4. What If

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halooo, gimana liburannya? Berhubung di part sebelumnya ada 1K viewers dan 200 vote yang muncul, jadi aku memutuskan menulis bagian ini. Terima kasih untuk kalian semua yang sudah menunggu, membaca, memasukkan ke reading list, dan memberi vote serta komentar. Tanpa kalian apalah aku ini. Baiklah, selamat membaca ya :)

Psst... Sambil dengerin video di media ya.

________________________________________________________________________________


What if I give you my story?

Are you gonna listen to me?

What if I give you my heart?

Are we never gonna be apart?

(What If-Mocca)

Berdekatan dengan Nina adalah hal yang paling dia inginkan selama setahun terakhir. Setahun terakhir ini hidupnya benar-benar kacau—tanpa Nina di sisinya. Sejak Nina memberikan undangan pertunangannya, hidup Vanno berantakan. Dan hari ini, saat Vanno tahu bahwa bukan Nina yang menikah—hatinya lega luar biasa.

Setelah acara akad nikah selesai, Vanno membawa Nina menuju sebuah ruangan yang hari ini disulap menjadi tempat make up. Mereka tidak berdua, ada beberapa orang yang lalu lalang, namun dia tahu orang-orang itu memberikan mereka kesempatan untuk berbicara berdua saja.

"Vanno, aku minta maaf." Tidak biasanya Nina yang lebih dulu membuka pembicaraan seperti ini. Sejak dulu, Vanno-lah yang selalu aktif dalam hal yang menyangkut Nina, termasuk pembicaraan.

Ditatapnya Nina dalam-dalam. "Bukan maaf yang kubutuhkan. Kamu tahu jika aku lebih butuh penjelasan. Terutama soal peristiwa hari ini. Seingatku yang tertera di undangan pertunangan adalah namamu, tetapi yang menikah tadi Karen." Nina tertunduk. "Apakah kalian berdua bertukar posisi atau semacamnya—yang biasa dilakukan oleh saudara kembar?"

"Tidak begitu, Vanno. Aku, Karen, dan Marlo hanya terjebak salah paham."

Mengalirlah cerita dari bibir Nina bahwa yang terjadi selama ini kesalahpahaman. Semua ini bermula dari Marlo yang menyukai seorang gadis, namun ia tidak tahu bahwa gadis yang ia sukai ternyata kembar—Karen dan Nina. Marlo melihat gadis itu di dekat universitas tempat Nina kuliah sehingga Nina-lah yang disangka sebagai gadis yang disukai oleh Marlo sejak pandangan pertama.

Marlo bercerita bahwa gadis yang ditemuinya itu, menolongnya saat hampir menabrak pohon—di jalan dekat universitas. Marlo hanya tahu bahwa nama gadis itu bernama Karenina, padahal Karen dan Nina memiliki nama depan yang sama. Marlo yang penasaran, meminta orang tuanya mencari gadis itu lewat nama keluarganya dan melamarnya. Gila memang, tetapi itulah yang terjadi. Lebih gilanya adalah Tante Monica dan Om Marco tidak bertanya lebih dulu pada Karen maupun Nina.

Ketika undangan telah selesai dicetak, kehebohan pun terjadi. Nina segan menolak, sementara di sisi lain Nina tahu bahwa Vanno menunggunya. Sehingga saat dia mengunjungi Nina setahun lalu, Nina terpaksa memberikan undangan itu kepadanya. Ia mengaku terpaksa melakukan hal yang menyakitinya itu.

"Lalu bagaimana ceritanya sampai Karen yang hari ini menikah dengan Marlo?" Sungguh, Vanno masih penasaran.

"Saat acara pertunangan—pertama kali itulah aku bertemu Marlo. Aku sudah pasrah dengan keadaan waktu itu. Sementara Marlo kebingungan melihat aku dan Karen. Setelah mendengar cerita Marlo, sadalah kami kalau gadis yang dilihat Marlo waktu itu Karen, bukan aku."

"Pertunangan itu batal?"

"Tidak, pertunangannya tetap berlanjut, namun Karen yang bertunangan dengan Marlo."

"Bukankah Karen baru sekali bertemu dengan Marlo, tetapi kenapa ia setuju melanjutkan pertunangan itu?"

"Kalau itu silakan tanyakan pada Karen, ia lebih berhak bercerita. Bukan aku."

Vanno meraih tangan Nina. Menggenggamnya erat namun tetap lembut. Dipandanginya gadis dihadapannya ini, menelisik emosi yang tampak di wajahnya—mencoba mencari tahu apa yang tergambar dari wajah cantik itu. Selanjutnya, dipandangnya kedua bola mata indah itu. Orang bilang sorot mata adalah cerminan hati, oleh karena itu Vanno menatap lekat netranya yang cokelat. Ditemukannya hal yang ingin dia cari.

Meski Nina tak pernah mengucap cinta padanya, tetapi lewat rona merah yang menjalari pipinya serta tingkah lakunya yang malu-malu—Vanno bisa menyimpulkan kalau dia sudah menemukan jawabannya.

Ingin rasanya dia bertanya mengapa Nina tidak segera memberitahunya mengenai kesalahpahaman yang terjadi? Tetapi lidahnya seakan kelu. Dia yakin Nina akan memberitahunya suatu saat nanti. Jadi, diputuskannya menyimpan semua pertanyaan itu untuk ditanyakan lain kali. Yang paling penting baginya sekarang adalah Nina yang berada di dekatnya.


***


Acara resepsi pernikahan Karen dan Marlo sudah dimulai sejak tadi, sehingga dengan berat hati Vanno harus melepaskan Nina agar bisa bergabung dengan keluarganya. Mereka—dia dan keluarganya—yang diundang ke pernikahan ini tengah mengantre untuk memberikan ucapan selamat pada kedua mempelai.

Tibalah gilirannya, dengan setulus hati Vanno memberikan ucapan selamat pada Karen dan Marlo. Mereka sempat berfoto bersama. Lalu, ketika dia akan beranjak pergi, Marlo berbisik mengucapkan maaf padanya. Vanno hanya mengangguk, mengerti maksud dari kata 'maaf' itu.

Acara resepsi tenyata selesai lebih cepat dari dugaannya. Orang tuanya telah pulang terlebih dulu dengan Epin. Mereka membiarkannya pulang sendirian, tidak sendirian sebenarnya karena dia saat ini tengah menunggu Nina.

Nina berjalan menghampirinya. "Sudah selesai semua?" Tanya Vanno memastikan. Nina membalasnya dengan anggukan. Vanno meraih tangan Nina untuk digandeng lalu menghelanya menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

Alunan lagu keluar dari radio yang sengaja dia nyalakan. Vanno dan Nina tak saling berbicara. Mungkin Nina juga lelah sehingga Vanno membiarkannya duduk dengan tenang dikursinya.

What if i give you my smile

Are you gonna stay for a while

What if i put you in my dreams tonight

Are you gonna star until it's bright

Mendengar petikan lirik lagu itu, Vanno jadi teringat tentang hal yang dikatakan Epin soal Nina. "Kudengar Nina akan menetap di Jakarta?"

"Iya, MSI (Music School of Indonesia) menawarkanku untuk menjadi pengajar di sana. Besok aku sudah mulai kerja."

Nina memang berbakat dalam hal musik terutama piano, sehingga Vanno tidak heran jika sekolah musik sekelas MSI meminta Nina untuk menjadi pengajar di sana. "Baguslah kalau begitu." Tentu saja bagus. Jika Nina memutuskan menetap di Jakarta artinya Vanno bisa menemuinya setiap saat. "Besok pagi aku jemput kalau begitu." Nina hanya mengangguk kemudian menyandarkan kepalanya ke sisi jendela mobil.

Tak tega melihat Nina yang nantinya bisa terantuk, Vanno meraih kepala Nina untuk dibawa bersandar ke bahunya. Nina menatapnya, namun dia hanya tersenyum. Takkan dibiarkannya lagi Nina berada jauh darinya. Meskipun suatu saat nanti Nina menghilang, Vanno akan terus mencarinya hingga mereka akan tetap bersama. Hanya Nina yang dia mau untuk mendampingi hidupnya.

Come on baby try harder

Come on baby light my fire

Come on baby be mine

Cause you're the one i wanted to be

What if i try to catch flying snitch

Are you gonna come with me

What if i give you my song

Are we gonna sing along

Come on baby try harder

Come on baby light my fire

Come on baby be mine

Cause you're the one i wanted to be

Come on baby try harder

Come on baby light my fire

Come on baby be mine

Cause you're the one i wanted to be

What if you leave me right here

I'm right here and waiting for you

(Mocca-What If)

***


Jadi, gimana tanggapan kalian soal part ini? Semoga gak ada yang bilang pendek lagi ya hehe. Kalau ada typo, tolong aku diberi tahu. Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote ya. Terima kasih.

Salam cinta,

Vi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro