Aku Ingin Kakak, Mama!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ibu pernah memberitahuku, jangan terlalu dekat dengan Kakak. Saat kutanya kenapa, Ibu bilang Kakak punya sifat yang sama dengan Ayah. Memangnya Ayah punya sifat apa?

Kalian tahu 7 dosa besar? Sombong, Iri, Marah, Malas, Serakah, Rakus dan Hawa Nafsu. Ayahku mempunyai ketujuhnya.

Ya. Aku punya Ayah brengsek serta Kakak sialan.

Ini curhatan kecilku sebelum aku menyerah atas segalanya. Memang, kesabaran manusia itu ada batasnya. Dan aku sudah mencapainya.

Namaku Ray, kelas 3 SMP. Aku tidak tahu pekerjaan Ayahku. Yang jelas, dia mendapat uang dari hasil ceramahnya. Dia berpikir hanya dia yang bisa 'mencerahkan pikiran' siapa pun.

Ayah bermuka manis, bermulut sopan, di hadapan para tamu. Memanipulasi mereka semua. Tetapi di belakang, dia membentak-bentak Ibu yang kerjanya lamban saat memasak makanan untuk mereka. Segala macam bunyi umpatan keluar dari mulutnya itu. Segala macam bentuk sindiran terucapkan, menampar keras hati Ibu.

Menjadikan orang di bawahnya sebagai pesuruh. Jika terjadi suatu kesalahan, dia pasti mengamuk marah dan mengusir mereka. Menyindir halus dengan kata-kata bijaknya.

Bagaimana tidak? Di rumahku ini bagai sel penjara. Semua orang harus mengerjakan kewajibannya jika tidak mau diusir. Dan dialah Raja di tempat ini. Aku akan senang hati keluar dari rumah ini. Aku tidak menyebutnya rumah melainkan penjara. Tidak bisa ke mana-mana. Bahkan tidak untuk bepergian selain ke sekolah dan pasar atau dia sendiri yang menyuruh.

Aku sesekali pernah berpikir untuk memasukkan obat ke kopinya supaya dia mati, tapi kutahan. Bagaimanapun, sebrengsek apa dia, dia tetap Ayahku. Berkatnya—yang tidak pernah kuminta—aku lahir ke atas bumi ini.

Bertahun-tahun Ibu sepertinya tidak kuat lagi dan YME mengambil nyawa Ibu. Ironisnya Ayah menangis-nangis di makam Ibu, menyesal entah menyesalkan apa. Itu air mata buaya, hmm?

Munafik. Kenapa kau baru menangis sekarang? Ke mana saja kau saat Ibu menangis dalam diam selama ini? Kau yang membunuh Ibu. Dengan segala tindakan dan mulut kasarmu telah melukai hati Ibu. Aku hanya bisa menahan marah di pemakaman Ibu.

Berbulan-bulan kemudian, keadaan kembali normal.

Semua bermula dari uang jajan. Ayah memberi jajan lima puluh ribu ke Kakak sementara aku diberi lima ribu.

Tentu aku tidak terima. Secara, aku ini anak sekolahan. Butuh uang lebih untuk membeli buku dan tetek bengeknya. Sedangkan Kakak, dia tidak melanjutkan SMA karena malas jalan kaki.

Hahaha. Alasan brilian. Oh, aku lupa. Dia pernah mengumumkan 'Dia Putri di Rumah Ini'. Jadi, Putri tidak perlu repot-repot sekolah. Dan Raja akan memenuhi semua kebutuhan Putri pertama, mengabaikan aku si putri kedua yang tak berguna baginya.

Aku tahu apa yang mereka lakukan. Aku tahu apa yang Ayah inginkan dari Kakak sampai memberi segalanya saat Kakak merengek. Setiap hari rabu dan sabtu, mereka selalu tidur bersama di kamar yang berbeda dariku.

Aku melihatnya. Mereka bersetubuh.

Hebat sekali. Pantas saja aku diperlakukan tidak adil karena tidak memuaskannya. Berbeda dengan Kakak.

"Uang lagi, uang lagi. Berhenti aja sekolah sekalian." Begitu ucap Ayah yang membuatku tertawa miris.

Oke, aku terima. Beruntung aku mendapat beasiswa dan bisa membeli kebutuhanku. Aku tak butuh uang dari Ayah. Aku tak butuh bantuan dari dia.

"Kak, Kakak nggak nyuci? Hari panas lho," celetukku menatap ke luar jendela.

Kakak yang sedang memainkan ponsel, mengibaskan tangan tanpa menatapku. "Kau sudah pulang, kan? Nyuci sana."

"Tapi aku capek, Kak."

"Capek juga nih. Sana. Ntar panasnya hilang."

Oke, aku terima.

"Ray, tolongin Kakak motong bawang. Kakak mau bikin nasi goreng."

"Lagi bikin PR, Kak."

"Nanti Kakak bantuin."

Setelahnya Kakak bermain ponsel, tidak peduli pada permintaanku membantu mengerjakan tugas sekolah.

Oke, aku terima.

"RAY SIALAN! GAK ADA GUNA KAU HIDUP! APA SALAHNYA MEMASAK ITU SAAT AKU PERGI? KAU PIKIR MENYENANGKAN BERSAMA AYAHMU? KAU INI PEREMPUAN ATAU JANTAN?! OTAK GAK DIPAKE."

"Aku tidak tahu caranya, Kak."

"Mati saja sana."

Oke, aku terima.

Saat Kakak demam atau menstruasi, dia selalu bergantung padaku. Mengambil ini-itu, kompres, nasi, air di kulkas. Dan dia masih memelototi layar hape. Entah apa yang dia lihat di dalam benda petak eletronik itu.

Dan ketika aku demam—

"Ray, nggak nyuci? Nyuci sana. Bajuku sudah tidak ada."

"Demam, Kak. Bisa tidak sekali ini saja Kakak yang mencuci?"

Kakak memasang wajah khas orang-orang kelelahan dari pekerjaan mereka. "Sumpah, Kakak capek beneren. Semua tangan Kakak pegal."

Bagaimana tidak? Sakit atau tidak, kau terus menatap layar hape.

Capek katamu? Apa kerjamu selain bermain hape dan menemani Ayah ketika pergi ke luar? Kau tidak tahu apa yang kulakukan? Memasak, mencuci, bersih-bersih kamar agar tidak bernyamuk mengingat kau selalu mengeluh saat malam tiba. Dan kau selalu membentakku bilang aku tidak berguna. Kau pikir aku tidak lelah gitu?

Oke, aku terima.

"Kau tidak lihat, Yah, kalau Ray sedang mengumpat di dalam hati? Dia pasti tengah mengata-gataiku," sembur Kakak saat melihatku menahan emosi di dada, melakukan apa yang harus dilakukan Kakak. "Tapi aku tidak peduli sih. Bodo amat."

Aku tertawa yang lama-kelamaan mataku memanas.

Di kamar, aku mengurut lengan yang pegal karena kerja terus-menerus tanpa bantuan. Selesai memasak makanan, si Kakak berulah lagi hendak membuat makanan alanya. Aku ingin menolak membantu karena itu urusannya. Dia kan yang mau, kenapa mengangguku?

Tapi apalah daya. Telingaku sudah capek mendengar bentakannya; aku tidak berguna, aku tidak berotak, aku hanya parasit karena tidak bisa apa-apa.

Oke, aku terima.

Kakak menangis karena tangannya terluka berkat tergelincir di halaman. Aku sudah mengingatkan jangan pakai sendal karena hujan semalam membuat tanah jadi licin, tapi dia tak mendengarkan. Katanya jijik dengan lumpur.

Ayah heboh. Dia menelepon ambulan, segera mengantarkan Kakak ke rumah sakit.

"RAY BODOH! KENAPA KAU TIDAK MENGINGATKAN KAKAKMU SEMALAM TURUN HUJAN? UNTUNG YANG TERLUKA TANGANNYA. ANAK TAK BECUS! ATAU KAU SENGAJA MENCELAKAI KAKAKMU KARENA IRI AKU LEBIH MENYAYANGINYA? ITU. KARENA. KAU. TIDAK. BERGUNA. BAGIKU. AKU MEMBUATMU UNTUK MELINDUNGI KAKAKMU."

Aku terkekeh, menatap langit sendu. Kekehanku semakin kencang, digantikan isak. Isak menjadi tangis.

Oke, aku terima.

Aku selesai memotong bawang. Kakak katanya mau membuat pempek hari ini. Padahal PR-ku setumpuk.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu?" tanya Kakak menatap sinis.

Aku berhenti melangkah, berbalik sembari melemparkan senyuman hampa. "Lho, kenapa? Bukankah Kakak sendiri bilang tidak peduli aku bersumpah serapah di dalam hati?"

"Kau memang tidak berguna. Kerjamu hanya segini sudah pandai melawan. Apa gunanya kau hidup jika bukan untuk melakukan ini? Mati saja sana."

Hanya segini? Aku sudah melakukan yang terbaik, Kak. Yang terbaik dari yang terbaik. Tetapi percuma melakukannya karena yang kulakukan itu tidak berguna di mata kalian.

Angin sepoi-sepoi menerpa anak rambut. Pemandangan kota kalau dilihat dari atap sekolah memang indah. Aku bisa melihat danau di bawah jembatan rel kereta. Terlihat jernih dari kejauhan.

Sepulang sekolah, aku mampir ke sana. Menanggalkan sepatu dan merendam kaki sampai lutut. Airnya dingin dan sejuk. Perlahan aku makin maju ke depan, menuju bagian dalam.

Mendongak menatap langit, aku tersenyum.

Aku ingin Kakak, Mama. Yang menyayangiku bukan menyiksaku. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro