Penyebab Perang Dunia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari kelimabelas, bulan sebelas.


Siang itu aku menertawakan sebaris judul di artikel majalah yang kubaca saat menemani Si Bayi Besar di ruang belajar.

"Ada-ada aja," komentarku geli. "Seorang istri menceraikan suami karena pembelian tak terencana, katanya ... Ooh, suaminya menjual tanah mereka untuk membeli ... Sebuah mobil sport?!"

Aku tergelak. Tidak heran istrinya marah besar bila harta keluarga digunakan untuk membeli sesuatu yang tidak penting.

"Tapi judulnya berlebihan banget. Ini sampai ditulis besar-besar: Perang Dunia Akibat Belanja Tak Terencana." Aku kembali berkomentar sembari terpingkal-pingkal.

"Itu beneran pernah terjadi, lho," celetuk Si Bayi Besar kalem.

Melihatku yang hanya menyipitkan mata dengan pandangan curiga padanya, dia tertawa.

"Sungguh!" Dia menambahkan di sela-sela tawanya. "Ingat kisah tentang seorang Ratu muda kelahiran negara asalku?"

Aku pernah baca. Ratu yang terlalu muda dan polos, dimanfaatkan habis-habisan oleh orang-orang di sekelilingnya. Akibat pengeluaran acara-acara mewah yang boros, kerajaannya berhutang demikian besar sampai meletuskan gerakan revolusi.

"Konon," dia meneruskan. "Sang Ratu pernah ditawari perhiasan dari berlian yang sedemikian mahalnya hingga setara dengan harga 2 unit kapal perang pada zamannya."

Aku terkesiap. Kapal perang adalah bagian penting bagi militer suatu kerajaan. Perbedaan kualitas dan jumlah unit saja bisa menentukan arah kemenangan.

"Sepolos-polosnya beliau, tidak mungkin membelanjakan uang kerajaan untuk hal seabsurd itu. Sayangnya salah satu perempuan bangsawan rendah yang sering mencatut nama beliau, memanfaatkan situasi dan membeli perhiasan tersebut untuk dirinya sendiri... ."

Ah, klasik orang rendahan di kalangan atas.

"...Tentu saja surat tagihan yang dikirimkan pada kerajaan tidak dibayar karena dianggap usaha penipuan. Hutangnya terus membengkak dan mencapai harga 3 unit kapal perang saat akhirnya harus dibayarkan."

Sejujurnya aku sempat memikirkan bagaimana cara si pedagang menagihkan pembelian yang barangnya tidak terbukti ada dalam inventaris kerajaan.

"Akibatnya...," lelaki itu melanjutkan dengan penekanan dan mengambil antara yang panjang, membuatku penasaran apa yang terjadi selanjutnya.

"...Negara mereka tidak mampu mengirimkan bala bantuan di saat situasi genting, tentara mereka kalah perang. Kerajaan lain yang saat itu sedang menanjak posisinya menggunakan kesempatan alpanya pasukan yang paling berpengaruh dan menyerang banyak negara kecil di sekitarnya."

Keningku berkerut. Selalu saja ada pihak yang memanfaatkan situasi di tengah kericuhan.

"Negara lain yang beraliansi dengan negara-negara kecil tersebut tentu saja tidak bisa membiarkan begitu saja. Mereka pun menyerang balik hingga mengobarkan perang besar yang melibatkan hampir semua kerajaan berpengaruh di Barat."

Lelaki itu mengakhiri ceritanya seraya mengangkat cangkir kopinya dengan khidmad.

Aku membisu, terbawa suasana. Memikirkan bagaimana perilaku egois seseorang bisa berpengaruh sedemikian besar pada nasib ribuan bahkan jutaan orang lain. Sejarah bangsaku sendiri cukup berwarna oleh kelakuan para petinggi kerajaan.

Tanpa sepengetahuanku, dari balik cangkir lelaki itu mendengkuskan tawa tanpa suara melalui hidungnya. Beberapa detik kemudan, aku akhirnya menyadari hal penting yang terlewatkan dari ceritanya.

"Tunggu!" protesku. "Waktunya terpaut jauh!!! Zaman saat Ratu itu masih hidup dengan Perang Besar di Bagian Barat berbeda!"

Lelaki itu makin tergelak. Membuatku ingin menarik rambutku sendiri saking kesalnya. Bukan hanya dia sudah mempermaikan aku. Aku kesal karena sama sekali tidak menyadari kapan dia mulai menyelipkan informasi yang salah ketika bercerita.

Harus kuakui, dia memang ahli mengatur kalimat dan intonasi hingga aku percaya penuh pada ceritanya. Ditambah dengan sedikit charm dari wajah tampan bawaan dari lahirnya, dia bisa menjadi penipu ulung.

Saat aku menetapkan diri untuk melindungi semua perempuan—dan mungkin lelaki juga, dari makhluk yang berpotensi jadi penggoda ini, yang bersangkutan sedang asyik menikmati kopi dari cangkirnya, seperti tanpa dosa.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro