkan alis, melihat Argo menoleh ke arah sumber suara di belakang diikuti oleh saya.

"Kalian bukannya anak FIKSI? Gak masuk?"

Saya mengerjapkan mata beberapa kali. Sebelum akhirnya Argo menepuk pundak saya, menyadarkan saya, "Lu kesiangan?"

Gadis berwajah manis itu tersenyum, mengangguk. "Iya, nih. Pengennya sih masuk, kalo ikut kena semprot, gak ikut absenan kosong, kalian gak bakal masuk?"

Saya berdeham, tersenyum, "Kita kayaknya gak bakal masuk. Males. Lu masuk aja, jangan ngikutin kita yang gak bener."

Argo di samping saya menjulurkan tangan, "Gua gak pernah liat lo di gedung FIKSI. Kenalin, nama gua Argo. Jurusan SI." Argo menelengkan wajah pada saya, "Sama kayak dia."

Gadis itu kembali tersenyum, sangat manis, "Arum Kinanti." Setelah mereka berkenalan, kini giliran Arum mengulurkan tangan pada saya, "Kamu? Bukan asli Indonesia ya?"

Saya mengangguk, "Matsuyama Kafudo. Panggil Dodo aja."

"Arum Kinanti." gadis itu ber-oh ria, "Jepang?"

"Ya."

"Berapa lama tinggal di Indonesia?"

"Kelas satu SMA."

Kami berjabat tangan cukup lama. Sebelum akhirnya lepas dan enggan untuk berpisah. Ya, mungkin hati saya mulai terkontaminasi dengan pribumi.

"Lu gak masuk? Mending masuk gih. Sorry, bukannya ngusir, demi absensi." Argo menoleh ke arah gedung FIKSi, "Dia gak bakal marah kalo sama cewek. Percaya sama gua."

Arum menggigit bibir cemas, "Beneran?"

Saya mengangguk. Meyakinkan keraguannya jika berhadapan dengan dosen di sana.

"Ya udah, aku masuk. Makasih ya!"

Saya dan Argo mengangguk, mempersilahkan Arum pergi menuju gedung FIKSI.

"Ngelamun aja lu! Baru dikasih cewek manis bak gula jawa aja udah kicep."

Saya tersenyum lebar. Menatap layar laptop yang akan melahirkan kisah seorang Lintang Asmara. Baiklah, duduk dengan gerutuan teman sebangsat di depan, saya mulai menceritakan kisah tokoh sentral yang akan menemani anda semua.

Enjoy reading.
***

"Lintang Asmara."

Nama yang tertulis dalam sebuah kartu nama mahasiswa yang barusaja keluar bersama deretan kartu mahasiswa lain di atas loket administrasi rektor. Semua mahasiswa baru diharap melunasi semua administrasi kelengkapan semasa kuliah. Beberapa dari mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tidak terkecuali dengan..

"Lintang Asmara. Jurusan Sistem Informasi."

Seorang mahasiswi berambut sebahu berjalan cepat menuju loket rektor saat namanya barusaja dipanggil. Sesampainya di depan loket, gadis itu mengeluarkan beberapa lembar bukti pembayaran berupa kwitansi sebelum dia mengikuti tes dan OSPEK dulu.

"Sudah lunas?"

"Sudah Bu."

Seorang wanita berkacamata di balik loket mengangguk samar, menyerahkan kartu tanda mahasiswa yang selama ini ditahan sebelum melunasi beberapa administrasi sebagai syarat kelengkapan sebagai mahasiswa baru.

"Makasih Bu."

Gadis itu tersenyum simpul, menatap kartu tanda mahasiswa miliknya masih begitu mengkilap selama perjalanan menuju gedung Fakultas Ilmu Komputer dan Sistem Informasi.

***

"Do! Masa disamain sama tuh cewek! Gak-gak, gak bakalan dapet feel nya."

Saya mencebik kesal, menyesap esspresso, menghela napas berat. Malas sekali menanggapi Argo di saat mengajaknya kerja sama dalam membangun seorang karakter tokoh.

"Genre-nya jangan menye-menye. Mending kayak film The MUMMY aja. Kalau enggak, kayak Marvel. Action, Do!"

Saya mengusap rambut kesal. Mendengar ocehan Argo benar-benar membuat otak saya pusing menggambarkan sebuah genre.

"Oh! Gua baru inget, Cuk. Erotic romance aja! Biar Kayak film si Grey sama si Ana tuh. Bukannya itu juga adaptasi dari novel?"

Satu jitakan mendarat di kepala Argo. Sudah membuat pusing, malah semakin menguras emosi saja. Tapi saya pikir, genre action bagus juga. Semacam Wonder Woman, atau..

"Kebanyakan mikir, sih! Udah, fantasi aja. Ribet banget. Jarang tuh orang pada buat novel fantasi." Argo menatap saya serius, "Zaman sekarang tuh, modal utama sebuah cerita adalah sentuhan. Sentuhan nyata yang berarti realistis. Nah, lu buat cerita yang sama sekali jauh dari kata realistis. Fantasi. Sci-fi, atau yang paling populer ya macem si Grey. Laku keras tuh!"

Saya tidak pernah habis pikir dengan pola pikiran Argo. Selama ini saya berteman dengannya, baru kali ini saya tahu Argo pandai dalam menganalisis, mengkritik, atau menilai sesuatu dengan intens. Sedikit menyimak penuturan Argo, saya lebih banyak membayangkan sosok Argo yang pekerja keras, membuat belasan situs pemasaran di internet hanya untuk mendapatkan uang. Argo sangat pandai dalam ilmu teknik komputer dan jaringan yang dipelajarinya di SMK dulu. Hanya saja, sifatnya yang urakan, rambut kusut, kaus belel, dan bersikap semaunya pada siapapun. Tidak terbayangkan jika dia menjadi..

"Go! Gua punya ide!"

Argo di depan saya menaikan sebelah alis, "Apa?"

Saya tersenyum sinis, "Hacker."

_______

Ini bukan cerbung, cuma iseng hehe.. ✌

Gimana?

Sebenarnya saya buat cerita ini terinspirasi dengan Novel Supernova karya Dee Lestari sama Klandestin karya Lovita Cendana. Karya mereka pecah semua! Kalian semua mesti baca karya berkualitas mereka.

So, mending lanjut apa ganti?

Btw, untuk tokoh "Argo" saya comot namanya dari nama asli teman saya di kampus. Cuma nama, gak sama sifatnya, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro