7. Sahabat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Story by:  Madiani

Persahabatan bukan sekadar selalu bersama tapi bagaimana kita menerima seseorang dengan segala kekurangannya. Ada di saat bahagia ataupun sedih selalu menemani meski jarak terbentang luas.

Setahun yang lalu mereka bertemu berkenalan seperti orang biasa, berteman layaknya orang normal. Pelangi bersyukur bisa memiliki teman seperti Doni, Isya, Asri dan Bagas. Mereka bisa menerima semua kekuarangannya dan menganggap dirinya seperti anak normal lainnya.

"Pelangi ayo ke mari, jangan duduk aja," kata Isya sambil mengalungkan canon pada lehernya.

Gadis itu tersenyum, membersihkan rok panjang semata kaki dari pasir yang menempel, kemudian bergabung bersama teman-temannya. Deburan ombak mengalun merdu, hembusan angin bertiup kencang mengantarkan aroma sejuk dan panas khas pantai.

Meski Pelangi berada di tempat yang teduh tidak bisa dipungkiri jika angin yang berhembus mengantarkan udara panas yang membelai kulitnya.

"Enaknya kita ngapain ya?" Bagas mengelus dagunya berpikir.

"Kita fotoan aja dulu, habis itu kita main pasir, kapan lagi bisa ke Bali, kan?" usul Isya.

"Lah udah dari tadi fotoan, belum puas juga?" tanya Doni, pria berkulit coklat itu menggeleng dan berkacak pinggang menatap laut.

"Belum. Aku mau kita punya banyak foto, kalian pada pergi semua, kuliah ke Jakarta, 'kan?" kata Isya menepuk pelan bahu Doni.

"Iya sih, tapi setahun sekali kita pasti pulang," ujar Bagas.

Pelangi yang sejak tadi terdiam memperhatikan sahabatnya kemudian menepuk pelan pundak Asri. Gadis berkaca mata itu menoleh ketika Pelangi mengusap perutnya.

"Teman-teman gimana kalau kita makan aja dulu? Pelangi udah laper tuh," kata Asri menatap temannya yang lain.

"Aku juga sudah lapar, enaknya makan apa, ya?" kata Doni.

"Bakso aja, gimana?" usul Bagas dengan wajah berseri.

"Masak bakso, sih? Pilih makanan yang lain," kata Asri kurang setuju.

"Terus mau makan apa? Biar hemat tapi kenyang?" tanya Isya, gadis berhijab biru itu melipat tangannya di depan dada.

Pelangi menggaruk kepalanya bingung, sejak sampai di Pantai Sanur mereka hanya berfoto dan diam di bawah pohon. Sungguh membosankan, pikir gadis itu.

Pelangi tersenyum ketika melihat sebuah warung pinggir pantai yang pembelinya cukup ramai. Diseretnya tangan Asri dan Isya agar kedua sahabatnya ke arah warung itu. Bagas dan Doni mau tidak mau mengikuti gadis-gadis itu.

Pelangi duduk dengan manis di sebuah kursi panjang yang disediakan untuk pelanggan. Asri dan Bagas duduk di sampingnya, sedangkan Doni dan Isya duduk di depannya.

"Kita mau pesen apa?" tanya Doni bingung.

Pelangi menunjuk menu yang ada di atas meja, Asri, Doni, Isya dan Bagas berdiri dari duduknya untuk melihat menu yang dipilih oleh gadis itu. Merek saling berpandangan dengan ekspresi wajah yang berbeda setelah membaca nama menu yang cukup asing bagi mereka.

"Tipat cantok?" kata mereka serempak, menatap Pelangi untuk memastikan pilihannya.

Pelangi tersenyum dan mengangguk yakin. Dari sekian harga makanan hanya tipat cantok yang harganya lebih hemat.

"Apa kau yakin?" tanya Isya ragu. Pelangi menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Kau sudah pernah mencobanya?" Doni angkat bicara, ini bukan masalah dompet lagi tapi masalah perut. Meski harga makanan itu murah percuma saja jika makanannya tidak enak.

Kali ini Pelangi menggeleng, senyumnya belum pudar sedikit pun seolah gadis itu yakin makanan itu layak bersarang di perut mereka.

"Kamu mau coba makanan itu, Pelangi?" Bagas mencoba meyakinkan sekali lagi. Pelangi kembali mengangguk, keputusannya tidak tergoyahkan.

"Baiklah, tidak salahnya untuk dicoba," kata Asri kemudian duduk kembali ke tempatnya.

"Aku pesenin, ya." Bagas bergegas memesan makanan untuk teman-temannya. Tidak lama menunggu makanan mereka pun datang, seorang wanita paruh baya menghidangkan lima porsi tipat cantok di meja mereka.

"Suksema (terima kasih)," ujar mereka berempat serempak, Pelangi tersenyum lebar sebagai ucapan terima kasihnya.

"Ngih, mewali (iya, sama-sama)," balas wanita itu ramah.

Pelangi menatap makanannya dengan mata berbinar, ketupat yang dicampur sayur kangkung dan tauge yang diaduk menjadi satu dengan saos kacang. Di atasnya ada taburan kacang mentik dan kecap manis yang membuat perut gadis itu berteriak lapar.

Dengan lahap Pelangi menyantap makanannya, rasa manis dari kecap pertama kali ia rasakan ketika makanan itu masuk ke mulut. Begitu juga dengan teman-temannya dengan rakus menghabiskan makanan itu.

"Nanti kita fotoan di sana ya, dekat hotel tinggi itu," ucap Asri dengan mulut penuh makanan.

"Itu hotel apa?" tanya Isya penasaran. "Tinggi sekali."

"Itu Hotel Grand Ina Bali Beach Sanur, hotel tertinggi dan tertua di Bali. Itu hotel peninggalan Bapak Soekarno," jawab Doni yang diangguki oleh keempat temannya.

"Aku udah selesai makan," ujar Bagas kemudian meneguk air mineral yang ia bawa.

Mereka beranjak pergi menyusuri bibir pantai setelah membayar makananya. Para gadis bermain air sedangkan Doni dan Bagas asik memfoto gadis-gadis itu, sesekali Bagas merekamnya.

"Pelangi, kamu udah ketemu Bintan?" tanya Asri yang membuat Pelangi menghentikan gerakan tangannya yang memainkan air laut.

Gadis itu tersenyum dengan kepala menunduk. Asri memegang bahu sahabatnya dengan lembut.

"Dia pasti kembali, bukannya dia bilang mau menyusulmu ke Bali? Maaf jika aku mengingatkanmu pada Bintan tapi sebentar lagi kita akan lulus SMA dan Bintan juga akan kembali ke Jakarta," ucap Asri dengan raut wajah sedihnya. "Harusnya Bintan menepati janjinya untuk ikut ke Bali."

Pelangi mendongkak, menatap Asri dengan senyum paksa. Bintan bukan pria yang suka berbohong, meski dia adalah pembuat onar di sekolah tapi Bintan pria yang menepati janjinya, terutama pada Pelangi.

"Kalian bisik-bisik tentang apa sih?" tanya Isya penasaran.

"Kami lagi bisikin kamu yang doyan selfi," ujar Asri kemudian berlari menghindar dari Isya.

"ASRI!" teriak Isya kencang, berlari mengejar Asri yang bersembunyi di belakang tubuh besar Doni, sedangkan Bagas yang tadinya asik merekam  gulungan ombak  beralih merekam Asri dan Isya yang lagi kejar-kejaran.

Pelangi tidak bergeming dari tempatnya, terlukis senyum tulus saat ia melihat keceriaan sahabatnya, meski hati dan pikiran gadis itu tersita untuk Bintan tapi ia mencoba terlihat bahagia di depan teman-temannya.

"PELANGI!"

Sebuah teriakan menghentikan segala aktifitas mereka. Seorang pria berambut gondrong melambaikan tangan ke arah Pelangi. Pelangi tersenyum melihat orang yang ada dipikirkannya muncul dengan memeluk seekor anak anjing.

Asri, Doni, Bagas dan Isya berjalan menghampiri Pelangi yang membalas lambaian tanga dari Bintan. Senyum tulusnya mengembang ketika Bintan berada di hadapannya.

"Itu anjing siapa, Tan? Dapet nyolong?" celetuk Doni ketika Bintan mencium anjing berbulu putih itu.

"Enak aja nyolong, aku dapet di sana," tunjuk Bintan pada sebuah batu besar di bawah pohon. "Imut sekali."

Pelangi membelai kepala anjing itu dengan lembut membuat binatang berkaki empat itu memejamkan matanya.

"Kok kamu ambil, sih? Entar ibunya nyariin, lho," ucap Isya sambil memotret anak anjing itu dengan kameranya.

"Aku kasihan sama anak anjing ini. Pertama kali lihat  aku jadi teringat Pelangi." Bintan menatap Pelangi dengan intens sehingga membuat gadis itu merona.

"Kamu kira Pelangi itu anak anjing?" kata Bagas menjewer telinga Bintan.

"Sakit!" jerit Bintan dan melepaskan tangan Bagas dari telingannya.  "Tentu saja beda. Tapi anjing ini sangat polos, lugu dan menggemaskan  sama seperti Pelangi."

Bintan tersenyum sampai mata sipitnya tak terlihat. Kulit putihnya memerah tersengat matahari.

"Mulai deh ngerayunya," ucap Asri sambil mengelus kaki anjing itu.

Suara gonggongan terdengar di belakang mereka. Seekor anjing besar berwarna putih dengan corak coklat berlari ke arah mereka.

"Itu ibunya??" tanya Doni takut.

Bintan tersenyum lebar.

"Sepertinya, iya," ujarnya santai dan meletakkan anjing kecil itu di atas pasir.

Bintan menggenggam tangan Pelangi erat dan menariknya untuk berlari sekuat tenaga meninggalkan keempat sahabatnya yang berlari di belakang. Mereka berlari menyusuri bibir pantai tertawa bersama menikmati deburan ombak  membasahi kaki. Sesekali mereka mencipratkan air, saling bercanda, berlari dan mengukir nama di atas pasir putih yang mereka pijak.

Pelangi tersenyum ketika melihat anjing kecil itu berlari mengikuti ibunya. Meski anjing itu kesusahan berjalan di atas pasir tapi anjing itu terus berusaha mengejar ibunya.

Pada akhirnya mereka menghabiskan waktu sepenjang hari di Pantai Sanur, tempat di mana matahari muncul untuk mengawali hari.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro