Cinta 3.4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Halo," sapa Cinta pada ponselnya. Kuliah hari itu baru saja usai. Sebagian mahasiswa berbondong-bondong keluar dari ruang kuliah umum yang dipadati lebih dari seratus orang itu. Sementara sebagian lain memilih untuk santai, tidak terburu-buru keluar kelas, mengobrol dengan teman, menelepon, atau sekadar memainkan gawainya. Termasuk Cinta.

"Halo, Say. Ntar malem sibuk, nggak? Ada kakap, nih." Suara Gunardi menyapa Cinta dari seberang sambungan telepon.

"Nggak sibuk kok, Bang. Di mana? Jam berapa?" Cinta langsung menyanggupi.

"Di restoran hotel Asyilla, jam 7, ya. Dandan yang cantik. Nemenin dinner meeting dulu soalnya."

"Siap, Bang."

Cinta menutup dan memasukkan ponsel ke dalam tasnya setelah Gunardi memutuskan sambungan. Setelah melirik sejenak ke jam tangan berkilau di pergelangan kirinya, Cinta memutuskan untuk langsung pulang.

Ketika berjalan menuju tempat parkir mobilnya, sekelompok mahasiswa yang sedang duduk-duduk mengobrol di bawah pohon di halaman kampus berbisik-bisik sambil melirik ke arah Cinta. Gadis itu menyadarinya, tapi memutuskan untuk mengacuhkan. Cinta terus berjalan ke arah mobilnya yang terparkir agak di sudut.

Salah seorang dari pemuda itu tiba-tiba berjalan mengejar Cinta.

"Hai, CJ," sapanya. Cinta melirik ke arah pemuda itu. Manis, jangkung, dan rapi. Dia mengenalinya sebagai salah seorang kakak tingkat yang beberapa kali pernah mengambil mata kuliah yang sama, tapi Cinta tak pernah tahu namanya. Cinta tersenyum kaku menjawab sapaan cowok itu.

"Aku Arta. Kita beberapa kali pernah kuliah bareng," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Cinta melambatkan jalannya sambil bersalaman singkat. Mereka sampai di dekat mobil Cinta. Gadis itu menunggu kelanjutan dari Arta, walaupun sebenarnya dia bisa menebak. Bukan sekali saja dia dijadikan bahan taruhan di antara cowok-cowok di kampus. Cinta menduga ini pun salah satunya.

"Kamu buru-buru?" tanya Arta.

"Iya, Kak. Aku ada janji sama temen," jawab Cinta setengah berbohong.

"Oh. Kalau gitu boleh nggak, kapan-kapan aku main ke kos kamu?" Arta memberanikan diri.

"Mm, boleh aja sih." Cinta membuka pintu mobil dan memasukkan tas ke dalam.

"Oke. Bye." Arta melambaikan tangan sekilas. Cinta hanya membalas dengan senyuman tipis sebelum lenyap ke dalam mobilnya.

Cinta memacu hatchback perak yang belum lama diperolehnya dari Gunardi itu menuju tempat kosnya. Cinta masih ingat beberapa bulan lalu ketika Gunardi mengajaknya ke apartemen dan memberikan kunci mobil itu di tempat parkir. Gadis itu mematung selama beberapa saat tak paham harus bagaimana.

"Itu kunci mobil, Non. Mobil itu buat kamu pakai. Selama kita masih ada hubungan bisnis, kamu bebas pakai mobil itu," ujar Gunardi waktu itu sambil mengedipkan sebelah mata pada Cinta.

"Seriusan, Bang? Ini kan mahal. Gimana aku bayarnya? Utangku sama Bang Gun aja masih belum kebayar," ucap Cinta sambil memandangi mobil mengilap di hadapannya.

"Kamu nggak usah mikirin itu, deh. Tenang aja. Kita kan partner. Aku supplier, kamu yang ngelayanin customer. Mereka puas, royal, hasil kita bagi dua. Kita main fair aja. Aku nggak bakal ngambil banyak, kok." Gunardi berbisik di telinga Cinta. Dan hari itu Cinta kembali berujung di tempat tidur Gunardi.

Sampai di tempat kos, Cinta langsung merebahkan badan di kasur tanpa mengganti baju. Matanya kosong menatap langit-langit kamarnya. Sudah tiga bulan ini Cinta pindah kos ke tempat ini. Lebih eksklusif, mewah, dan private. Lagi-lagi Gunardi yang mencarikan untuk Cinta. Lokasinya di kompleks perumahan mewah tak jauh dari pusat kota. Alasannya, supaya Cinta lebih cepat dan mudah bergerak kalau ada keperluan sewaktu-waktu. Keperluan yang menyangkut Gunardi tentu saja.

Cinta senang-senang saja. Kamarnya yang sekarang luas, lengkap, mewah, dan nyaman. Bila hanya mengandalkan uang kiriman dari orangtuanya Cinta tak akan bisa tinggal di tempat seperti ini. Setiap hari, Gunardi nyaris selalu mengiriminya pelanggan. Cinta makin jarang bergaul dengan teman-temannya, main ke kelab malam seperti dulu. Dia makin sibuk melayani pelanggan yang diberikan Gunardi.

Sekali waktu ketika Cinta sedang tak ada kegiatan, melintas bayangan ayah dan ibunya di kampung. Tak jarang batin Cinta masih bergelut mempertentangkan kehidupan yang dijalaninya kini. Betapa jauh dia telah melenceng dari jalan yang diharapkan oleh orangtuanya. Tapi setiap kali dia ingin menjauh, Gunardi selalu menghujaninya dengan aneka kemewahan dan kenyamanan yang memang selama ini dicarinya. Akhirnya Cinta kembali terpuruk di tempat yang sama.

Kini sudah lebih dari setengah jalan kuliahnya berlangsung. Tak lama lagi dia harus berjibaku dengan skripsi, ujian, sidang, sebelum akhirnya lulus. Tapi Cinta tak tahu apakah hal itu kelak bisa melepaskannya dari belenggu Gunardi.

Beberapa kali Cinta pulang ke kampung halamannya, tentu saja dalam balutan busana muslimah dan tanpa riasan, menumpang kereta api yang memakan waktu sekitar 3 jam dari tempatnya kuliah. Orangtuanya tak menaruh curiga pada penampilannya yang makin terawat dan cantik. Dia bisa berpura-pura seperti Cinta yang dulu. Yang salihah, santun, dan penurut. Selama sandiwara itu tidak berlangsung lama.

Cinta tergeragap bangun dari tidur ayamnya dan menengok jam dinding. Baru pukul empat sore. Dia memutuskan untuk mulai bersiap. Lebih baik menunggu daripada ditunggu. Cinta menggelung rambutnya dan melepas pakaian sebelum masuk ke kamar mandi. Tak lama waktu yang diperlukannya untuk bersiap. Make-up lengkap sudah menjadi rutinitas yang dapat diselesaikannya dengan sempurna dalam waktu kurang dari satu jam.

Gadis itu memilih gaun selutut berpotongan sederhana warna peach yang makin menonjolkan warna kulitnya yang bersih. Dia mengenakan sepatu peep toe warna keemasan. Cinta mematut diri sekali lagi di depan cermin besar kamarnya, mengambil salah satu clutch dari lemari dan memasukkan ponsel serta beberapa kartu dan uang tunai sekadarnya.

Cinta sudah memacu mobilnya menuju hotel yang tadi disebutkan Gunardi. Sudah beberapa kali dia menemui klien di sana. Hotel bintang tiga yang cukup ternama, walaupun Cinta lebih sering mengunjungi hotel-hotel lain yang lebih besar. Tadinya Cinta hendak menunggu di kafe hotel sampai waktu yang disepakati. Tapi ketika tiba di lobi, ternyata Gunardi sudah menunggu di sana.

"Cepet amat datengnya? Udah nggak sabar, ya?" olok Gunardi sambil menyenggol bahu Cinta dengan genit. Cinta nyengir saja menanggapi ledekan pria gondrong itu.

"Bang Gun sendiri ngapain di sini?" balas Cinta sambil mengikuti Gunardi duduk di salah satu sofa.

"Aku ada janji lain sama pelangganku. Biasa."

Pembeli barang terlarang dagangan Gunardi rupanya. Cinta sudah hapal hal itu. Hanya saja biasanya transaksi seperti itu tak dilakukan Gunardi di tempat seperti ini secara terang-terangan.

"Tenang aja, aku nggak transaksi di sini, kok. Aku cuman mau jemput dia ke tempat lain," ujar Gunardi seolah bisa membaca keheranan Cinta.

Cinta mengangguk paham. Gunardi menengok jam di pergelangan tangannya.

"Bentar lagi orang yang kujanjiin sama kamu mestinya bakal muncul. Sekalian aja nanti aku kenalin. Aku udah lama kenal dia. Cuman buat beginian, memang baru pertama kali. Mudah-mudahan dia puas sama kamu nanti ya, Say." Gunardi mengedipkan matanya pada Cinta. Gadis itu hanya tersenyum tanpa kata-kata. Dia menyapukan pandangan ke sekitar lobi untuk mengalihkan perasaannya yang mendadak gelisah.

Belakangan ini kegelisahan itu makin sering menyambangi Cinta. Mungkin karena memang jauh di lubuk hatinya dia tahu bahwa apa yang dilakukannya ini salah. Bagaimanapun dia dibesarkan dalam norma dan kaidah agama yang kuat. Dia sadar dia tersesat. Kenikmatan yang kini dirasakannya memang melenakan. Tapi tetap saja ada tali kekang tak kasat mata yang selalu menarik-nariknya untuk kembali.

Beberapa pria berpakaian jas lengkap masuk ke lobi hotel sambil berbincang serius. Gunardi bangkit dari duduknya. Cinta mengikuti. Sepertinya salah satu dari mereka adalah orang yang menghubungi Gunardi.

"Selamat sore, Mas. Kenalkan, ini Cinta. Cinta, ini Mas Erik." Cinta menyambut uluran tangan pria itu dengan anggun.

"Halo. Kita langsung aja ke resto, ya. Ada perubahan rencana. Rekan-rekan saya mau balik malam ini juga, jadi dinner dimajukan. Ayo." Erik mengangguk pada Cinta dan Gunardi.

"Eh, aku nggak ikut ya, Mas. Ada urusan lain, nih, kebetulan. Selanjutnya aku serahin sama Cinta. Jangan khawatir. Semua pasti lancar kalau ada Cinta." Erik tertawa renyah menanggapi kelakar Gunardi.

Erik melambaikan tangan singkat pada Gunardi sebelum berbalik menuju lift. Cinta berjalan dengan anggun di sebelahnya, seolah dia adalah sekertaris pribadi Erik sejak beberapa tahun terakhir. Cinta sangat pandai membawa diri dan membaca situasi. Dia bisa berperan jadi apa pun yang dibutuhkan oleh klien. Jadi rekan wanita, kekasih, istri, sekretaris, teman biasa, apa pun yang diinginkan darinya.

Di dalam lift, diam-diam Cinta mengamati pria di sebelahnya melalui pantulan di dinding lift. Cukup gagah. Usianya mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Gunardi. Badannya masih proporsional, tanpa ada timbunan lemak yang berlebihan. Rambutnya hitam tersisir rapi, hanya ada satu dua helai yang memutih. Wajahnya bersih dan tercukur rapi. Tak ada bekas cincin di jemarinya. Cinta tak bisa menebak apakah Erik masih lajang atau duda.

"Kita makan malam sama beberapa partner saya dari Singapura. Mereka naik penerbangan terakhir ke Jakarta. Saya mau lobi mereka supaya kasih proyek pembangunan apartemen mereka di sini ke perusahaan saya. Bantuin, ya," bisik Erik. Pria itu lumayan ramah.

"Saya usahain, ya," balas Cinta sambil tersenyum menenangkan.

Di restoran, Erik memesan meja untuk 6 orang. Pelayan membawa mereka ke salah satu meja di sudut ruangan.

"Kita tunggu sebentar. Mereka sudah jalan, kok," kata Erik setelah mereka duduk dengan tenang di meja yang disediakan. Cinta sadar beberapa kali Erik mencuri pandang padanya. Mungkin menilai penampilannya, atau mengagumi kecantikannya, Cinta tak tahu.

"Kamu cantik banget. Masih kuliah atau sudah lulus?" tanya Erik to the point.

"Masih kuliah, Mas."

"Ambil jurusan apa?"

"Ekonomi syariah." Erik mengangkat kedua alisnya tak percaya. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

"Interesting," ujarnya.

Erik hendak bertanya lagi ketika dia melihat tiga orang masuk ke restoran. Dua pria paruh baya dan seorang wanita yang berpenampilan efisien mendekati meja mereka. Erik dan Cinta bangkit untuk menyambut mereka.

Setelah saling berkenalan singkat, makan malam pun berlangsung akrab dan menyenangkan. Erik adalah pria cerdas yang seolah tak pernah kehabisan bahan obrolan. Setelah semua orang menyelesaikan makan malam, obrolan bisnis pun dimulai. Sedikit banyak, Cinta berusaha mengikuti dan masuk ke dalam pembicaraan mereka. Dia mempelajari bisnis. Jadi kelak, kemungkinan dia juga akan berkecimpung dalam hal-hal semacam ini.

Obrolan serius namun menyenangkan itu berujung sukses. Partner bisnis Erik setuju menyerahkan proyek apartemen mereka berikutnya ke perusahaan Erik sebagai kontraktor. Hal itu akan segera ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan berikutnya karena malam itu mereka harus segera pergi.

"Ah, great! Bawa hoki juga kamu, ya. Bisa diulang, nih," ujar Erik pada Cinta setelah tamu mereka berlalu.

"Ah, nggak juga. Mas Erik memang jago, kok. Tanpa saya, Mas Erik pasti tetep bisa." Cinta berusaha merendah. Dia tahu, pria-pria seperti Erik senang sekali disanjung.

"No. Pokoknya harus kita rayakan. Ayo,"ajak Erik. Cinta mengikuti pria itu bangkit dan beranjak dari kursinya. Cinta menunggu Erik membereskan pembayaran di kasir sebelum mereka masuk ke lift yang membawa mereka ke lantai di mana kamar Erik berada. Cinta menggandeng lengan Erik dengan manja. Pria itu tak keberatan dan justru kelihatan senang. Sepertinya kesepakatan bisnis tadi benar-benar bermakna penting bagi Erik.

"Aku mandi dulu, ya. Lengket." Erik membuka jasnya dan mengecup bibir Cinta sekilas.

"Oke. Saya tunggu di sini, ya. Jangan lama-lama." Cinta menggoda Erik dengan kemanjaannya.

Erik buru-buru mandi dan keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang terbelit di pinggang. Penilaian Cinta tidak salah. Tubuh Erik memang masih terawat. Sepertinya pria itu masih rajin berolahraga.

Tanpa menunggu waktu lama, Erik langsung menyerbu Cinta yang sudah siap menyambut di atas tempat tidur. Malam itu terasa singkat bagi mereka. Tak puas-puas mereka bergumul, bertukar posisi, silih berganti menggoda dan memuaskan hasrat terdalam sampai pagi menjelang.

Rasanya baru saja mereka lelap ketika alarm di ponsel Cinta berbunyi. Dengan mata berat, Cinta terpaksa beringsut turun dari tempat tidur. Ada kuliah pagi hari ini. Dia harus bersiap. Cinta memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan menuju kamar mandi. Kucuran air hangat terasa nyaman di tubuhnya. Dia ingin berlama-lama menikmati sensasi itu ketika tiba-tiba dia mendengar pintu kamar mandi terbuka.

Erik menyusul Cinta ke kamar mandi. Belum puas juga rupanya dia semalaman. Permainan kenikmatan itu masih berlanjut di bawah shower kamar mandi. Sensasi yang berbeda membuat mereka kembali saling bereksplorasi. Cinta harus menahan keinginannya untuk segera berangkat. Dia harus menuruti keinginan pelanggannya atau mereka akan kabur. Atau minimal, memberi bayaran pas-pasan dan melayangkan keluhan pada Gunardi. Cinta tidak bisa menerima hal itu, mengingat banyak hal yang sudah diberikan Gunardi padanya selama ini.

Cinta berpamitan pada Erik yang melepasnya dengan berat hati. Pria itu menyelipkan segepok uang ratusan ribu ke dalam clutch Cinta sambil mengantarnya ke depan pintu. Cinta melangkah cepat ke lift. Bila jalanan lancar, dia masih bisa pulang, berganti pakaian, dan datang ke kampus tanpa terlambat.

Cinta masuk ke dalam lift begitu pintu lift terbuka. Seorang pria muda berseragam dan tanda pengenal hotel mengangguk dengan sopan. Cinta balas tersenyum tanpa memandangnya.

"Ehm, Cinta?" sapa pemuda itu ragu. Cinta menoleh ke arah pemuda itu dan mengamati wajahnya. Cinta tak ingat pernah melihatnya.

"Iya?" jawab Cinta akhirnya.

"Eh, aku Ikram." Cinta menggeleng pelan. Nama itu tak memunculkan memori khusus di benak Cinta.

"Aku mantan murid Ustadz Zikri. Yah, walaupun nggak lama. Ustadz Zikri itu abangmu, kan?"

Mata Cinta melotot menatap Ikram sampai pemuda itu ketakutan. Berbagai pikiran membanjiri benak Cinta dengan satu kesimpulan yang sama. CELAKA!

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro