Cinta Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seriously? Ih, keren banget Kak Ardi. Terbaik." Cinta membelalakkan mata sambil berseru heboh menanggapi berita yang didengarnya. Ardi, kakak kelas mereka, lulus dengan nilai UN tertinggi seprovinsi Jawa Barat.

"Terus, jadi ke MIT dong?" tanya Cinta pada Clarissa, teman sebangkunya. Burger hangat yang terhidang di depan mereka sejenak terlupakan.

"Jadi dong. Katanya sih bulan depan berangkat. Mau persiapan dulu gitu." Clarissa menambahkan informasi sambil membuka bungkus cheeseburger ala kantin Nobel Intercultural School. Cinta ikut membuka burgernya sambil sibuk memikirkan sesuatu.

"Mikir apaan, Cin?" tanya Clarissa melihat Cinta menikmati burgernya tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Ehm ... iya. Mikirin kakak-kakak kelas kita yang pada kuliah di luar negeri. Keren-keren banget, ya." Cinta tergeragap dan menelan kunyahan terakhir dengan cepat.

"Kamu kan nanti juga bakalan nyusul. Keren kayak mereka." Clarissa menggoda temannya itu. Pipi Cinta bersemu merah. Clarissa tahu betul kalau Cinta sangat ingin melanjutkan kuliah di Amerika. Itu mimpi besar Cinta. Saking seringnya Cinta menceritakan hal itu sampai Clarissa hafal di luar kepala. Tapi Clarissa melihat sekilas keraguan di wajah teman sekelasnya sejak SMP itu. 

"Kenapa, Cin?" tanya Clarissa hati-hati. Gadis berambut kecokelatan di depannya itu menghela napas sebelum menjawab.

"Aku belum dapat izin dari orangtuaku," keluh Cinta. Dia mengaduk-aduk jus tomat-wortel yang tinggal sedikit dalam gelasnya.

"Tapi kamu belum nyerah, kan? Ini kan mimpi kamu, cita-cita kamu dari dulu banget. Kalau memang kamu bener-bener pengen, kamu harus perjuangkan, Cin. Masih ada waktu. Semangat!" Clarissa mengepalkan tangan kirinya, memberi semangat pada Cinta.

Cinta memandang Clarissa dengan tatapan yang seolah ingin mengatakan 'yeah-right'. Clarissa memang teman baiknya, tapi mereka sangat berbeda. Clarissa anak pengusaha minuman kemasan yang sudah ternama. Kakak-kakaknya semua lulusan universitas luar negeri. Bahkan kakak perempuannya yang nomor tiga, kini menetap di Texas mengikuti suaminya yang asli warga Amerika. Tentu bagi Clarissa, sekolah di luar negeri bukan hal yang sulit atau luar biasa. Berbeda halnya dengan Cinta.

Bel tanda masuk kelas berbunyi. Jam terakhir praktikum di lab kimia. Pak Kris membuat demonstrasi menarik tentang memanfaatkan permen jelly sebagai sumber energi. Tapi ketika bel pulang sekolah berbunyi, pikiran Cinta lagi-lagi kembali pada obrolan di kantin tadi. Tentang mimpi-mimpi lamanya untuk sekolah dan berkarier di luar negeri.

"I'm home," kata Cinta sambil melepas sepatu dan melemparkannya ke rak sepatu. Ibu dan Ayahnya masih belum pulang. Hanya ada Bi Ani. Pembantu pulang-pergi, warga kampung seberang jalan yang setia bekerja di sana sejak Cinta kecil. 

"Siang, Neng Cinta. Makan, Neng?" Bi Ani menyapa ramah. Cinta menggeleng sambil berjalan ke kamarnya.

"Satria sudah pulang, Bi?" tanya Cinta. Menanyakan adik semata wayangnya yang duduk di kelas 2 SMP.

"Sudah, Neng. Tapi barusan berangkat lagi. Mau futsal katanya," jawab Bi Ani sambil menutup lagi tudung saji di atas meja makan.

Cinta masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengganti baju seragamnya dengan kaus dan celana pendek, dia merebahkan badan di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi bintang-bintang kecil dari plastik yang akan berpendar kehijauan dalam gelap. Kamarnya kecil, tak seperti kamar Clarissa yang luar biasa luas itu. Mana mungkin punya kamar besar di rumah kompleks seperti ini. Dinding kamar Cinta nyaris penuh dengan tempelan. Poster, peta, brosur, dan foto orang ternama menghiasi dinding kamarnya.

Peta Amerika, peta negara bagian California, peta Los Angeles, tempat-tempat terkenal di Los Angeles, foto kampus UCLA, denah UCLA, dan foto-foto beberapa orang yang sepertinya ternama. Foto artis Mila Kunis, Nicholas Cage, Milo Ventimiglia, dan entah siapa lagi diletakkan dalam satu poster besar dengan tulisan Notable Alumni of UCLA in Showbiz. Masih ada beberapa poster lagi yang menampilkan wajah-wajah orang yang lebih kurang terkenal dibanding poster tadi. Cinta bahkan memajang logo UCLA di dinding atas kepala tempat tidurnya yang bersprei motif bendera Amerika. 

Pendeknya, begitu masuk kamar Cinta, kamu akan merasa seperti berada dalam kamar ABG asli Amerika. Bahkan, saking lebay-nya, Clarissa pernah berkata bahwa seseorang perlu paspor dan visa US kalau masuk kamar Cinta.

Cinta bangkit dari tempat tidurnya, mendekati komputer di sebelah meja belajarnya dan memainkan playlist tetap yang sudah terlalu sering diputar sampai Cinta hapal semua lagunya. Tentu saja, semuanya lagu artis kenamaan Amerika.

Cinta duduk di kursi dan membuka peramban. Dia mengetikkan kata UCLA admission di kolom pencari lalu menekan tombol enter. Sudah terlalu sering dia melakukan ini sampai dia hapal dengan hasilnya. Jadwal, persyaratan, sampai perkiraan biaya yang dibutuhkan. Dia sudah sering menyinggung hal ini pada Ibu maupun Ayahnya, tapi mereka selalu mementahkan keinginannya. 

Bagaimana lagi? Orangtuanya hanya aparat negara dengan gaji pas-pasan, tak memiliki bisnis sampingan, dan tak punya kerabat kaya raya atau koneksi penting yang mungkin dimintai bantuan untuk mewujudkan mimpi besarnya itu. Cinta mati-matian ingin disekolahkan di SMU internasional, seperti sekolahnya sekarang, dengan harapan akan ada fasilitas khusus yang memungkinkan baginya untuk menemukan jalan menuju Amerika. Tapi ternyata tak semudah itu.

Suara sepeda motor mendekat dan berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian terdengar suara Ibu Cinta mengobrol dengan Bi Ani. Cinta masih asyik berselancar di situs kampus impiannya ketika suara ketukan di pintu kamarnya terdengar, disusul dengan wajah ibunya yang muncul di sela pintu yang terbuka.

"Sudah pulang? Kata Bi Ani kamu belum makan. Mau makan sekarang?" tanya ibu sambil mendekat. Dia masih mengenakan seragam cokelat kepolisian tapi sepatunya sudah berganti dengan sandal rumah.

"Aih, nggak bosen-bosen kamu lihatin kampus itu terus, ya," komentar ibu demi melihat apa yang sedang dibuka Cinta di layar komputernya. Cinta merasa ini kesempatan untuk membicarakan hal ini lagi dengan ibunya.

"Tadi Cinta denger, salah satu kakak kelas ada yang berangkat ke Amerika bulan depan, Bu. Mungkin dia bisa carikan referensi buat Cinta. Entah buat admission atau buat beasiswa. Cinta bisa cari beasiswa, Bu. Jadi Ayah sama Ibu nggak perlu keluar banyak biaya." Dengan menggebu-gebu Cinta mengemukakan isi pikirannya. Ibu Cinta tersenyum dan duduk di atas tempat tidur.

"Iya, Ibu tahu. Tapi beasiswa kan nggak berarti semuanya gratis, Cin. Paling uang kuliah. Keperluan sehari-hari kan tetep harus dipikirin." Cinta terdiam sesaat.

"Cinta bisa cari kerja sambilan, Bu." Cinta pernah melihatnya di film-film. Mahasiswa kuliah sambil kerja sambilan di restoran atau toko. Mungkin dia juga bisa melakukan hal itu.

"Itu nggak segampang seperti yang kamu pikirkan. Belajar di sana itu berat. Kamu harus disiplin, kerja keras. Kamu belum tahu apa nanti tugas-tugasmu banyak atau nggak. Keperluanmu banyak atau nggak. Kamu sanggup ngikutin kurikulumnya atau nggak." Ibu melihat kekecewaan di wajah anak gadisnya. Dia mendekati Cinta dan mengelus bahunya.

"Ibu nggak mau mengecilkan semangatmu. Ibu yakin kamu pintar. Bisa masuk universitas mana pun yang kamu mau. Ibu cuma pengen kamu pikirkan lagi. Kuliah S1 di Indonesia saja dulu. Universitas di sini kan banyak yang bagus juga. Setelah itu, kalau mau ambil S2 dan S3 di Amerika, terserah kamu." Ibu berusaha membujuk Cinta. Dia diam saja. Ibu menepuk bahu Cinta lagi sebelum melangkah keluar kamar.

"Kita makan setelah Ayah datang, ya. Sebentar lagi." Ibu menutup pintu kamar Cinta setelah dia berlalu. Cinta beralih ke tempat tidurnya lagi, meninggalkan komputernya tetap menyala. Lagu Ed Sheeran masih mengalun menemani lamunan Cinta.

Mata Cinta beralih dari satu poster ke poster lain yang menghiasi dinding kamarnya, lalu berhenti di hiasan kayu yang tergantung di atas meja belajarnya. Hiasan kayu berukir, buatan ayahnya sendiri di ulang tahunnya yang ke-10. Terpahat nama dan tanggal lahirnya. 

CINTA NUSANTARA

17 Agustus 2000

Tak lama kemudian suara sepeda motor lain mendekat dan berhenti di depan rumah. Itu pasti ayah, pikir Cinta. Dia tak berharap banyak untuk bisa meyakinkan ayahnya. Pria yang sudah hampir 20 tahun mengabdi di TNI AD itu malah pernah menawarinya untuk mendaftar tentara. Ayah memang tak pernah secara langsung menampik permintaan Cinta untuk kuliah di luar negeri, tapi secara tak langsung, dia memberinya alternatif lain untuk kuliah di sini atau mendaftar tentara. 

"Jadi tentara? Pakai seragam? Lari-lari? Latihan merayap sambil bawa ransel sama senapan kayak Ayah?" Cinta bereaksi keras waktu pertama kali ayahnya menawari untuk masuk tentara waktu itu.

"Kan gagah, Cin. Kamu nggak lihat Mbak-Mbak KOWAD itu? Keren, kan?" balas ayahnya.

"Keren apanya? Udah capek, panas-panasan, kalau perang disuruh maju paling depan, tapi gajinya kecil. Kalau hilang nggak dicariin. Kalau ketangkap musuh nggak dibelain." Cinta menjawab spontan. Dia pernah mendengar teman-teman ayahnya mengatakan hal itu ketika mengobrol. Entah serius atau bercanda, Cinta tak yakin betul. Tapi Cinta tahu kalau gaji orangtuanya memang kecil.

Ayah dan ibunya hanya tergelak waktu itu, tanpa menanggapi lebih jauh tentang kebenaran kalimatnya.

"Nak, Ayah dulu kasih nama ada maksudnya, lho. Biar kamu benar-benar cinta bangsa dan negara Indonesia. Seperti namamu. Kayak Ayah dan Ibu. Nggak tahunya kamu malah mikirnya Amerikaaa terus." Ayah masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ibu hanya tersenyum di sebelahnya.

"Apa kerennya Indonesia? Bagusan juga Amerika. Maju, semua ada. Bebas berekspresi. Gak segala-gala dilarang kayak di sini." Cinta berargumen. Dari film, serial, dan buku-buku yang dibacanya, dia sudah cukup banyak mengetahui tentang Amerika. Kebebasan berpendapat di sana. Kebebasan berekspresi. Penghargaan tinggi terhadap prestasi tanpa melihat latar belakang lain. Perlindungan terhadap hak azasi. Dan segala kemajuan teknologi yang mereka miliki.

"Kamu masih kecil, Cin. Kamu belum tahu aja apa yang sudah Amerika lakukan pada negara-negara lain atas nama hak azasi. Kamu baru tahu bagus-bagusnya aja. Nanti kalau kamu sudah makin besar, pasti kamu paham." Ibunya ikut menimpali. Dan obrolan sore itu pun berakhir di situ. Dalam hati, Cinta masih menolak memercayai apa yang dikatakan orangtuanya. Dia tetap bersikeras pada keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke Amerika.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

"Cinta, ayo makan." Suara ibu memanggil dari luar. Cinta bangkit dengan malas. 

Entah bagaimana cara meyakinkan orang tuanya. Mungkin dia akan memikirkannya lagi setelah makan nanti.

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro