Di Bawah Rembulan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari kesebelas, bulan sebelas.


Radio di ruang makan mengalunkan musik dari negara nun jauh di Tenggara sana.


Udara terasa berat
karena asmara sesakkan dada
ketika cinta terbentur dinding
terbentur dinding


"Bukan salahku ... dia yang ngambek sendiri!"

"Logisnya tidak ada manusia yang bisa marah tanpa alasan, Lanfan."

Teguran sepupuku itu tidak bisa kubantah lagi tetapi emosi yang sudah terlanjur naik ke ubun-ubun membuatku tak mau mengalah. Dengan cepat aku menyambar kembali benda penyebab keributan dari tangan sepupuku.

"Baiklah ... kalau ini kubetulkan, kalian tidak akan protes lagi, kan?"

Lalu aku menghentakkan langkah meninggalkan ruangan.


***ooo000ooo***


Bagiku permasalahan sudah dimulai sedari pagi. Memaksakan diri tetap hadir sebagai pembimbing Si Bayi Besar padahal kepala ku berdenyut sejak bangun tidur, membuat mood-ku berantakan. Perutku lapar tetapi masakan pagi itu membuatku tidak terlalu berselera mengambil jatah sarapan.

Dalam kondisi begitu, melihat wajah cengengesannya saja sudah cukup untuk membuat emosiku naik. Wajah tanpa beban, seolah baginya tidak ada hal di dunia ini yang tidak menyenangkan.

"Hari ini Guru sedang tidak ada materi untukku, sebagai gantinya aku diizinkan memilih beberapa kegiatan fisik yang ada untuk mengisi waktu luang," jelasnya riang.

"LAGI?!" sergahku, lebih kencang dari biasanya.

"Mana yang ingin kau lakukan, Lanfan?" tanyanya santai, sepertinya memang tidak menyadari kekacauan moodku sama sekali.

"Aku tak peduli," gumamku acuh.

"Kalau begitu bagaimana kalau membantu pekerjaan Bibi Koki, di dapur?" tawarnya. "Kudengar anak magang yang seharusnya membantu menguleni adonan roti hari ini tidak datang."

"Terserah kau saja."

Biasanya bertemu Bibi Koki membuat moodku membaik. Hari ini aku tidak merasakan itu.

"Tuan Lui!" sapa Bibi Koki dengan wajah semringah begitu melihat kami menginjakkan kaki di dapur. Sepertinya dia senang ada datang untuk membantunya hari ini.

"Nona Lanfan juga ikut membantu?" tanya Bibi Koki begitu melihatku—agak terlambat, gara-gara penglihatannya terhalang oleh badan Si Bayi Besar.

"Tidak," tegasku. "Aku tunggu di ruang makan saja."

"Kalau begitu kita semua minum teh saja dulu, kebetulan bahan untuk roti hari ini masih belum datang semua."

"Ide bagus!" sambut Si Bayi Besar, tak kalah riang.

Aku tidak sempat menolak karena baik Bibi Koki maupun Si Bayi Besar sudah ikut berjalan bersamaku ke meja tempat kami akan duduk bersama.

"Silahkan ini gelas anda, Tuan Lui!" Bibi Koki menyodorkan sebuah cangkir keramik berwarna cokelat dengan gambar moncong Teddy Bear di salah satu sisinya.

Biasanya aku akan tertawa melihat pemandangan kontras lelaki dewasa dengan cangkir besar yang kekanak-kanakan seperti itu. Entah mengapa hari ini melihat Si Bayi Besar menuangkan teh ke cangkir itu dengan santai saja sudah membuatku kesal.

"Cocok sekali," gumamku sarkas.

"Trims," jawabnya dengan cengiran lebar. Tumpul seperti biasa.

"Tapi tidak seperti sesuatu yang bakal kau beli sendiri, pasti hadiah dari seseorang?"

"Iya, betul!" Dia masih menjawab dengan tenang seraya menuangkan seduhan teh dari poci ke cangkirnya.

"Perempuan?" tuduhku tanpa ampun.

Kali ini dia tidak menjawab, hanya memunculkan seulas senyum tipis dengan bibirnya.

"Nona Lanfan," tegur Bibi Koki. "Tidak baik mengorek-ngorek masa lalu orang lain seperti itu!"

Aku hanya membuang wajah sebagai tanggapanku pada nasehat Bibi Koki.

Denyut di kepalaku belum membaik, kali ini otot sekitar perutku ikut berulah. Sepiring kue-kue manis dan gurih untuk teman minum teh yang biasanya sangat kusukai kali ini hanya kupandangi selagi jumlahnya berkurang satu-persatu disantap yang lain. Tegukan hangat dan manis teh madu di cangkirku tidak lagi membantu.

Beruntung bahan roti yang ditunggu Bibi Koki segera datang. Kedua orang itu bergegas ke dapur untuk mulai mengerjakan bahan makan malam kami. Meninggalkan aku sendiri dalam damai dengan setengah poci teh, sepiring kecil madu dan setoples keripik pedas.

Kepalaku masih berdenyut, nyeri di perut juga belum hilang, tetapi setidaknya hal yang membuatku kesal tidak lagi bertambah.

Sayangnya kedamaian yang kurasakan tidak terlalu lama. Sejumlah bocah belasan tahun berlarian masuk ke ruang makan sembari bersenda-gurau. Sangat berisik.

Aku masih mencoba mengacuhkan keberadaan mereka dengan berusaha berkonsentrasi pada cangkir tehku sendiri.

"Ah, Bibi Lanfan!" seru salah satu dari mereka yang paling muda, sukses menyentil urat emosiku.

Memang benar bila dilihat dari susunan silsilah, posisinya bisa dikatakan sebagai keponakanku. Namun hubungan kami cukup jauh hingga bila dilihat dari silsilah yang lain, dia juga masih bisa kupanggil sebagai adik sepupu. Umur kami juga tidak terpaut terlalu jauh.

"Bibi Lanfan sedang apa?"

Aku sedang menari, bocah sableng.

Sembari mempertanyakan apakah kedua matanya berfungsi dengan normal, aku mencoba untuk tidak menyuarakan amarahku padanya. Mengunyah keripik pedas dengan brutal adalah satu-satunya pelampiasanku saat itu.

"Keripiknya kelihatan enak ... Aku minta, ya!"

Apa yang dia katakan itu bukan permohonan izin karena dia langsung menyambar toples keripikku begitu saja. Amarahku memuncak, toples keripik itu kurebut kembali dengan cepat.

Mungkin agak terlalu cepat karena aku jadi tidak bisa mengerem laju siku lenganku. Akibatnya... .

Duk! Prang!!!

Kami semua terdiam memandang cangkir beruang Si Bayi Besar pecah membentur lantai. Seharusnya aku masih bisa menangkap cangkir itu sebelum berkeping-keping. Sayangnya saat itu aku tidak ingin mengorbankan toples keripikku.

Para bocah itu mencicit panik sembari menuding menyalahkan, ke arahku dan bocah yang termuda. Lalu mereka buru-buru kabur setelah ucapan maaf singkat yang salah alamat. Melupakan tujuan awal mereka datang tadi.

Kukira Si Bayi Besar akan datang mendengar keributan tadi, tetapi sepertinya kesibukan di dapur terlalu menyita perhatiannya.

Entah apa yang kupikirkan, aku mengumpulkan pecahan cangkir itu menjadi satu lalu membuangnya bersama saputanganku ke tong kosong di depan ruang makan.

Hari sudah sore ketika aroma sedap adonan tepung gandum yang sedang dipanggang menguar di udara. Biasanya aroma semcam itu cukup untuk mengundangku mendatangi dapur untuk minta secuil camilan pada Bibi Koki. Ditambah lagi asisten koki yang lain juga menyiapkan sup dan daging panggang yang menebarkan harum lemak dan rempah yang cocok disantap di malam yang dingin.

Saat ini aku lebih ingin kembali ke tempat tidurku dan meringkuk di balik selimut. Mungkin aku bisa melupakan nyeriku dengan tidur. Namun dengan tugas sebagai pengawas—walau tidak kukerjakan dengan baik, aku hanya bisa bersabar dengan menelungkupkan wajah pada meja makan, berbantalkan lenganku sendiri.

"Lanfan," panggil Si Bayi Besar dari jendela dapur.

Aku pura-pura tidak mendengarnya.

"Tehmu pasti sudah habis sekarang. Kau mau tambah lagi?" tawarnya riang.

Aku tidak berminat.

Tanpa menghiraukan keacuhanku, Si Bayi Besar melangkah mendekat bersama sebuah poci mungil yang mengepulkan uap panas.

"Aku baru saja mencoba menyeduh tamarin, curcuma dan gula kelapa. Kata Bibi Koki bagus untuk kondisimu saat ini, kau mau coba?" tawarnya lagi.

"Kau sendiri saja yang minum!" jawabku ketus.

Dia tertawa kecil lalu menanggapi, "Aku tidak bisa minum yang semanis ini, Lanfan ... Lho, cangkirku mana?"

Sial! Aku lupa sama sekali soal cangkir keparatnya itu. Mungkin sebaiknya kukatakan saja apa yang terjadi?

"Siapa yang membuang pecah belah ke tong air?"

Aku bangkit berdiri—dan membuat denyutan di kepalaku makin menjadi-jadi karena gerakan mendadak. Sepupuku berdiri di ambang pintu dengan membawa saputanganku berikut isi pecahan cangkir berwarna cokelat.

"Apa kalian tidak tahu bahwa tong air tidak boleh dicemari dengan benda asing walau airnya bukan untuk diminum?"

"T-tapi tong itu kosong waktu aku... ."

Aku buru-buru menutup mulutku sendiri.

"Lanfan," Si Bayi Besar sampai tadi masih cengengesan memanggil namaku. "Yang terbungkus saputanganmu itu, pecahan cangkirku?" tanyanya dengan nada serius.

"Cangkir jelek itu?" cemoohku tanpa mempedulikan pandangan mencela dari Bibi Koki yang baru saja muncul. "Tadi pecah, jadi kusingkirkan sebelum serpihannya melukai orang lewat."

"Kenapa tidak segera kau katakan padaku supaya bisa kubereskan sendiri, Lanfan?"

"Kenapa aku harus repot-repot memberitahu padamu soal pecahan konyol ini?" aku balik bertanya dengan nada tinggi.

Biasanya Si Bayi Besar akan menghela napas, lalu meminta maaf demi untuk membuat suasana tenang kembali, walau apa yang terjadi bukan kesalahannya. Kali ini dia hanya diam lalu melangkah pergi meninggalkan ruang makan.

"Lanfan... ." Sepupuku tidak perlu meneruskan kalimatnya, aku tahu dia mengecam tindakanku tadi.

Namun aku terlalu kesal dan keras kepala untuk meminta maaf sekarang. Apalagi kupikir setidaknya aku butuh sesuatu untuk kuberikan padanya saat minta maaf nanti. Karena itu aku mengambil pecahan cangkir dari tangan sepupuku.


***ooo000ooo***


Tanganku cukup terlatih untuk menulis kaligrafi karena harus sering menorehkan huruf dan mantra tetapi ketrampilan yang kumiliki tidak cukup untuk kegiatan kerajinan tangan, seperti: menjahit atau membuat pajangan. Dengan putus asa kuputar alas kayu tempat aku sedari tadi mencoba menyatukan kembali pecahan cangkir cokelat.

Percuma, keluhku. Dilihat dari sisi manapun cangkir itu sudah tidak bisa dikatakan sukses diperbaiki. Sambungan antar pecahannya terlihat jelas. Pegangannya hilang entah ke mana—mungkin terjatuh sewaktu kubawa tadi. Salah satu sisi bibir cangkir menggelembung karena aku terlalu banyak membubuhkan bahan perekat di situ.

Aku tidak mungkin bisa minta maaf padanya dengan rongsokan mengerikan di tanganku itu. Kuputuskan untuk menyingkirkan benda itu selamanya. Besok akan kutanyakan pada Bibi Koki tempat membeli cangkir aneh seperti itu lagi.

Aku baru saja melangkah meninggalkan lorong tempat kamarku berada ketika merasakan tubrukan dengan benda besar. Tidak terlalu kencang tetapi cukup untuk membuat rongsokan di tanganku terpental. Benda besar itu bergerak menangkap rongsokan yang nyaris pecah untuk kedua kalinya.

"Lanfan, kebetulan sekali!"

Si Bayi Besar itu lagi. Apakah dia akan melanjutkan marahnya tadi sore padaku?

"Aku mengantarkan makan malammu dan teh Curcuma yang kuseduh ulang," jelasnya riang. Menunjukkan isi nampan di tangan kiri.

"Omong-omong ini apa sih, yang kau bawa-bawa?" dia menoleh pada rongsokan di tangan kanannya—yang buru-buru kurebut kembali dan kusembunyikan di balik punggung.

"Bukan apa-apa," jawabku cepat. "Besok, kubelikan cangkir baru untuk ganti yang pecah tadi siang."

"Maaf," gumamnya pelan. "Ternyata aku memang belum bisa diandalkan sampai kau perlu membereskan pecahan cangkirnya untukku."

"...Itu sarkasme?"

"Sarkas?"

"Ya ... Seharusnya kau yang marah padaku karena aku pecahkan—walau tidak sengaja, cangkirmu. Kenapa malah kau yang minta maaf padaku?!"

"Kenapa aku harus marah padamu ... itu hanya cangkir?" Dia balik bertanya, terlihat bingung.

"Katamu itu pemberian perempuan, kaaan?" tukasku tak sabar.

"Oh, ya ... Itu dulu pemberian ibuku. Kebetulan saja terbawa. Aku berencana memberikannya pada orang lain kalau sempat membeli yang baru," jelasnya santai.

Kepalaku masih sakit, perutku juga belum pulih tetapi dengkusku perlahan berubah jadi tawa tertahan yang membuat cenut-cenut di pelipis semakin menjadi-jadi. Namun rasa kesal yang bercokol sedari siang kini terbang entah kemana.

Sayup-sayup kudengar musik masih mengalun dari arah ruang makan.


Bukalah pintu hatimu
yang selalu membeku
Agar ku lihat lagi
rembulan di wajahmu


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro