Watcher

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini bayaran di muka, sisanya baru akan kau dapatkan setelah pekerjaanmu selesai!"

Pintu tertutup. Lelaki yang terlihat berusia sekitar awal 30-an itu menatap kantong kain kumal di telapak tangannya. Sekeping perak dan beberapa keping perunggu, hanya cukup untuk biaya makan selama seminggu. Tak ada pilihan lain, dia segera melangkahkan kaki menuju tempat kerjanya kali ini.

Dengan postur biasa-biasa saja—cenderung kurus kalau dibandingkan dengan tinggi badannya, dan tak ada keahlian istimewa, biaya hidup dia dapatkan dari kerja serabutan. Hal-hal remeh tetapi butuh tenaga fisik, seperti: membersihkan saluran air kota, memasang batu jalan, membantu peternak menggembalakan domba saat penggembala yang biasa berhalangan, atau membawakan barang pesanan rumah besar yang membutuhkan satu gerobak untuk sekali jalan saja.

Kali ini pekerjaannya terbilang ringan. Mengawasi seorang kadet. Bukan hal luar biasa seperti mengikuti diam-diam, atau mengumpulkan data seperti mata-mata begitu. Hanya mengawasi saja, mulai dari bel sembilan pagi, hingga bel lima sore. Dapat makan siang, pula—walau hanya sebongkah roti, beberapa lembar daging asin tipis, dan sekerat keju keras.

Saat pagi, dia hanya perlu duduk menggelar dagangan di plaza, dekat gerbang masuk Akademi Militer. Barang-barang yang dipajang, sengaja dipilih yang tak terlalu menarik, supaya tak cepat habis terjual. Walau demikian, ada saja orang yang membeli—kebanyakan mereka pelancong dari luar kota yang menginginkan cinderamata murah. Uang penjualan boleh dia kantongi sendiri, menambah nilai plus dari pekerjaan kali ini.

"Marin!" seru pemuda belasan tahun, berseragam kadet akademi, dengan ceria. Rambut cokelat terangnya, bergelombang, berayun-ayun seirama dengan lompatan-lompatan kecil yang sesekali dia lakukan saat menggunakan pegangan jembatan sebagai pijakan. "Bagaimana kalau kita berlomba, siapa yang sampai lebih dulu di kelas, ditraktir es krim pulang nanti?"

"... tidak," jawab gadis berambut hitam yang berjalan biasa, beberapa langkah di belakangnya. "Terutama kalau lawannya kau, Lou."

"Ah, kamu tidak seru!" keluh pemuda yang dipanggil Lou sembari melompat turun dari pijakannya. Mereka berdua melintas di tengah plaza, melewati beberapa penjual kaki lima, sebelum kemudian kembali menyeberangi jembatan yang menghubungkan plaza dengan gerbang masuk akademi.

Tak seberapa lama, beberapa orang kadet kembali melintasi. Berduyun-duyun mereka menuju gerbang masuk akademi. Semua terlihat muda dan penuh semangat, sungguh berbeda dengan lelaki itu. Dengan getir dia menggaruk rambut merahnya yang dipotong cepak untuk menghemat biaya mandi. Dia pernah terdaftar jadi kadet juga, hanya saja tak sukses, bahkan terpaksa meninggalkan akademi karena gagal mendapat beasiswa.

"CEPAT! CEPAT, RENE! KITA TERLAMBAAAT!!!" seru seorang gadis. Seragam kadetnya terlihat berantakan, karena kancing yang salah pasang dan dasi yang masih belu disimpul.

"Padahal sudah kugedor berkali-kali," keluh pemuda yang berlari kecil, menyusul di belakang gadis itu.

Setelah itu, tak ada lagi kadet berseragam yang melintas. Lelaki itu pun membereskan dagangannya tepat waktu bel pagi berbunyi sepuluh kali.

Siang hari, setelah makan, dia mengganti pakaian lusuhnya dengan seragam staf rendah akademi. Tugasnya hanya menyapu daun-daun kering di sekitar kantin. Selain dia masih ada beberapa tukang sapu lagi, sehingga dia tak mencolok. Kesempatan itu digunakan untuk sesekali mencuri pandang para kadet yang menikmati makan siang mereka di kursi dan meja kantin.

"SALAH TIGAAA!!!" pekik gadis yang sama dengan yang nyaris terlambat pagi tadi.

"Tidak, kalau kau memang menjawab seperti itu, maka di nomor ini kau hanya mendapatkan setengah nilai," jelas pemuda yang bersamanya.

"Kau menjawab apa, Marin?" tanya gadis itu, mencoba melupakan kegagalannya tadi.

Yang ditanya hanya menunjuk pada satu sisi buku yang dibiarkan terbuka.

"Ah, aku juga jawab itu!" seru Lou ceria, dengan pipi bernoda krim.

Gadis yang bertanya tadi membenamkan wajah ke telapak tangan mendengar jawaban Lou. Pemuda yang duduk di sebelahnya menepuk pundak gadis itu, lalu melanjutkan makan.

Bel sore berdentang lima kali. Kali ini lelaki itu sudah kembali mengenakan baju lusuhnya, dengan sebatang galah panjang di tangan, dia berkeliling di sekitar plaza dan jembatan-jembatan yang terhubung. Menekan tombol untuk mengaktifkan batu-batu sihir yang digunakan sebagai lampu jalan. Biasanya kerja sambilan ini mengharuskan pekerja berkeliling ke segala penjuru kota, tetapi kali ini dia hanya perlu menangani area plaza saja.

"Ujian besok, pasti bakal lebih baik! Lihat saja ... malam nanti bakal kujejalkan semua hapalan itu dalam sekali duduk!"

"Sophie," pemuda yang bersamanya memanggil setelah satu helaan napas yang sangat panjang. "Daripada memaksa begadang lalu telat bangun, mending kau tidur cepat saja. Toh selama ini kau sudah belajar banyak, kan?"

"Aku setuju dengan pendapat itu," celetuk Marin.

"Tapi ... kalau aku tidak belajar lebih giat lagi, Ibu dan Kakek ...."

"HAHAHA! Kamu bodoh, ya?" ejek Lou, pedas. "Ngapain meduliin pendapat ibu-ibu dan kakek-kakek yang nggak pernah sekolah di akademi?"

Gadis yang dikata-katai terlihat hampir meledak.

"Kau bisa minta saran pada ayahmu," pemuda yang bernama Rene kembali memberi saran. "Beda dengan ayahku yang pendatang, Paman alumni akademi sini, kan?"

"Nah, itu baru namanya memakai otak!"

Gadis bernama Sophie tertunduk. Tidak terlihat menyetujui saran itu tetapi melihat bagaimana dia juga tidak membantah, mungkin nanti dia akan menemui ayahnya untuk bertanya tentang ujian tertulis yang akan dia hadapi besok.

"Itu saja yang kau laporkan?" tanya orang yang memberinya pekerjaan.

"Betul sekali, Tuan. Hanya itu yang bisa saya laporkan."

"Bagus. Ini sisa bayaranmu!"

Sebuah kantong mungil dengan suara gemerincing mendarat di telapak tangannya. Ketika lelaki itu mengintip isinya, dia terbelalak. Jumlah koin yang sama dengan bayarannya di awal pekerjaan, hanya saja koin-koin perunggu digantikan oleh koin perak, sedangkan koin perak digantikan oleh sekeping koin emas. Cukup untuk mengganti kasur lapuknya dengan matras baru dan masih ada sisa untuk makan enak selama beberapa minggu ke depan.

"Jangan dihambur-hamburkan!"

"Tentu saja, Tuan. Terimakasih banyak!" lelaki itu membungkuk hormat berkali –kali, sampai kepalanya agak pening.

Malamnya lelaki itu pulang ke rumahnya di pinggiran kota, dengan langkah ringan. Mungkin dia akan menyisihkan uang untuk memperbaiki atap bangunan bekas lumbung yang dia modifikasi sendiri jadi rumah tinggal itu.

Ketika mengetahui alasannya membeli lumbung tua tak terpakai, para tetangga mencibirnya. Awalnya dia cukup terpukul dengan reaksi negatif yang diterima. Namun sekarang dia sudah tak peduli, toh uangnya memang hanya cukup untuk itu. Lagipula, dibandingkan dengan saat pertama dia tinggali, rumah itu sekarang sudah jauh lebih nyaman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro