Cinta 3.3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayolah, Sob. Aku pasti bayar. Masa nggak percaya sama aku?" Cinta merayu pria yang duduk di sebelahnya. Tangan kanannya menyentuh paha pria berambut ikal agak gondrong itu, merambat pelan dari lutut ke arah pangkal paha. Pria itu tersenyum dan menatap Cinta dengan tatapan nakal.

"Ini udah yang ketiga, Say. Kapan mau bayar?" bisik pria itu, mendekatkan bibirnya ke telinga Cinta.

"Mau dibayar pake apa, sih?" Cinta mengedipkan sebelah mata. Si pria tertawa kecil dan menyelipkan sebuah bungkusan kecil ke balik baju Cinta yang berbelahan dada rendah. Cinta memberikan ciuman sekilas di pipi pria itu sebelum berlalu ke lantai diskotik. Cinta langsung membaur dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu larut dalam ingar musik yang memekakkan telinga.

Tanpa terasa malam semakin menua. Tapi belum ada tanda-tanda Cinta dan teman-temannya akan segera berhenti bersenang-senang.

"Cin, besok nggak ada kuliah, lo?" tanya Roxy, teman Cinta yang berambut panjang warna cokelat terang.

"Ada."

"Terus?"

"Aah, nggak usah dipikirin. Kuliah mah gampang. Kalau nilai jelek tinggal bayar, atau semester pendek." Cinta mengibaskan tangan tak peduli. Roxy menggelengkan kepala sambil tertawa.

"Gile, lo. Kalau gue sampai dapet nilai dibawah B, uang bulanan gue langsung disunat sama Bokap. Asik banget Bonyok lo, Cin." Roxy yang kuliah di jurusan Bisnis dan Manajemen memang belum lama mengenal Cinta. Mereka bertemu di kelab malam itu sekitar tiga bulan sebelumnya dan beberapa kali bertemu setelah itu.

"What you don't know won't hurt you." Cinta mengedipkan matanya pada Roxy yang seketika melongo.

"Jadi, ortu lo nggak pernah tahu nilai lo? Nggak pernah nanya-nanya, gitu?" Roxy penasaran. Cinta hanya menjawab dengan gelengan.

"Buat apa? Mereka nggak perlu tahu. Yang penting mereka tahu aku kuliah, pulang setiap ada waktu, lulus sesuai jadwal. Udah. Nggak perlu lah mereka mikirin nilai aku. Lagian mana ngerti mereka. Ortuku bukan orang kuliahan." Cinta menenggak habis minumannya. Aroma alkohol menguar dari mulutnya. Entah sudah berapa gelas tadi ditandaskannya sendiri. Roxy menggelengkan kepala, setengah takjub pada daya tahan Cinta terhadap alkohol. Sementara dia sendiri baru di gelas kedua. Itu pun belum habis.

Tiba-tiba beberapa orang masuk bersamaan dari pintu depan dan langsung menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Sebagian besar mengenakan jaket kulit, sebagian lain mengenakan kemeja atau seragam cokelat.

"Shit! Sial banget aku. Kenapa harus malam ini, sih?!" desis Cinta yang hanya bisa didengar Roxy. Mereka berdua mencari pintu keluar dari bagian samping, tapi ternyata sudah ada beberapa pria dan wanita berjaga di sana. Akhirnya mereka mengempaskan badan di salah satu sofa dengan pasrah.

"Untung gue nggak jadi make tadi. Fyuh ...." Roxy mendengus teringat betapa tadi dia nyaris menerima tawaran Cinta untuk mengambil beberapa butir pil ektasinya. Sekarang dia lega luar biasa karena tak jadi menenggaknya.

"Aku nih, yang kena," ujar Cinta lirih.

"Terus gimana, Cin? Ortu lu bisa ngejamin, kan, nanti? Paling semalem doang di tahanan."

"Gila aja. Jangankan ngejamin, begitu tahu aku ketangkap aja pasti udah serangan jantung mereka." Kesadaran Cinta mulai menyeruak dari balik kabut pengaruh alkohol. Dia teringat abahnya yang ustadz senior di pondok pesantren dan uminya yang penyabar. Sepercik rasa bersalah muncul dalam hatinya. Tapi hanya sesaat.

Satu per satu, pengunjung diskotik dimintai data diri oleh petugas, lalu disodori sebuah botol kecil untuk menampung air seni. Musik sudah lama berhenti, menyisakan pengap dan kesadaran yang perlahan pulih. Sebuah mobil menunggu di halaman depan diskotik, menerima dan mengolah air beraroma menyengat yang diserahkan oleh para pengunjung. Ada yang harap-harap cemas, gelisah, ada juga yang cuek saja. Cinta menyandarkan kepala di bahu Roxy, menanti keputusan yang akan mereka terima. Walaupun sebenarnya Cinta sudah tahu hasilnya.

"Beneran, ya, Rox. Nanti tolong hubungi Bang Gun buat ngeluarin aku dari tahanan. Please." Cinta memastikan untuk terakhir kalinya. Roxy mengangguk mantap.

Beberapa saat kemudian hasil tes urine keluar. Nama-nama pengunjung kelab yang apes dan menunggu dengan bosan mulai dipanggil satu persatu untuk menaiki mobil tahanan yang sudah disiapkan. Ada 9 orang lagi selain Cinta yang digiring ke tahanan Polrestabes untuk diproses lebih lanjut. Ada yang ditemukan membawa narkoba, atau terdeteksi menggunakan, seperti Cinta.

Malam itu Cinta menghabiskan beberapa jam di ruang tahanan, bersama dengan dua orang perempuan lain. Seorang perempuan muda berdandan menor dan seksi, yang katanya terjaring razia prostitusi, dan seorang lagi wanita lebih tua yang tertangkap tangan mengutil di toko serba ada. Untung tak sampai siang, pria yang ditemui Cinta semalam dan akrab disapa Bang Gun, sudah datang untuk mengeluarkan Cinta dari sana.

"Makasih ya, Bang. Kalau nggak ada Bang Gun, nggak tahu lagi gimana nasibku." Cinta akhirnya bersuara setelah mobil yang dikemudikan Gunardi meluncur tenang di jalan raya.

"Relax aja, Cin. Masalah beginian bukan hal baru buat aku. Pengacara tadi sudah langganan aku, khusus buat hal-hal kayak gini." Pria itu tersenyum menanggapi rasa terimakasih Cinta. Di kantor polisi tadi memang Cinta melihat sekilas ada seorang pria paruh baya bersetelan rapi dengan penampilan flamboyan sedang mengobrol akrab bersama salah satu pejabat polisi berpangkat melati dua. Rupanya itu pengacara Gunardi.

"Jadi, Bang Gun udah sering nolongin orang yang senasib sama aku gini?" Cinta menatap Gunardi.

"Sering, lah. Anggap aja pelayanan paripurna buat pelanggan aku. Kalau mereka sampai kena masalah, kan pelanggan aku berkurang jadinya. Ha ha...," gelak Gunardi sambil terus memperhatikan jalan.

"Yah, cari pelanggan baru sih bisa aja.  Tapi kalau yang udah lama masih bisa dipertahankan, kan lebih enak. Tapi ini nggak gratis, lho. Mereka biasanya kasih aku semacam ucapan terima kasih gitu. Lumayan lah, buat bayar pengacara. Mahal, cuy." Gunardi menambahkan lagi.

Cinta terdiam. Otaknya berpikir keras. Bagaimana dia bisa membayar Gunardi? Pil ekstasi semalam pun dia masih berutang. Untung saja dia sudah kenal lama dengan Gunardi. Kalau tidak, Cinta tak yakin bahwa pria itu bisa sebaik ini pada Cinta.

"Nggak usah dipikirin gitu, Say. Aku tahu kamu masih anak kuliahan, duit terbatas. Buat kamu, aku kasih toleransi khusus, deh. Kamu boleh bayar kapan-kapan. Oke?" Pria itu seolah bisa membaca pikiran galau Cinta.

"Justru itu, Bang. Aku nggak tahu bisa dapat uang dari mana buat bayar Bang Gun. Aku nggak mungkin minta ke ortu aku. Uang sebanyak itu pasti mereka nanya buat apa aja." Cinta menatap kosong jauh ke depan. Jalanan kota tak terlalu padat. Kebanyakan orang pasti masih sibuk di tempat  kerja atau rumah masing-masing ketimbang membuang waktu di jalanan yang panasnya memanggang seperti ini. Mereka beruntung. Dan Cinta merasa sial.

"Hmm ... Kalau gitu, biar aku bantuin cari jalan keluarnya, deh. Kamu nggak usah pusing. Kita hepi-hepi aja, oke?" Gunardi mencoba mengalihkan pikiran Cinta yang kusut.

"Kamu pasti capek dan ngantuk, kan? Kita ke apartemenku aja, ya," usul Gunardi sambil membelokkan mobil ke arah apartemennya tanpa menunggu persetujuan Cinta.

Komplek apartemen Gunardi berada di wilayah selatan kota Surabaya. Empat buah gedung bertingkat yang belum lama berdiri. Empat gedung itu dinamai dengan nama-nama batu mulia. Amethyst, Bixbite, Chalcedony, dan Amber. Apartemen Gunardi berada di gedung Bixbite, lantai 19, nomor 1981.

Apartemen Gunardi cukup besar dan nyaman untuk ukuran seorang bujangan. Rapi, bersih, dan elegan. Gaya minimalis mendominasi interior ruangan itu dengan mayoritas warna kelabu dengan berbagai gradasi. Sebuah kamar tidur besar, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur bersih yang kelihatannya jarang dipakai. Pasti mahal harganya, pikir Cinta.

"Kamu mandi aja di kamar itu, ada handuk sama mantel kamar mandi di rak bawah wastafel. Barangkali kamu mau cuci baju kamu. Aromanya nano-nano, cuy." Gunardi meringis, meledek Cinta yang tersipu. Tentu saja dia bau. Aroma alkohol, asap rokok, keringat, parfum yang memudar, dan tahanan kantor polisi. Pasti dahsyat sekali bau Cinta saat ini.  Tanpa banyak cakap, Cinta langsung masuk kamar yang ditunjuk Gunardi.

Cinta sengaja berlama-lama mengguyur tubuhnya di bawah pancuran air hangat. Pijatan lembut air di punggungnya, membilas daki dan letih yang menggelayuti tubuh. Sebagian rambut basahnya dibiarkan terurai menutupi wajah. Banyak hal berkecamuk di benaknya. Peperangan antara nafsu akan nikmat duniawi dan hati nurani.

Cinta mematikan keran air dan membalut tubuhnya dengan mantel mandi biru tua yang ditemukannya di rak. Setelah mengeringkan rambut dengan handuk, dia langsung melilitkannya di atas kepala. Cinta merasa lebih segar. Diambilnya pakaian yang teronggok di lantai dan dibawa ke luar kamar. Dia bermaksud mencuci dan mengeringakannya supaya nanti bisa dia pakai lagi waktu pulang.

"Wah, seger banget kelihatannya. Jadi pengen mandi juga," komentar Gunardi begitu melihat Cinta keluar dari kamar dengan mantel handuk selutut dan rambut basah yang dililit ke atas. Lehernya jadi tampak makin jenjang.

"Mandi aja, Bang. Pasti belom mandi juga, kan?" ledek Cinta.

"Ntar aja, ah. Males. Itu mesin cucinya. Aku jarang nyuci, sih. Biasanya laundry aja. Sabun ada di rak atas." Gunardi menunjuk sudut dekat dapur tempat mesin cuci berada. Cinta langsung memasukkan pakaian, deterjen, dan menyalakan keran air. Setelah mesin cuci melaksanakan tugasnya diiringi dengung khas ketika menggiling pakaian, Gunardi mendekati Cinta dan menyodorkan secangkir teh hangat.

"Aku punya ide, gimana caranya kamu bisa bayar utang-utang kamu, tanpa harus minta ke orang tuamu," ujar Gunardi. Cinta menyesap tehnya lalu menatap Gunardi dengan pandangan bertanya. Tapi Gunardi tak menjawabnya, dan malah mengulurkan tangannya ke arah pinggang Cinta. Belum paham dengan apa yang dimaksud Gunardi, Cinta menatap tangan pria itu yang kini menarik ikatan tali jubah mandinya sampai lepas.

"Bang ..., " Cinta buru-buru meletakkan cangkirnya di atas meja dapur agar kedua tangannya bisa memegangi jubah.

"Kamu nggak usah pura-pura malu gitu sama aku, Cin. Aku tahu kamu udah biasa telanjang di depan cowok. Coba, udah pernah ngitung belum, berapa cowok yang udah pernah ngerasain tubuh kamu?" Gunardi menarik tubuh Cinta merapat ke tubuhnya dengan sekali sentak. Wajah mereka kini begitu dekat. Cinta terpaksa mendongak karena tinggi Gunardi yang menjulang sampai 185 sentimeter itu.

Cinta pasrah. Tanpa protes lagi, Cinta membiarkan Gunardi menyusuri wajah, leher, dan dadanya dengan bibirnya yang makin mengganas. Selama ini dia cukup selektif. Sebenarnya tak sembarang pria bisa tidur dengannya. Hanya beberapa mantan pacar, atau teman dekat seperti Mario dan Alex, jika sedang tidak punya pacar dan lagi kepengin berat. Hanya satu atau dua kali saja Cinta tidur dengan pria demi tujuan khusus. Dan ini salah satunya. Demi membayar utang-utangnya pada Gunardi.

Jubah mandi dan handuk Cinta sudah teronggok di lantai. Begitu juga kemeja dan celana jeans Gunardi. Pria itu mendorong Cinta ke arah kamar tidur sambil terus melumati setiap inci wajah dan leher Cinta. Begitu gadis itu rebah di atas tempat tidur besarnya, mulut Gunardi langsung menyerbu dua gundukan indah yang menjulang di dada Cinta. Gadis itu tak dapat lagi menahan erangannya. Gunardi memperlakukannya dengan penuh nafsu, namun masih ada kelembutan, sehingga Cinta tak terlalu merasa terpaksa.

Cinta memejamkan mata, menikmati gelenyar yang menjalar dari perut bawah sampai ke ubun-ubun. Gunardi membuka kaki Cinta dengan lututnya. Dengan sebelah tangan, dilepaskannya celana dalamnya sendiri dengan cepat. Tanpa basa-basi, pria yang tengah berada di puncak nafsunya itu langsung melesakkan tubuhnya ke dalam tubuh Cinta. Beberapa detik kemudian, mereka sudah bergerak berirama, melakukan tarian primitif dalam posisi horizontal, memuaskan hasrat yang nyaris meledak. Cinta menancapkan kukunya di punggung Gunardi ketika mereka berdua melenguh, mengerangkan nikmat yang mereka rasakan bersamaan.

Gunardi berbaring di sebelah Cinta sambil mengatur napas. Keduanya menatap langit-langit kamar yang kosong, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku bisa ngenalin kamu ke beberapa orang yang bisa bayar kamu mahal buat hal semacam barusan." Gunardi bersuara sambil melirik Cinta. Gadis itu masih berusaha mencerna kalimat Gunardi. Karena tak segera menjawab, Gunardi berpindah posisi, berbaring menyamping menghadap Cinta, menatap wajahnya yang tak terbaca.

"Jangan khawatir. Aku nggak akan kasih kamu Ke Om-om gendut, tua, buncit, dan bau. Atau ke cowok penyakitan yang kasar. Aku jamin mereka nggak akan minta enak sendirian. Dan pasti royal," tambah Gunardi sambil memutarkan jari telunjuknya mengelilingi puting Cinta yang menegang.

"Jadi ... Bang Gun mau jual aku?" desah Cinta lirih.

"Jangan bilang gitu, dong, Say. Aku kan cuma menawarkan. Kalau kamu nggak mau, aku nggak akan maksa, kok. Aku cuma kasih kamu alternatif yang paling aman dan nyaman buat kamu. Daripada kamu ikut jualin barang aku, belum tentu laku, malah bisa bahaya. Inget, biaya pengacara mahal, lho." Gunardi mencoba meyakinkan Cinta.

"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Nanti kalau ada yang cari, aku tawarin ke kamu. Kalau kamu mau, silakan. Kalau nggak, juga nggak masalah." Gunardi menyudahi pembicaraan mereka di topik itu dan kembali mendaratkan bibirnya di dada Cinta yang mulus.

Hari itu Cinta menghabiskan waktunya di tempat Gunardi. Memuaskan hasrat pria yang sepertinya tak bosan-bosan pada kenikmatan yang diberikan tubuh Cinta. Malam sudah turun ketika Gunardi mengantarkan Cinta ke tempat kos. Di kamar kosnya, Cinta langsung meringkuk di atas tempat tidur, menangis terisak-isak sampai akhirnya jatuh tertidur.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro