Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit biru terlihat cerah dengan awan yang berarak menghiasinya, sayangnya Gavin sama sekali tak bisa menikmati pemandangan itu saat ini. Dia tengah menyetir menuju kediaman Thomas Willson di bagian barat Los Angeles. Salah seorang klien langganan di badan penyedia jasa detektif tempatnya bekerja. Gavin bahkan masih mengenakan pakaian yang sama, pria tua itu tak mengijinkan dia berganti baju barang sebentar. Sepertinya Thomas benar-benar dibuat kebakaran jenggot oleh istrinya.

Tak lama kemudian Gavin sampai di sebuah mansion mewah yang dibelakangnya terhampar kebun anggur, tidak heran melihat Thomas adalah petani sukses kaya raya di California ini melihat kebunnya yang luas dan tidak hanya ada di sini. Yang ada di sini hanya sebagian kecil dari hasil jerih payahnya bergelut dengan tanaman dan pupuk sejak belia. Tentu masih ada banyak lagi di wilayah lain.

Gavin mematikan mobilnya, kakinya melangkah lebar-lebar ke pintu utama. Bell ia pijit sehingga menyampaikan pesan kepada penghuni bahwa ada tamu yang datang. Tak lama kemudian seorang wanita muda berseragam pelayan membuka pintu untuknya. Wajahnya terkejut menatap Gavin sebelum kemudian berdeham singkat, mungkin ia baru sadar karena diam-diam bertindak tak sopan pada tamu.

"Selamat siang, Anda siapa dan ada keperluan apa Tuan?" tanyanya.

"Namaku Tampan, boleh aku bertemu tuan rumah?" Gavin dengan jahil mengubah namanya. Konyolnya perempuan pelayan itu percaya dengan ucapannya.

"Sebentar Tuan Tampan, aku akan memberitahu tuan Thomas," ucap si pelayan dengan pipi yang memerah malu. Baru saja hendak berbalik Gavin segera meraih tangannya hingga perempuan itu terdiam dan berbalik kembali menghadap Gavin.

"Tolong bilang jika detektif Gavin sudah datang, kau lugu atau apa? Mana mungkin namaku Tampan meskipun wajahku memang tampan, sih." Gavin terkekeh dengan ucapannya, sedangkan perempuan di depannya terlihat menghela napas kasar saat tahu pria tampan itu mempermainkannya.

"Baik, Tunggu sebentar tuan tampan— ah maksudku detektif Gavin," ejeknya lantas pergi ke dalam. Gavin hanya menggelengkan kepalanya pelan. Tingkah pelayan itu sungguh menggelikan.

Tak lama kemudian pelayan itu kembali dan menyuruhnya masuk, Gavin digiring ke sebuah ruang keluarga. Di sana sudah ada pasangan Wilson yang berpelukan di sofa panjang, di sofa lain sudah ada anak perempuan yang mengerucutkan bibirnya dan anak laki-laki berusia lima tahunan yang sibuk dengan ponselnya.

"Duduklah, Gavin." Thomas membenarkan posisi duduknya, mempersilahkan Gavin untuk duduk di depannya.

"Jadi, bagaimana kronologinya?" tanya Gavin tenang. Seolah semua sifat nyelenehnya hilang terbawa angin dan tertinggal di luar rumah.

"Begini, aku dan keluargaku akan pergi liburan, kami tentu saja sibuk berkemas dan bersiap, tapi entah bagaimana kalung itu bisa hilang dari kotak perhiasan. Padahal perhiasan yang lain masih di tempatnya, istriku tak menemukan apapun yang aneh di dalam kamarnya. Bisakah kau membantu kami mencari kalung itu? Aku yakin ada seseorang yang masuk dan mengambilnya." Thomas menjelaskan secara singkat bagaimana kejadiannya. Gavin tampak mengangguk paham.

"Siapa yang terakhir bersama Nyonya?" tanya Gavin.

"Jana, pelayan itu ada di kamar saat aku keluar membantu suamiku mengurusi putra kami," sahut Nyonya Wilson menambahkan.

Anggukan kembali Gavin berikan.

"Jam berapa kalung itu diperkirakan hilang?" tanyanya lagi.

"Sekitar jam sembilan pagi, tepatnya satu jam yang lalu."

Saat sedang serius tiba-tiba saja anak perempuan di sana menyela. "Ayah, ibu. Kapan akan berangkat? Aku sudah bosan di sini, kalian lama sekali ngobrolnya."

Thomas mendelik pada putrinya. Anak itu sungguh tak sabaran sekali. Padahal ayahnya sedang memperjuangkan posisinya sebagai suami.

"Sebentar lagi, Sayang. Gavin, aku percaya kau pasti bisa menemukan kalung itu, maaf sekali tapi aku harus segera pergi memenuhi janjiku pada anak-anak. Ku harap kau tidak keberatan jika aku titipkan rumah ini juga padamu, tidurlah di sini agar kau lebih leluasa memantau orang-orang yang ada di sini. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan, kau bisa menghubungi nomorku langsung." Thomas kembali menjelaskan dengan terburu-buru. Beruntung Gavin cukup jenius dan memiliki kecepatan menyimpan informasi untuk merekam semua ucapan pria itu sampai tamat. Tangannya ikut bergerak menuliskan itu pada notes yang selalu dia bawa saat bertugas.

"Baiklah, tapi kamar mana yang bisa aku gunakan tidur?" tanyanya. Tentu karena Thomas belum menjelaskan bagian ini.

"Kau bisa tanyakan kamar tamu pada Jana, dia satu-satunya pelayan yang tak mengambil jatah libur, ada dua lagi pegawai ku yang lain, sopir dan tukang kebun. Sopir akan mengantarku ke pantai sekarang, tapi dia akan kembali ke sini. Selebihnya akan aku kirimkan melalui pesan informasi apa saja yang kau butuhkan. Aku buru-buru," ucap Thomas. Gavin mengangguk mengerti.

Setelah itu keluarga Wilson benar-benar pergi liburan, sedangkan Gavin harus merana mengingat liburannya yang tertunda. Oh gosh! Ini bukan waktunya mengeluh. Ia melipat buku catatan yang berisi kronologi dan memasukkan itu ke dalam tas kecilnya lagi.

"Hei, kau yang bernama Jana?" tanya Gavin saat matanya tak sengaja bertemu dengan manik kelabu si gadis pelayan yang mengejeknya.

"I-iya, Aku Jana. M-mari, aku akan mengantarmu ke kamar tamu." Gavin tak banyak bereaksi, dia hanya mengikuti kemana pelayan itu membawanya.

***

Gavin membaca ulang catatan miliknya berdasarkan wawancara singkat dengan Thomas siang tadi, kini langit telah berubah warna menjadi gelap dan ia masih terdampar di kamarnya karena begitu fokus menyusun informasi yang kini ditambahkan dengan informasi yang dikirim Thomas melalui email.

Tangan kanan memegang bolpoin yang digigit sebagai bentuk keseriusannya memikirkan siapa kiranya yang lebih cocok diintrogasi lebih dulu? Dan nama Jana adalah yang pertama kali muncul di otaknya. Pasalnya berdasarkan informasi gadis itu adalah orang terakhir yang bersama sang nyonya di dalam kamar, kemungkinan besar dia pelakunya. Baiklah, Gavin akan mewawancarainya besok. Dia ingin tidur sekarang, naasnya tak sedikitpun ia merasa ngantuk. Mungkin ia harus memakan sesuatu agar lebih cepat tertidur.

Gavin akhirnya berjalan keluar menuju dapur, sebelumnya Thomas sudah membebaskan dia memakan apapun di rumah ini, dan menyuruhnya untuk tidak merasa sungkan. Jadi jangan sebut Gavin tidak sopan, ya. Dia sudah mengantongi izin dari tuan rumah. Baru saja Gavin menyalakan lampu, dia melihat seseorang berjingkat terkejut. Itu Jana.

"Sedang apa kau di dapur malam-malam?" tanya Gavin seraya mengikis jarak dengan gadis itu.

Jana berbalik dengan gelagapan. "Ah, itu ... aku hanya mengambil minum. Eh Anda sendiri mau apa ke dapur?" Gavin mengerutkan keningnya tajam, gadis itu terlihat mencurigakan.

"Aku lapar, bisa berikan aku makanan?" tanyanya santai. Entah kenapa Jana selalu terlihat kikuk dan mudah sekali terkejut. Padahal Gavin tidak berniat mengejutkannya sama sekali.

Setelah menunggu agak lama akhirnya sepiring spaghetti instant sudah terhidang di meja makan. Uh baunya harum. Gavin jadi semakin kelaparan.

"Kau mau?" tanya Gavin melihat Jana masih berdiri kaku memandanginya.

"Ah tidak, aku- aku akan pulang. Maaf sebelumnya karena tak bisa menginap." Jana terlihat tak enak karena meninggalkan tamu tuan rumah.

"Kenapa? Bukankah biasanya pelayan menginap?" tanya Gavin heran. Setahunya tuan Wilson memiliki kamar khusus pelayan dari informasi yang diberikan.

"Anu, ibu saya sakit keras, jadi saya tidak bisa meninggalkannya sendirian. Kalo begitu saya pamit pulang Tuan Gavin."

"Panggil Gavin saja, lagipula aku tidak setua itu. Namamu Jana kan?" tanya Gavin. Well,  Gavin harus bisa mendekatkan diri bukan? Mangsa akan lebih mudah ditangkap jika kita bisa lebih dekat.

"Eh? Emh b-baiklah, Gavin salam kenal. Aku Jana Vivian."

"Wah, nama yang cantik. Apa tak apa kau pulang sendiri?" Gavin baru sadar ini sudah hampir tengah malam. Bagaimana jika wanita itu dicegat orang jahat? Jangan salah paham. Gavin hanya tidak ingin tersangkanya mendapatkan masalah baru sebelum ia mendapatkan kepastian.

"Tak apa, Kasmir akan mengantarkan aku," ucap Jana. Gavin akhirnya paham dan mengangguk lega. Dia bisa makan dengan tenang sekarang.

***

Keesokan harinya Gavin menemui Jana untuk memulai wawancara. Dilihatnya gadis itu sedang memasak di dapur.

"Bisa kita bicara?" Jana kembali terkejut hingga tanpa sengaja menjatuhkan spatula di tangan. Hal itu tentu menimbulkan suara gaduh, Gavin segera mengambil spatula itu dan memberikannya pada Jana.

"Astaga! Maafkan aku, kau membuatku terkejut. Sejak kapan kau di sini?" tanya Jana seraya mengusap dadanya berharap debaran di dalam sana kembali normal.

"Ya ampun, ku rasa pikiranmu sedang tidak ada di sini. Apa kau tidak mendengar langkahku?" tanya Gavin tersenyum penuh arti.

Jana menggeleng pelan. "Aku tidak mendengar apapun." Gavin diam-diam tertawa dalam hati. Dia sebenarnya sengaja melakukan itu agar bisa menangkap pergerakan ganjil Jana jika memang gadis itu pelakunya.

"Baiklah, kau belum menjawab pertanyaan ku, bisa kita bicara?"

"Tentu, tapi aku harus menyelesaikan masakan ku dulu." Gavin hanya mengangguk dan memberikan kode jika dia akan menunggu.

Sekitar tiga puluh menit berlalu dan kini Gavin sudah duduk berhadapan dengan Jana. Tapi belum apa-apa gadis itu sudah terlihat tegang.

"Setelah aku perhatikan ternyata kau cantik juga," puji Gavin yang mengundang rona merah di pipi gadis itu. Baik, langkah pertama buat lawan bicara terbang hingga tak menyadari jika dia sedang di interogasi. Kadang perasaan bahagia bisa membuat seseorang tanpa sadar mengungkapkan apapun.

"Ah, kau pasti bercanda. Aku tidak merasa begitu," balas Jana menelan senyumannya. Oh dasar lugu. Tapi itu tak menutup kemungkinan jika dia pencurinya. Keluguan bisa diciptakan, benar? Kalau tidak mana mungkin ada aktris dan aktor.

"Baiklah, ada beberapa pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Apa kau bersedia menjawabnya dengan jujur?" Gavin memulai dengan lugas. Raut wajahnya ikut berubah menjadi serius hingga Jana merasa tak nyaman karena ditatap sedemikian rupa oleh pria tampan.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Jana yang berusaha mati-matian menahan gemetaran di tubuhnya.

"Apa saja yang kau lakukan kemarin di kamar nyonya Wilson?" tanya Gavin. Matanya tak beranjak sedikitpun dari manik kelabu Jana. Senyum jenakanya hilang tergantikan raut datar. Sialnya itu malah membuat pria itu berkali-kali lebih tampan.

"Aku hanya membantu nyonya mencari bikini kesayangannya, setelah itu aku mengemaskan baju-baju dan ketika selesai aku segera keluar." Jana menjelaskan dengan suara bergetar. Gavin menunduk dan mencatat jawaban Jana di buku catatannya. Omong-omong mereka sedang di meja makan setelah melahap sarapan.

"Apa saja yang kau lihat di kamar nyonya kemarin?" Gavin melanjutkan setelah kembali memandang Jana dengan matanya yang memicing tajam.

"Aku melihat lemari besar, koper, kasur, kotak perhiasan—"

"Ah, ya. Kotak perhiasan, apa yang kau lihat dalam kotak itu?" potong Gavin cepat.

"Ada banyak sekali perhiasan Nyonya, di sana juga ada kalung berlian yang modelnya sangat cantik, itu kalung kesayangan nyonya Wilson. Dia berencana akan memakai kalung itu di acara anniversary perusahaan tuan, sayangnya kalung itu hilang." Gavin kembali menulis dengan alis yang menekuk ke bawah.

"Siapa yang lebih dulu meninggalkan kamar?"

"Nyonya Wilson, dia keluar karena panggilan tuan. Setelah itu sekitar sepuluh menit saya ikut keluar menyusulnya." Baiklah. Gavin mulai yakin jika wanita ini memang pelakunya. Sepuluh menit adalah waktu yang cukup lama untuk mengambil kalung berlian. Apakah perempuan itu sengaja mengulur waktu? Tapi kenapa hanya berlian itu yang hilang?

"Selain kalung berlian itu, apakah di dalam kotak masih ada berlian yang lain?" tanya Gavin.

"Ada banyak sekali. Tapi nyonya hanya menyukai yang hilang itu," balas Jana. Untuk ukuran pelayan, gadis ini terlalu banyak tahu.

"Lalu saat kau meninggalkan kamar, apa ada orang lain yang masuk ke sana?"

"Tidak ada, sampai nyonya kembali masuk ke kamar dan kalung itu hilang."

Gavin mengangguk, hanya tinggal mencari barang bukti untuk menguatkan hasilnya.

***

Selepas wawancara singkat itu Gavin memutuskan untuk berkeliling rumah Thomas yang luasnya bukan main. Banyak sekali lorong dan barang-barang mahal di sana, entah berapa puluh dollar jika rumah dan seisinya ini dilelang. Gavin berdecak seraya membayangkan jika dia memiliki rumah sebesar ini, dan hanya dihuni dua orang. Pasti seram sekali, tidak. Gavin tak takut dengan hantu, dia hanya tidak suka sesuatu yang menakutkan. Kalau hantunya cantik dan berbokong sexy, mungkin Gavin akan meminangnya menjadi istri.

Saat tengah berjalan di area kamar pelayan, Gavin merasakan sesuatu yang janggal. Sepertinya ada yang tidak beres di salah satu kamar, dia sampai merinding begitu membuka pintu kamar itu, hingga kini tangannya ikut bergerak menutupi hidungnya. Bukan, jangan salah paham. Tidak ada makhluk apapun di sana, apalagi hantu seperti yang Gavin bayangkan sebelumnya. Karena ada yang lebih menyebalkan daripada itu semua.

Sial! Kenapa ada kotoran anjing di sini?

Tapi tunggu, sepertinya Gavin melihat sesuatu yang berkilau di sana.

***

A/n: apa yang berkilau? Mata hantu? Awokawokawok

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro