1. Fuuga dan Mika

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lelaki belasan tahun menyatakan cinta kepada seseorang yang telah membuatnya berdebar-debar ketika dua netra mereka bertemu. Kemudian, si gadis mengungkapkan hal yang sama kepada laki-laki tinggi di hadapannya. Semua yang hidup pernah menaruh rasa ketertarikan unik terhadap makhluk lain yang mampu membuat dirinya tersipu.

Jauh dari apa yang pernah manusia pikirkan, fondasi-fondasi semesta pun menyisihkan ruang tersendiri untuk saling memadu kasih.

Suram, gelap, dan dingin. Selama ini angkasa selalu begitu. Tidak ada senyum dan tawa, meski semesta tak pernah meneteskan air mata. Bintang, bola semi pejal yang pertama kali menarik sudut bibirnya ke bawah. Memancarkan cahaya, meniup kegelapan dan hawa dingin menjauh dari sisi teman-temannya.

Mereka mulai saling memandang satu sama lain, merasakan ketertarikan, lalu berjalan beriringan membentuk lingkaran keluarga masing-masing.

Dua pasang jemari yang bertautan itu selalu mampu menumpahkan kenyamanan pada anak-anak. Segala partikel mikro maupun benda makro yang berada dalam jangkauan sang penjaga merasa terlindungi, nyaman, dan tenang. Ketakutan akan kesendirian bila si hitam yang rakus memangsa si kecil sudah terbuang jauh. Sebab semuanya tahu, meski takdir memberi titah pada benda maha padat nan gelap untuk melahap serta menyapu bersih isi semesta, mereka tidak lagi menangis sendirian.

Berdua, bertiga, dan ber-ber lainnya, suka sama-sama, susah sama-sama.

Di salah satu sudut rongga tanpa batas, entah kamar nomor berapa, ada bintang yang suka tidur di pojokan. Menghindari keramaian, dia tidak sekali pun terlihat mengikuti ajang unjuk gigi di depan khalayak. Namanya Fuuga, tetapi Mika biasa memanggilnya Fuu.

Mika hanyalah satu butir debu dari sekian debu yang tubuhnya bahkan tidak bisa Fuuga pandang dengan jelas. Pernah sekali, mereka mengobrol dan si bola tampan membelakangi Mika. Namun, sekeras apapun serbuk halus mungil itu mencubit lengan Fuuga, pemilik cahaya paling terang yang dia kagumi mana pernah mengaduh kesakitan.

Walau begitu, warga mansion J-19 Lmaoo tidak pernah mendapati keduanya bertengkar. Apalagi sampai enggan menyapa satu sama lain. Para tetangga yang tak pernah rusuh di sekitar orbit Fuuga sudah memandang mereka seperti keluarga, kakak dan adik yang saling melengkapi. Sayangnya, opini demikian bertolak belakang dengan apa yang bintang 9 miliar tahun dan sebiji debu kosmik rasakan.

Fuuga merasa semakin sulit tidur jika tidak bersama Mika. Sedangkan Mika sendiri semakin sulit mengatur detak jantung bila iris gelapnya memandang netra menyilaukan milik Fuuga. Kemarin, keduanya tidak mengobrol sampai seharian.

Setelah kejadian itu, beberapa hari ke depan Mika lebih sering berbicara dengan sesama butiran debu. Tentu saja hal itu membuat Fuuga resah. Dirinya sempat bertanya-tanya dalam hati sambil meringkuk di pojokan, “Apa yang sudah aku perbuat sehingga Mika menghindar?”

“Apa aku terlalu tampan dan menyilaukan?”

“Apa bola mata kecil milik Mika akan terbakar jika terus-terusan melihat pesonaku?”

Bukan, bukan Fuuga yang berani menyombongkan diri begitu.

Getaran bunyi dengan irama menyebalkan itu hanyalah suara dari teman Fuuga yang menelepon. Padahal mereka dekat, hanya jarak 5,3 juta tahun cahaya saja sampai telepon-teleponan. Sesama bintang tampan bernama Ray-up 101 yang sempat mengaku sebagai kakak kembarnya itu punya suara bagai lengkingan seorang pria yang melihat istrinya mau ditembak mati, membuat Fuuga senantiasa menjauhkan batang telepon dari indra pengecap suara miliknya.

Berjam-jam mereka membahas sesuatu yang random. Bintang yang selalu jadi idola Mika pun tidak menyadari bahwa debu pujaannya mengawasi dalam diam. Mika sama sekali tidak senang mengetahui ada pihak lain yang membuat Fuuga bisa melepas tawa selain dirinya. Sungguh, Fuuga itu raja bintang yang kalem dan bijaksana, menurut Mika tidak sembarang pihak bisa membuat rahangnya terbuka lebar secara sukarela.

“Kita tak mungkin bersama selamanya. Aku tidak ingin kamu ikut lenyap bersamaan dengan kehancuranku 1 miliar tahun yang akan datang.”

Baru saja Mika selesai menyatakan ungkapan cinta. Dia rela harga dirinya sampai jatuh ke dalam dasar lubang tikus, tapi Fuuga langsung menimpanya dengan tangga.

“Aku hanya sampah yang tidak pantas berada di sisimu, seperti itu?” ungkap Mika dengan suara pelan. Air matanya tertahan, gagal merembes membersihkan polusi angkasa.

Fuuga menatap Mika canggung.

“Dengar. Pertama, aku tidak pernah memandangmu sebagai sampah yang hanya menyebabkan polusi dan menghalangi jalan cahayaku. Kedua, aku menolak bukan berarti tidak menaruh rasa yang sama padamu.”

Satu miliar tahun berlalu begitu saja. Debu kecil itu sampai hampir melupakan proses sakaratul maut Fuuga yang tidak lama lagi terjadi. Namun, dia tetap di sini, menolak ajakan teman-temannya untuk mencari mansion angkasa di sisi lain luasnya semesta.

Bahkan sesama debu sempat mangatakan bahwa dirinya bodoh.

“Apa bedanya? Meski cara kita tidak sama, siapa pun pasti paham, bahwa yang kita semua cari adalah kebahagiaan. Tidak sepantasnya memberi komentar terhadap jalan yang pihak lain pilih sedang mereka sendiri tidak bisa membahagiakan pihak itu, kan?”

Detik-detik Fuuga kehabisan bahan bakar untuk tetap hidup, dirinya masih saja mengabaikan Mika. Sungguh, sebenarnya bukan maksud Fuuga membuat Mika menderita. Hanya saja, dia juga sama menderitanya, bukan? Atau bahkan ... lebih?

Sayangnya, tidak secuil pun Mika peka akan rasa yang mengganjal dan terus-menerus terkubur dalam hati bersih Fuuga.

Mansion ini jadi kosong, ruang terbuka ini tak lagi ricuh. Tidak ada tawa maupun tangis, nyanyian ringkih angkasa pun tiada terdengar getarannya. Hanya mereka berdua dalam sepi, Fuuga dan Mika.

“Maaf, Fuu. Aku hanya ingin kamu yang sekarang. Kamu yang bersinar, kamu yang menyingkirkan awan mendung di sekujur ragaku.”

“Tidak bisa. Aku harap kamu mengerti. Jika kamu tetap ingin bersamaku, maka tunggulah aku sampai menjadi sama sepertimu. Setelah itu, kita bisa berdampingan tanpa lagi khawatir menyakiti satu sama lain. Bisa bergandengan tangan, menyelami lautan semesta bersama. Ya, hanya aku dan kamu.”

Fuuga merasa isi perutnya sudah mau keluar. Dia yang telah sampai pada siklus supernova akan mengakhiri hidupnya saat ini juga. Mika pikir Fuuga pasti menyuruhnya pergi, mengusir dirinya dengan kasar. Faktanya tidak, Fuuga tahu Mika itu istimewa, ledakan supernova darinya tidak akan mampu menghancurkan atau melenyapkan Mika.

Dengan kekuatan cinta, Mika akan menghukummu menjadi partikel debu yang baru, terpisah dari molekul debu lainnya dan hanya sendirian sampai mati lalu hidup-mati lagi. Hanya itu yang memenuhi isi kepala Fuuga. Ilustrasi kemarahan Mika yang benar-benar membuat perutnya semakin sakit.

Bintang paling tampan di mata Mika meledak, memuntahkan banyak material asing yang tidak dikenal oleh Mika. Semuanya langsung menjauh, melesat pergi entah kemana. Bahkan tak satu pun dari mereka yang menyapa Mika. Tak lama, mansion ini sepi kembali, ruang ini sunyi kembali.

“Aku ... sendirian? Fuu?”

Tidak lama setelah meratapi nasib, sayup-sayup Mika merasakan getaran bunyi dari arah belakang. Berbalik, dirinya menemukan sisa inti bintang milik Fuuga yang tertinggal. Jantung Fuuga yang masih menyisakan sedikit energi itu meraung. Entah apa yang dilakukannya, yang pasti membuat Mika tidak berhenti menangis.

Isi kepala si debu kacau, memikirkan apakah Fuuga akan hidup kembali atau tidak. Sementara iris gelapnya tidak bisa melepaskan diri dari bola-bola jantung Fuuga, tubuh kecilnya dikejutkan dengan pergerakan gas di sekitar inti bintang Fuuga.

Meski dia tidak bisa melihat wujud gas-gas yang bergerak dengan tidak santai di dekatnya, Mika bisa mengerti bahwa Fuuga sedang berusaha menepati janji. Janji untuk hidup kembali dengan wujud yang sama seperti Mika.

“Setelah meletup dan tinggal dalam wujud yang berbeda, apa mungkin kamu masih ingat siapa aku?” bisik Mika pada diri sendiri sambil menunggu kumpulan gas Fuuga yang semakin turun suhunya membentuk debu baru.

***END***

WRITTEN BY vev_e_vev

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro