Cinta 3.5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nggak bisa, Bang. Sori. Yang lain aja, deh." Cinta mengempaskan pantatnya di bangku semen di bawah pohon yang menaungi mobilnya.

"Kenapa, sih? Sudah beberapa kali ini kamu nolak klien. Hmm, kamu mulai pilih-pilih, ya? Apa kurang besar lagi honornya?" Di ujung sambungan Gunardi menembak Cinta dengan beberapa kecurigaan.

"Bukan gitu, Bang. Masalahnya di hotelnya. Aku malas kalau di hotel itu."

"Kenapa memangnya? Kan itu hotel bintang lima. Kurangnya apa? Apa ada yang usil sama kamu?"

"Nggak, Bang. Cuman ...."

"Apa? Ngomong aja."

"Ada yang kenal aku di sana."

"Terus kenapa? Bilang aja kamu lagi ada pertemuan bisnis, penelitian, survey, atau apa gitu."

"Masalahnya dia tetanggaku, Bang. Dia kenal aku dan keluargaku. Dia tahu bagaimana aku ... dulu." Cinta enggan menjelaskan lebih jauh. Tapi dia yakin Gunardi sudah menangkap maksudnya. Gunardi sendiri juga sudah cukup lama mengenal Cinta. Dia pun sudah pernah menceritakan latar belakang keluarganya pada pria itu. Gunardi terdiam beberapa saat.

"Oke kalau gitu. Aku kasih ke yang lain aja. Tapi kamu masih mau kalau di tempat lain, kan?"

"Iya, Bang." Cinta mengembuskan napas lega.

"Sip. Jangan ke mana-mana, ya. Weekend ini kayaknya banyak tamu." Gunardi memutuskan sambungan. Cinta masuk ke dalam mobil dan memacunya menuju tempat kos.

Hari masih belum gelap. Cinta berencana untuk pergi ke kelab malam nanti. Sudah lama dia tidak bersenang-senang. Sekadar berdansa, menikmati musik, sedikit minum, dan mengobrol dengan beberapa kenalan pasti akan menyenangkan. Cinta meraih ponselnya dan menghubungi Roxy. Sudah lama sekali mereka tidak saling menghubungi. Mereka berjanji untuk bertemu di sebuah kelab nanti malam.

"Gile, makin ajib aja lo, Say," komentar Roxy ketika akhirnya bertemu dengan Cinta malam itu. Penampilan Cinta jauh berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu di awal kuliah dulu. Kali ini Cinta tampak sangat seksi dengan dress mini warna silver yang berkerlip meriah terkena lampu diskotik. Paha mulusnya makin tampak jenjang ditonjolkan oleh potongan super mini roknya. Tali spaghetti dengan belahan dada rendah dan punggung yang juga terbuka memamerkan kulit putihnya yang tanpa cela. Setiap mata yang menatapnya pasti dibuat kagum pada keindahan tubuh gadis itu. Beberapa pria muda terang-terangan menunjukkan ketertarikannya, tapi Cinta seolah tak melihatnya.

"Tuh, cowok-cowok langsung pada ngiler lihat lo." Roxy menganggukkan dagunya ke arah meja bar yang terisi beberapa cowok dan semuanya menatap Cinta dengan pandangan lapar. Cinta hanya tertawa sinis.

"Gimana kuliah? Lancar?" tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.

"Basi, ah." Roxy mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah. Mereka tertawa. Seorang pelayan mendatangi meja mereka dan meletakkan dua gelas minuman yang langsung mereka tenggak tanpa basa-basi.

Malam berjalan lambat, gelas demi gelas memenuhi meja Cinta dan Roxy. Dua pemuda memberanikan diri mendekati mereka dan akhirnya mereka mengobrol berempat. Pemuda yang duduk di dekat Roxy mengajak mereka turun berdansa bersama pengunjung lain yang sudah lebih dulu melantai, mengikuti dentum rancak irama yang dimainkan sang DJ. Cinta dan pemuda yang ada di sebelahnya akhirnya juga ikut turun bergoyang. Berhadapan, saling menyentuh, merapatkan tubuh dengan goyangan yang menggoda.

Cinta dan pasangannya akhirnya kembali ke meja mereka lebih dulu. Roxy masih asyik di lantai dansa bersama pemuda berambut ikal.

"Cabut, yuk," ajak pemuda yang bersama Cinta. Gadis itu melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul 3 pagi. Pantas saja dia sudah merasa lelah. Sepertinya kombinasi beberapa gelas alkohol dan lama tak berolahraga jadi membuat Cinta lebih cepat lelah. Dia menyetujui usul cowok itu.

"Ke tempatku aja, ya. Besok pagi aku antar lagi ke sini ambil mobilmu." Cinta mengangkat bahu tak peduli. Dia tahu apa yang diinginkan pemuda itu. Tubuhnya. Sama seperti pria-pria lain. Dan Cinta tak keberatan. Pemuda di sampingnya tampaknya tak berniat jahat. Penampilannya rapi, maskulin, cukup menawan, dan wangi. Pemuda itu mengemudikan mobilnya menuju sebuah komplek perumahan tak jauh dari pusat kota.

"Kamu tinggal sendiri?" tanya Cinta begitu mereka menginjakkan kaki di ruang tengah. Rumah itu lumayan besar. Cinta menatap ke sekeliling ruangan.

"Iya. Aku asal Jakarta. Ini rumah kakakku. Tapi mereka lagi di luar negeri, ikut suaminya sekolah S3." Cinta menatap sebuah foto berukuran besar yang tergantung di atas televisi lebar. Pasangan muda dengan seorang anak lelaki berumur sekitar 3 tahun.

"Iya, itu kakakku. Mau minum?" Cowok itu membuka kulkas sambil memandangi isinya. "Tapi cuma ada soda sama bir kalengan."

Cinta menerima minuman ringan yang diulurkan pemuda itu. Setelah minum beberapa teguk, pemuda itu mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Cinta. Gadis itu diam saja, hanya menatap dengan matanya yang mulai memberat. Pemuda itu mengambil kaleng minuman dari tangan Cinta dan meletakkannya di atas meja. Tanpa basa-basi, cowok itu melingkarkan lengannya ke pinggang Cinta, melumat bibirnya sambil mendorong tubuh Cinta memasuki kamar. Dini hari itu mereka saling memuaskan hasrat hingga akhirnya lelap kelelahan.

*

Suara ponsel membangunkan Cinta. Sinar matahari menembus gorden cokelat muda yang menutupi jendela kamar. Cinta melirik cowok yang masih lelap di sebelahnya.

"Halo," jawab Cinta.

"Hei, Cin. Bangun tidur? Sori ya, ganggu. Cuman mau kasih tahu, nanti sore bisa, kan?" Suara Gunardi di ujung sambungan menyambut pagi Cinta. Gadis itu berusaha mengingat-ingat hari apa sekarang, dimana dia, dan apa yang sudah terjadi. Memorinya agak dikaburkan oleh beberapa gelas alkohol semalam. Kepalanya masih terasa berat, tapi dia harus bangun. Cinta menutup telepon setelah menyanggupi tawaran Gunardi.

Cinta mengenakan lagi pakaiannya yang terserak di lantai. Pemuda itu masih belum bangun sampai dia selesai berpakaian. Akhirnya Cinta memutuskan untuk langsung pergi tanpa membangunkannya. Dia bisa menelepon taksi untuk mengantarnya ke tempat mobilnya terparkir. Sudah pukul 9 lewat. Tempat parkir itu pasti sudah buka.

Di dalam taksi Cinta melamun. Sudah cukup lama sejak dia terakhir kali bersenang-senang sesuka hatinya seperti semalam. Hampir dua tahun terakhir, sejak kasusnya di diskotik waktu itu, dia disibukkan dengan "job-job" yang dikirimkan Gunardi. Bukannya Cinta tidak senang. Semua kebutuhannya terpenuhi, bahkan berlebih. Tapi tetap saja ada sesuatu yang mengganggunya.

Dalam mobil yang dipacunya pulang ke tempat kos, Cinta masih memikirkan pemuda yang bersamanya semalam. Brian? Berny? Entahlah. Cinta bahkan tak bisa mengingat namanya. Dia yakin cowok itu pun tak terlalu perhatian ketika mereka berkenalan. Apalagi Cinta hanya memperkenalkan dirinya sebagai CJ. Sepertinya mereka tak akan bertemu lagi. Cinta berusaha untuk tak memikirkannya lagi.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Cinta tepat ketika dia baru keluar dari kamar mandi. Dia merasa segar setelah berlama-lama di kamar mandi, membiarkan shower air hangat memberikan pijatan lembut di tubuhnya. Cinta membaca pesan sambil mengeringkan rambutnya. Hotel Queena. Hotel bintang 4 masih di sekitar pusat kota. Cinta sudah pernah menemani beberapa klien di sana.

Di waktu yang sudah disepakati, Cinta meluncur ke hotel Queena. Gadis itu tampak anggun dalam dress simpel warna krem. Walaupun penampilannya sederhana dengan riasan natural, tak ada aksesoris atau perhiasan berlebihan, tetap saja sosok Cinta mencuri perhatian semua orang yang ditemuinya. Gadis itu memang bukan tipe orang yang bisa diabaikan begitu saja kehadirannya. Tubuh bongsor, wajah cantik, dan pembawaannya yang anggun sulit untuk dilewatkan.

Seorang pria jangkung bersetelan rapi berumur sekitar 50 atau sedikit di bawah itu, menemui Cinta di kafe hotel. Mereka mengobrol sambil minum beberapa saat sebelum akhirnya naik ke kamar pria tersebut.

*

"Cinta!" Suara seorang pria menghentikan Cinta ketika dia hendak membuka pintu mobilnya di tempat parkir basement hotel. Cinta berbalik dan mendesah malas.

"Kamu lagi. Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu kerja di Asyila?" Ikram, pemuda tetangga desanya yang pernah memergokinya di hotel Asyila melangkah mendekat dengan cepat.

"Aku ngikutin kamu," jawabnya terus terang. Cinta mengangkat alis indahnya.

"Nggak ada kerjaan lain yang lebih berguna?" sembur Cinta sambil melemparkan tas tangannya ke kursi penumpang mobilnya. Tangan Ikram menahan lengan Cinta yang sudah hendak masuk ke dalam mobilnya.

"Aku tahu yang kamu lakuin, Cinta."

"Terus kenapa? Ada urusan apa kamu sama kelakuanku?"

"Cinta, tolong pikir lagi! Di mana kehormatanmu? Mana harga dirimu?" Ikram merendahkan suaranya, memberi tekanan pada kata-katanya.

"Memang. Memang aku nggak punya kehormatan lagi. Aku nggak punya harga diri. Aku butuh uang. Aku mau senang-senang. Kehormatan sama harga diri nggak akan bisa kasih aku kehidupan yang aku mau. Kamu nggak perlu ikut campur sama hidupku karena kamu nggak tahu apa-apa tentang hidup aku."

"Cinta! Terserah kalau kamu mau merusak dirimu. Itu memang bukan urusan aku. Tapi pikirkan juga keluargamu. Orangtuamu yang sudah mendidik dan menjaga kalian. Abang-abangmu yang sangat disegani. Aku nggak bisa tinggal diam ngelihat kamu merusak nama baik mereka." Cinta terdiam sejenak mendengar nama orangtua dan kakak-kakaknya disebut.

"Terus, mau kamu apa?"

"Tolong sudahi semuanya, Cinta. Hentikan pekerjaanmu ini. Cukupkan sampai di sini." Cinta terdiam. Tak bisa menjanjikan apa pun. Ikram menatap Cinta, menunggu. Tapi Cinta tak kunjung bersuara.

"Aku nggak bisa menjamin bisa tetap merahasiakan hal ini," sambung Ikram.

"Kamu ngancam aku?" Ikram mengangkat bahu menjawab pertanyaan Cinta. Gadis itu melengos, masuk ke dalam mobil dan memacunya meninggalkan basement. Meninggalkan Ikram yang mematung dengan pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro