MERTUAKU, HANSIP HARI SUBURKU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bukannya aku nggak hormat sama orang tua. Tapi sering banget aku merasa mertuaku itu sedikit suka ikut campur. Serius. Meskipun aku tahu, maksud dia baek. Meskipun aku tahu juga sih... dia sama aku punya satu mimpi yang sama, yakni nggak lain nggak bukan yaitu aku hamil. Tapi... duh, caranya itu loh. Bikin aku kepingin jedot-jedot kepala ke tembok atau garukin aspal sekalian!!! Dan siapa lagi yang jadi korban kalo aku udah jengkel banget begini kalo bukan... ya... suami aku laaaah!!! Siapa lageeee???!!!

Suatu pagi-pagi buta yang menurut kalenderku adalah hari baek tanggal baek untuk mencoba (lagi) hamil dan aku lagi berjuang melawan kantuk nan berat karena tumben-tumbenan pak suami tanpa perlu dibujuk rayu dan diminta-minta udah bersemangat berdedikasi sepenuhnya untuk bikin PR bareng, telepon di ruang tengah tahu-tahu jejeritan cari perhatian.

"Hhhhhh... siapa coba ya yang nelepon-nelepon pagi-pagi gini??!!!" dalam hati aku mendumel sambil juga merasa waswas karena takut si pasangan bikin PR tiba-tiba kehilangan mood dan kepikiran mau ngangkat telepon. Duuuuh, jangan sampeeeee!!! Bukan cuma karena kami lagi di tengah-tengah nirwana kenikmatan begini, tapi juga karena aku serasa ketiban duren, berhubung nggak perlu ML sama laki bertampang bete karena mesti dipaksa-paksa dulu. Yah, bagaimanapun berbulan-bulan cuma disodorin muka bete setiap kali mau mesra kan bikin hati sumpek juga...

Terus terang aku sendiri udah nggak konsen. Gimana mau konsen, kalo secara jiwa aku mesti ngucapin mantra-mantra paling ruwet biar si penelepon akhirnya nyerah, sementara secara raga aku juga mesti mengimbangi permainan lawan... Tapi yah, untungnya, berhubung aku perempuan dan konsentrasi nggak kelewat banyak berperan terhadap hasil, action tetap jalan terus dan terjaga hue he he he... Dan kalau menilik gayanya Sahat aka pak suami, mana dia tahu aku beneran konsen ato kagak. Dasar lelaki... ye ye ye.

So, serangan pertama pocong telepon akhirnya brenti dan mantraku berhasil: mood suami tetap terjaga dan serangan tetap di tahun 45, sama sekali nggak terkecoh interupsi nggak penting barusan... Dalam hati aku bersyukur karena berdasarkan pengamatanku selama ini, mestinya beberapa menit lagi fase pemanasan setempat bakal berakhir dan kami akan sampai ke aksi sesungguhnyaaaah...

Tapi... ho ho ho!!! Mengapa oh mengapa justru di saat begini pak suami bukannya bergegas-gegas menggolkan bola ke gawang, eh malah ngajak piknik dulu. Maksudku, dia pake ngajak muter-muter dulu gitu, maen cantik ato pelesiran ato apalah namanya, yang jelas bukannya langsung ke pokok persoalan, ke misi utama, ke tugas terpenting gitu. Capeee deeeeh!!!!! Dan akibatnya, tanpa dikomando langsung aja mantraku bubar jalan dan konsentrasiku makin nggak beres. Dan seolah untuk melengkapi itu semua, si telepon kumat lagi jejeritannya.

Tununuuut... tununuuuuuut... tununuuuut... tununuuuuuut....

Dan, seperti yang kukhawatirkan, mood suami ikut bubar jalan... dan seolah-olah ada sutradara yang berteriak "CUT!" kami brenti di tengah-tengah.

Sahat: *ngos-ngosan* telepon tuh...

Aku: *ngos-ngosan* udah biarin aja...

Sahat: kalo penting gimana?

Aku: nggak ada yang lebih penting dari ini. *mulai kissing-kissing*

Sahat: orang nggak mungkin nelepon pagi buta kalo nggak penting, honey.

Aku: salah sambung, kali... *tetep kissing-kissing, tapi rada maksa*

Sahat: aku angkat aja dulu. Jangan-jangan ada yang meninggal ato apa.

Aku: tanggung...

Sahat: ntar kita nyesel loh... (sambil membebaskan diri seolah-olah dia tawanan garis miring budak seks)

Aku: ya udah deh aku yang angkat! (*Sialan sialan sialan!* sambil tangan nyaut daster dari kaki tempat tidur.)

Dan tahukah siapa yang menelepon di jam empat subuh hari Sabtu begini di hari baek tanggal baek aku dan Sahat? Di hari aku kemungkinan besar berhasil dibuat hamil dan malah gagal total karena ada yang usil banget nelepon-nelepon? Ini dia orangnya, sodara-sodara: MAMAK  MERTUA. Dan taraaaaa... percakapannya nggak kalah nggak mutu seperti biasa:

Aku: Halo? *judes mode on*

Mertua: Ah, kau rupanya!

Aku: (sambil nahan marah dan jengkel dan seribu satu muntahan emosi negatif lainnya berhubung yang menggagalkan misi kali ini ya siapa lagi kalo bukan sang mertua.) Ada apa, Inang?

Mertua: Wah, jelek kali suaramu klok pagi ya?

Aku: *menggeram-geram tapi cuma dalam hati* Ada apa, Inang? *bunga-bunga kecil mode on*

Mertua: Ini hari suburmu, kan? Kau sudah ajak campur suamimu itu?

Aku: (what?!!!! Apa aku nggak salah denger? Apa katanya tadiiiiiii?)

Mertua: Hari suburmu. (Mungkin ucapan yang semula kumaksudkan cuma dijeritkan dalam hati ternyata terlontar juga.)

Aku: Dari mana Inang tahu?

Mertua: Tak perlulah kau tersinggung begitu. Kek aku ini orang lain sadza. Tentu sadza aku tahu ini hari suburmu. Aku cuma mau mengingatkan, klo-klo kau lupa. Begitu sadza kok...

Aku: (udah nyaris nyabut-nyabutin rambut saking juengkelnya) DA-RI MA-NA I-NANG TA-HU?

Terus terang neh, sampai di titik ini marahku udah sampe ke ubun-ubun, mentok trus mantul lagi sampe ujung kuku jempol kaki. Yang muncul dalam pikiranku cuma: ini pasti kerjaan si Sahat anak mami pengkhianat itu! Dia nggak berhak ngasih tahu ibunya kapan aja masa suburku! Lagian ngapain juga? Supaya ibunya bisa ngatur-ngatur aku kapan ML, gitu? Supaya ibunya merasa berhak ikut campur terus soal yang satu ini? Gimana siiiihhh? Dasar pengkhianat, dasar brengsek, dasaaaarrrr...

Mertua: dari klenderku tentu sadjza. Bodoh kali kau ini bah...

Aku: kalender? K-A-L-E-N-D-E-R??? *asap keluar dari lubang hidung dan telinga dan mengebul-ngebul di setiap pori-pori tanda aku marah BESAR. Amat sangat BESAAAARRR!!!!*

Mertua: iya, klender. Kenapa pula rupanya?

Duh, kalo aku nggak takut kuwalat pasti jawaban aku bakal begini: KENAPA PULA? MASIH NANYA KENAPA PULA? AKU TERSINGGUNG! AKU MARAH! AKU MERASA DIPERMALUKAN! AKU... SIAPA YANG UDAH KURANG AJAR NGELUARIN KALENDER HARI SUBURKU???!!!! DAN NGASIH KE MERTUAKU SEGALA, LAGI! SIAPA???? ATAU JANGAN-JANGAN BUKAN CUMA MERTUAKU YANG MEGANG KALENDER ITU... JANGAN-JANGAN SEMUA IPAR DAN KELUARGA BESAR PADA PUNYA SEORANG SATU...

Mertua: Minar? Kenapa diam sadza kau? Sudah kau tutup teleponmu itu ya?

Aku: (dalam hati menghitung satu sampai sepuluh sembari narik napas dalam-dalam. Biar bagaimanapun aku nggak mau dikutuk jadi batu kalo telanjur kurang ajar.) Inang dapet kalender itu dari mana? *suara penuh bunga-bunga plastik warna norak*

Mertua: Oh... Dari si Sahat-lah... masak kubeli di toko... (ketawa senang menang)

Jelas kali ini kemarahanku nggak bisa dimatikan lagi. Jadi, setelah bergumam nggak jelas kututup teleponnya, nggak sabar kepingin mencakar-cakar mulut ember bocor si pengkhianat di kamar sana. Mertuaku masih setengah mencerocos waktu telepon kututup. Ah, paling-paling juga ntar dia nyebut aku nggak tahu sopan santun, which is udah biasa juga sebutan itu, jadi aku nggak kelewat keberatan.

Maka aku berjalan dengan langkah-langkah Buto Ijo menuju kamar yang sekarang berubah dari nirwana jadi neraka. Kalo di film kartun neh, pasti dari hidungku udah menyembur-nyembur asap dan api. Trus aku buka pintu dan masuk.

"Sahat Pangoloi Purba! Katanya kaukasih mamakmu kalender, ya? Dasar pengkhianat busuk! Bersiaplah kau kukelantang tiga hari tiga malam!"

Laki-laki yang lima menit lalu tadi masih ngos-ngosan karena terpaksa menahan hasrat terpendam, terbangun gelagapan. Bagus bangeeet, bisa-bisanya dia ketiduran!

"Apa sih kau ini, datang marah-marah begitu?" katanya setengah mengantuk.

"Barusan ibumu nelepon, katanya kau kasih dia kalender?"

Dia menatapku bingung. Atau pura-pura bingung.

"Terus?"

"Bener nggak kau kasih dia kalender?"

"Aku lupa. Ini sudah pertengahan tahun, Honey. Memangnya penting, ya?"

Volume suaraku sudah pol bin pol. (Untuk ukuran pagi buta dan takut ngebangunin tetangga.) "Kau masih tanya penting atau nggak? Tentu saja penting! Ini masalah harga diri, tahu! Teganya kau bikin ini ke aku! Kau jahat! Jahat!" Entah kenapa aku nangis. Mungkin saking jengkelnya. Aku duduk di pinggir tempat tidur dan sesenggukan.

Aku mendengar Sahat bangkit duduk dan bergeser ke dekatku.

"Jangan dekat-dekat!" bentakku. "Atau kukutuk kau jadi kecoak!"

"Kau ini kenapa sih?" Sahat akhirnya ikutan jengkel. "Kalender aja jadi masalah. Kalau kau kepingin kalender seperti punya Mamak, nanti kucarikan deh. Heran. Drama banget!" sungutnya sambil mengenakan kembali Crocodile-nya. Dalam hati aku menyesalkan kesempatan hamil yang hilang ini. Tapi masalahnya aku udah keburu jengkel dan sama sekali nggak berminat merayunya. Ilfil blas!

"Aku cuma kepingin tanya, kenapa kau kasih Inang kalender itu! Kau nggak berhak, tahu! Itu rahasia kita berdua! Rahasiaku! Kau gila ya?" aku meradang.

"Kau ini ngomong apa sih? Kalender apa sih sebenarnya yang kaumaksud?"

"Kalender kesuburanku! Kau ngasih ibumu kalender hari-hari suburku, sialan!" Dan tangisku pun meledak makin besar. Tapi nggak lama, karena terus Sahat menyahutinya dengan tawa terbahak-bahak.

HAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHA!!!

Sahat: Serius neh... Mamak punya kalender hari suburmu? (nadanya mulai usil dan kurang ajar.)

Aku: Aku nggak bercanda. Ngaku aja, kau yang ngasih, kan? (sepasang laser jahanam menyorot dari mataku yang merah)

Sahat: Aku ngasih dia kalender hari suburmu, gitu? Aku aja nggak tahu kalender kayak begitu ada, gimana mau ngasih?

Aku terdiam telak. Betul juga. Sahat sendiri mana hafal kapan hari baek tanggal baekku. Akulah yang selalu dan selalu dan selalu mengingatkannya. Merayu-rayunya, mengajaknya, memancingnya, menyeretnya... Jadi?

Sahat: Lho, kau mau ke mana?

Aku: Nelepon ibumu.

Sahat: Jangan kaumarahi dia!

Aku: Sukaku!

Sahat: Dia yang melahirkan aku loh. Tanpa dia, kau nggak bisa kawin denganku.

Aku: Ah, diam kau! Aku nggak mau dia jadi Dewi Kesuburan-ku. Kalau dia kepingin jadi Dewi Kesuburan, biar dia jadi Dewi Kesuburan orang lain dan ngurusin kesuburan orang lain!

Dan percaya nggak hasil percakapan terakhir sama Madam Mertua? Ini dia:

Aku: Inang...

Mertua: Kenapa kauputus teleponku tadi? Aku masih omong panjang-lebar ternyata sudah kauputus sewenang-wenang! Kurang adzar kau bah!

Aku: Maaf, Inang... tadi aku harus matikan kompor. *alasan asal*

Mertua: Masak apa kau rupanya?

Aku: (masak angkara murka, masak apa lagiii? Tapi cuma dalam hati). Masak sangsang. Ngomong-ngomong, Inang, aku sudah tanya anakmu, katanya dia lupa pernah ngasih Inang kalender. Memangnya kalender Inang itu kalender kantor Sahat, gitu ya?

Mertua: Iyalah. Ada tulisan GE di sini. Itu kantor si Sahat, kan?

Aku: Inang, itu kantor Abang Monang. Kantor anakmu si Sahat di Pertamina.

Duh, serius neh, aku terkadang kagum sama diriku. Bayangin, belum jam lima pagi aku udah telepon-teleponan sama mertua tentang masalah nggak penting banget. Udah gitu suka nggak nyambung begini, lagi! Tapi masalahnya aku masih penasaran dari mana Madam Mertua bisa mendapatkan info top secret soal hari suburku?!!

Mertua: Ah, sama sadza, kan! Dua-duanya anakku. (Tuh, nggak nyambung lagi, kan? Sabaaaar, sabaaarrrr...)

Aku: Trus, dari mana Inang tahu hari ini hari suburku?

Mertua: Tentu sadza dari klenderku. Bagaimana sih kau ini? Dari tadi itu sadza yang kautanya-tanya. Mutar-mutar kek bajaj mabok kau, Minar. Heh, nanti antar sangsangmu yang kaumasak itu ke rumah, ya. Mau kucicip. Zangan-zangan kurang garam atau apa.

Aku: (mengabaikan kalimat terakhirnya soal sangsang) Soalnya aku penasaran. Nanti aku datang ke rumah Inang deh. Aku mau lihat kalender itu.

Mertua: Boleh. Datang sadza, bawa sangsangmu itu. Tapi tak boleh kauambil klenderku itu ya. Cuma satu aku punya. Banyak catatannya di situ. Tapi klok kau suka gambarnya nanti sih, boleh sadza kauminta kok, asal kaubawa gantinya. Nanti kupindahkan dulu catatanku ke situ ya, supaya aku tetap bisa tahu kapan hari suburmu.

Aku: Loh, maksudnya Inang tahu hari suburku dari kalender itu atau dari catatan Inang di kalender itu sih?

Mertuaku ketawa keras dan panjang. Tawa khas Batak yang bisa merontokkan gunung dan gigi dan nyali dan bulu badan itu. Setelah puas ketawa dia berkata, "Minar, Minar, bodoh kali kau ini bah! Ya tentu sadza dari catatanku di klender itu... lagi pula mana ada klender hari subur sih? Amang oi, Amang otoni ho*..." (*Ya ampun, bodoh kali kau!)

Aku mangkel dan malu dan jengkel dan merasa bodoh betulan dan mangkel lagi dan malu lagi begitu terus berulang-ulang... Duh, bisa-bisanya nggak nangkep fakta paling sederhana ini hanya gara-gara akal sehatku udah abis dilahap api marah dan dendam. Hhhhhhh... toloooooooolllllllll!!!! Tapi terus aku sabar-sabarin diri, karena info yang aku dapat toh belum lengkap.

Aku: Terus, dari mana Inang dapat catatan itu? (Awas kalo dari Sahat, kucekik dia! Jangan-jangan selama ini dia berlagak nggak hafal dan nggak tahu karena takut dicurigai? Hmmmm... *Prasangka dan curiga mode on*)

Mertua: Oh, maksudmu, dari mana aku bisa tahu, begitu? (ck ck ck, kadang-kadang kalau niat mertuaku bisa cepat tanggap juga!)

Aku: Ya, betul.

Mertua: Loh, waktu kita ke dokter kandunganmu itu, aku kan ikut mensatat, Minar!

Aku: Haaaaaaaaaahhhhhhhhhh????!!! Apa katanyaaaaaaa???? (tapi cuma dalam hati sadza aku sanggup bilang begini!!!!)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro