Continuation

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang terjadi setelah Putri dalam dongeng terbangun dari kutukan tidurnya?"

Aneh buatku mendengar Rene bertanya saat kami yang masih bocah, berkumpul di rumahnya untuk mengisi waktu hingga hujan badai reda. Karena biasanya dia tak pernah tertarik pada cerita dongeng, lebih suka cerita tentang orang-orang pintar.

"Sang Putri yang terbangun oleh kecupan Pangeran, dibawa serta ke kerajaannya," jelas Bibi Rosalie, ibu Rene, meneruskan ceritanya.

"Kemudian mereka menikah dan hidup bahagia, selama-lamanya!" aku menambahkan dengan penuh semangat.

"Betul sekali, Sophie!"

Aku pun sebetulnya agak bosan dengan dongeng, tetapi mendapat tepukan lembut di kepala dari Bibi Rosalie sangat menyenangkan.

"Bahagia selama-lamanya itu seperti apa?"

Rene memang agak unik. Dia sering menanyakan hal-hal yang membuat orang dewasa bingung. Berkali-kali kami mendapat masalah karenanya. Namun Bibi Rosalie selalu berusaha untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh Rene.

"Sophie ...."

Waktu itu Bibi menjawab apa, ya?

"Sophiiie!"

Kalau tidak salah ....

"SOPHIE DAWSON!!!"

"Siap! Sophie Dawson hadir!!!" seruku, nyaris melompat dari kursi, hanya untuk melihat instruktur untuk pelajaran teori menatap galak padaku.

Aaah, gawat betul! Bisa-bisanya aku tertidur, padahal baru juga jam pelajaran ketiga. Beberapa siswa lain cekikikan di belakang, menambah alasan untuk membuat wajahku memanas. Kalau tadi sampai mengigau, mungkin aku sudah lompat keluar jendela kelas saking malunya.

Instruktur yang mengajar kali ini terkenal akan kegalakannya, pula. Aku sudah siap-siap mendapatkan hukuman, tetapi omelan pun tidak kudapat. Malah pandangan galaknya berubah menjadi tatapan khawatir.

"Apa kau yakin bisa mengikuti pelajaranku, mungkin efek tembakan mantra nyasar beberapa hari lalu masih terasa?" tanya instruktur itu, jauh lebih lembut dari biasanya.

"Uhh ... ya," jawabku, agak mengambang. "Maksudku ... Aku bisa mengikuti pelajaran! Hanya kurang tidur saja."

"Kalau begitu ... Rene Yates, antarkan temanmu ke ruang medis!"

"Tapi, aku baik-baik saja, Instruktur!" protesku, bersikeras.

"Sepertinya Putri Tidur kita masih belum lenyap betul kutukannya!" sahut seseorang. Diikuti suara tawa yang lain.

Itu Louis D'Russeau. Dia selalu menemukan cara untuk berkomentar yang membuat orang sebal.

"Harap tenang!"

Aku baru akan membalas komentar bocah satu itu, tetapi Rene keburu menggamit lenganku.

"Ayo!" ujar Rene seraya menarikku keluar kelas.

"Sebentar, Rene!" Aku akhirnya bisa melepaskan diri dari genggamannya. "Ayo itu ... ke mana?"

"Menyembuhkan kutukanmu."

Kalau aku tidak mengenal Rene, aku pasti sudah menonjoknya.

"Bibi yang cerita," jelasnya. "Beberapa hari ini kau sulit tidur, kan?"

Aku ingin membantah dan memberinya puluhan alasan lain, tetapi Rene hanya diam menunggu. Kalau sudah begitu, apapun yang kulakukan untuk berkilah, hanya akan mentah. Akhirnya kuputuskan untuk mengangguk saja.

"Kalau saja ibuku masih ada, beliau pasti bisa membantu ...," gumam Rene, pelan. Wajahnya sendu.

"Nggak ... Rene," aku cepat-cepat mengibaskan tangan. "Ibumu MEMANG masih ada. Bibi hanya PERGI beberapa hari, ke desa kelahirannya, karena pamanmu sakit encok, kan?"

Rene memiringkan kepalanya lalu, "Bukankah memang itu yang kukatakan?"

"Nggak! Ucapanmu bisa membuat orang salah paham!!!" protesku.

"Yah ...." Dia mengangkat bahu. "Cuma perbedaan kecil." Rene meneruskan melangkah.

"Hei, dengarkan dulu kata-kataku!"

"Daripada itu," Rene melanjutkan, mengacuhkan wajah berangku "Karena ibuku sedang tidak ada di rumah dan instruktur medis juga tak banyak membantu, aku coba minta tolong ke orang lain."

"Memangnya kau kenal dengan ahli mantra lain, selain ibumu?"

"Aku? Tidak ada ... tapi dia yang kenal."

Rene membuka pintu ruangan medis. Di sana sudah menunggu instruktur medis yang biasa, bocah menyebalkan yang satu lagi, dan seorang lelaki dengan jubah penyihir megah. Eh, mungkin megah bukan kata yang tepat, mewah? Meriah? Pokoknya jubahnya dijahit dengan pola yang tidak biasa dan banyak ditambahi sulaman dan jahitan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Halo, kau pasti Kadet Sophie Dawson," sapa penyihir itu seraya tersenyum ramah. Kunciran rambut hitam yang tersampir di pundaknya berayun setiap kali dia bergerak. Dan untuk ukuran seorang penyihir, dia sangat banyak bergerak.

"Aku Shuei Choyun," lanjutnya sembari membungkuk dalam, sebelum kemudian menjabat erat tanganku.

Tunggu! Shuei Choyun itu ... Penyihir Tinggi Kerajaan, kan? Orang yang mengabdi langsung pada Raja? Mengapa beliau bisa sampai di sini?!

Berbagai pertanyaan yang timbul dalam benakku nyaris sekaligus itu langsung terjawab oleh kalimat Penyihir Shuei selanjutnya.

"Putriku sudah cerita pada apa yang terjadi padamu. Peluru mantra kelas rendah memang tidak akan sampai mencabut nyawa, tapi kalau tidak ditangani dengan serius, kesehatanmu bisa terpengaruh."

Aku melirik pada Kadet Shuei Marin, seharusnya bocah angkuh yang ini tidak akan ikut campur urusan kadet lain. Kecuali ... Pandanganku beralih ke Rene. Orang yang pernah menjadi sobat karibku ini, pastilah pelaku sesungguhnya!

"Aku minta tolong pada Kadet Shuei Marin untuk menanyakan pada ayahnya. Tak kusangka beliau langsung datang sendiri kemari," Rene menjelaskan.

Santai betul. Apa dia tidak sadar berbagai emosi yang sedang berkecamuk dalam benak orang yang pernah menjadi sobat karibnya ini?

"Nah, sekarang ... biar kulihat dulu!" Penyihir Shuei menarik tanganku yang tadi dijabatnya, lalu menekan-nekan bagian pergelangan, seperti sedang memeriksa nadi. "Ah, memang masih ada sisa residu mantra dalam dirimu. Biar kubersihkan dulu, ya?"

Kemudian, tanpa peringatan, tangan kiri Penyihir Shuei ditancapkan langsung ke dalam perutku.

"H-Huhhh?" lenguhku. Tak mampu berkata apa-apa, karena terlalu terkejut.

Tidak sakit, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu menembus kulit dan bergerak seperti mencari sesuatu. Aneh dan tak menyenangkan. Juga ... terasa menjijikkan.

Penyihir Shuei tersenyum, "Ketemu!" serunya. Lalu mencabut tangannya dari perutku, bersama dengan beberapa centimeter rantai bercahaya.

"Nah, ini dia residu mantra yang membuatmu sulit tidur. Memang lemah, tetapi bila dibiarkan, kau akan mengalami mimpi buruk selama beberapa minggu," beliau menjelaskan sembari memasukkan rantai cahaya tadi ke dalam toples kaca.

"Terimakasih," gumamku. Setelah apa pun itu tercabut, rasanya tubuhku memang jauh lebih segar.

Ketika kuceritakan pada Bibi Rosalie, berhari-hari kemudian, rasa jijik yang timbul saat Penyihir Shuei mencabut mantranya, timbul karena mantranya tak mau diambil dari tubuhku, tetapi justru karena bereaksi itulah mantra itu bisa segera ditemukan dan dicabut.

Setelah beristirahat di ruang medis, hari itu aku langsung diizinkan pulang. Menurut Penyihir Shuei, tubuhku harus dipulihkan dulu dengan cara banyak tidur. Kami-kami yang hanya rakyat jelata hanya bisa mematuhi sarannya.

"Setelah putri tidur terbangun dari kutukan tidurnya, bukannya menikah dengan pangeran, malah perutnya diobok-obok orang asing karena mantranya masih nyisa, lalu disuruh banyak tidur lagi," keluhku pada Rene yang datang menjenguk malam itu.

"Tak apa, Sophie," hibur Rene dengan nada datarnya yang biasa. "Ibu juga pernah bilang, Putri Tidur setelah menikah dengan pangerannya, berjuang keras supaya bisa mendapatkan kembali hidupnya yang hilang akibat tertidur selama seratus tahun. Kau hanya perlu berjuang untuk tiga hari ... jadi menurutku, kau lebih mending."

Aku sungguh tak tahu harus merasa senang atau melemparkan bantal ke wajah sobat karibku saat itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro