1. Himawari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bunga matahari sangat cantik~, di halaman rumahku~. Daunnya ungu, bunganya hijau, memikat kodok lalu~."

Terlihat anak laki-laki berwajah UwU, sedang berlari-lari kecil di ladang bunga matahari. Mulutnya tidak berhenti bernyanyi dengan fals dan salah lirik. Kakinya yang kecil, melompat-lompat seperti jangkrik dengan tangan yang diayunkan ke atas dan ke bawah.

"Manusia, manusia .... Tak'kan lah mereka ingat aku ini manusia?" gumamnya tidak jelas.

"Himawari!"

Himawari. Ya, Himawari adalah nama anak laki-laki dengan ke-UwUan tiada batas itu.

Himawari kemudian berbalik begitu namanya dikumandangkan dengan penuh semangat oleh teman satu-satunya.

Senyum Himawari mengembang begitu melihat anak kecil yang terlihat seumuran dengannya, berlari menghampirinya dengan sekantung pupuk tahi ayam, juga tahi sapi, dan tahi kuda, jangan lupakan tahi tokek. Namun pupuk tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat, karena sudah dicampur dengan daun-daunan, dan diolah secara modern dengan pengemasan yang berkualitas.

"Hae, Nikko. Kau bawa pupuknya, yeay!~" Himawari mengangkat tangannya dan tersenyum lebar.

"Hosh ... hosh .... Aku lelah. Istirahat dulu saja, ya. Aku juga masih ingin menghabiskan waktu dengan Himawari," ujar gadis kecil itu sambil memegang lututnya.

Himawari pun mengangguk dengan semangat dan langsung menyeret Nikko yang masih kelelahan ke arah pohon besar yang terletak di tepi bukit.

"Himawari, pelan-pelan! Aku cape!" pekik Nikko di tengah masa penyeretan. Namun Himawari tidak mendengarkannya dan langsung duduk dengan kaki yang diayun-ayunkan sambil menikmati pemandangan dari tepi bukit.

"Nikko," panggil Himawari.

Nikko menoleh setelah mengatur napasnya. "Apa!?" balasnya dengan sedikit memakai gas.

"Saat ayah tersenyum, aku senang!" ujar Himawari tiba-tiba. Nikko mengernyitkan dahinya.

"Saat kecil, aku senang! Saat ayah tersenyum, aku senang! Saat mama mengajakku bermain, aku senang! Saat mereka tidak mengejarku, aku senang! Saat bersama Nikko juga, aku senang!" ungkap Himawari.

Nikko yang mendengarnya tersenyum ke arah Himawari, kemudian mengusap bahunya pelan. "Tidak apa-apa. Aku akan selalu berkunjung ke sini setiap hari. Kau tidak akan kesepian lagi sekarang!" ujar Nikko.

Himawari mengembangkan senyuman di wajahnya yang imut. "Terima kasih, Nikko!"

Nikko pun mengangguk.

"Aku bingung dengan pikiran orang-orang ...." gumam Himawari dengan pandangan yang terfokus pada kerbau pembajak, di sawah.

"Bingung kenapa?" tanya Nikko.

"Mereka bisa bepergian dengan bebas ke mana saja. Apakah kaki mereka tidak lelah? Kenapa mereka terlihat senang seperti itu? Apa ... mereka tidak takut?" tanya Himawari.

Nikko pun terdiam. Ia tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan Himawari, sebab Nikko tidak pernah pergi jauh dari rumah selain untuk ke tempat ini. Bukan tidak boleh, lebih tepatnya tidak pernah diizinkan.

Mengingat keluarga Nikko adalah keluarga yang super ketat dalam hal peraturan, Nikko jadi tidak boleh keluar dari rumah dengan jarak 20 meter lebih. Nikko yang asalnya biasa-biasa saja menjalani peraturan keluarganya yang sedikit mengekang, lama-lama Nikko pun bisa jenuh karena geraknya dibatasi. Akhirnya ia selalu menyempatkan diri ke ladang bunga matahari untuk bertemu dengan Himawari saat orang tuanya pergi.

"Aku tidak tahu. Mungkin lelah. Tadi saja aku kelelahan saat berlari ke mari," jawab Nikko. Himawari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan mulut yang bergumam kecil.

"Nikko, Nikko!" panggil Himawari lagi dengan jari telunjuk yang mengarah pada bus kota yang sedang melewati jalan di bawah bukit.

"Mereka terlihat senang menaikinya! Lihat ekspresi anak-anak lain yang bersorak itu!"

Nikko melihat ke arah bus yang ditunjuk Himawari. "Oh, kau benar. Mereka terlihat begitu bahagia. Aku jadi ingin menaiki bus itu. Apa Himawari juga ingin menaikinya?" tanya Nikko. Himawari menganggukkan kepalanya lagi, matanya berbinar melihat laju bus itu.

"Aku juga ingin naik itu," gumam Himawari. Namun gumaman Himawari pastinya selalu terdengar oleh Nikko.

"Kalau kau mau naik itu, nanti aku akan membawamu ikut denganku setelah bunda memperbolehkanku pergi jauh," hibur Nikko.

Himawari menatapnya kagum. "Wah! Terima kasih, Nikko! Nikko baik sekali padaku!" seru Himawari dengan senyuman lebarnya.

"Kalau seperti ini, aku tidak ingin ditinggalkan Nikko lagi. Nikko, tolong bawa aku ke mana pun kau pergi," pinta Himawari.

Nikko berpikir sejenak. Kalau Nikko membawa Himawari ke rumahnya, nanti bundanya pasti akan terus bertanya dan ujung-ujungnya tidak memperbolehkan Himawari tinggal bersamanya.

"Aku tidak bisa bawa Himawari ke rumah, nanti bunda--"

"Tidak perlu! Aku hanya ingin Nikko sering-sering ke sini saja!" potong Himawari.

Nikko tersenyum. "Oh, baiklah kalau begitu. Maaf ya, aku tidak bisa membawa Himawari ke rumah. Kalau aku bisa, kita pasti akan selalu bersama." Nikko menundukkan wajahnya.

"Eh Nikko, tidak apa-apa, kok! Nikko datang ke sini setiap hari saja aku sudah bahagia." Himawari mengelus-elus kepala Nikko.

Nikko pun tersenyum kembali mendengarnya.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing yang melayang jauh, memandangi awan berwarna biru seakan memberi peluang kebebasan pada jiwa mereka.

"Himawari." Kini giliran Nikko yang memanggil.

Himawari menoleh dengan mata bulat. "Kenapa, Nikko?"

Nikko menghela napasnya, kemudian ia menghadap ke arah Himawari sambil tersenyum. "Himawari, aku harap kau juga akan selalu ada untukku. Aku tidak ingin Himawari meninggalkanku. Bahkan kalau pun aku sudah besar nanti, aku tidak ingin Himawari meninggalkanku." Nikko menjeda kalimatnya, ia lalu mengangkat jari kelingkingnya. "Mau kah Himawari berjanji padaku?"

Himawari tersenyum dan mengangguk cepat. Ia lalu mengangkat jari kelingkingnya juga.

"Kita akan selalu bersama, Nikko tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada untuk Nikko," ujar Himawari sambil mengaetkan jari kelingkinya.

"Terima kasih! Aku juga akan selalu ada untuk Himawari!" balas Nikko.

"Hei, kau!" teriak seseorang dari kejauhan. Nikko dan Himawari langsung menoleh dengan wajah pucat, seperti ketahuan mencuri.

"Penghianat!" maki orang itu. Ternyata dia tidak sendirian, terdapat segerombolan orang yang juga ikut-ikutan memaki pada Himawari.

Mata Himawari berkaca-kaca mendengar perkataan yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya. "Aku bukan penghianat!" tampik Himawari.

"Iya, bukan. Tapi ayahmu adalah penghianat besar! Dan beruntungnya kami menemukanmu di sini. Kau adalah ancaman bagi kami."

Emosi Himawari terpancing dengan kata-kata itu. Apalagi orang tersebut membawa-bawa nama ayahnya yang merupakan pahlawan tidak dihargai, hanya karena mereka salah paham.

"Ayah bukan penghianat! Kalian hanya melihat dari satu sisi! Itu tidak adil!" murkanya.

Pemimpin dari orang-orang bersenjata itu tampak menertawakan Himawari. "Heh, kau tahu apa soal itu, anak kecil!? Kau adalah ancaman besar bagi negara ini bila kau sudah tumbuh besar. Oleh karena itu kau harus dihabisi sekarang juga." Orang itu menyiapkan pistolnya dan menodong dari kejauhan pada Himawari.

Nikko yang melihat itu panik. Himawari adalah teman satu-satunya. Dan Himawari benar, orang-orang hanya salah paham pada ayahnya. Jika Nikko meminta bantuan pun, tidak ada yang akan membantunya, dan menganggap bahwa Nikko adalah anak kesepian yang tidak ingin kehilangan teman satu-satunya.

"Jangan!" Nikko langsung berdiri, menjadikan dirinya tameng untuk Himawari saat orang di hadapannya me-reload peluru.

"Nikko! Nikko pergi! Jangan ada di sini! Cepatlah pergi, Nikko!" usir Himawari dengan air mata yang mulai bercucuran.

"Tidak! Hanya Himawari temanku. Aku tidak akan meninggalkan Himawari!" Nikko masih tetap berisikukuh dengan pendiriannya.

"Nikko--"

"Oh, apakah putri kecil wali kota akan berhianat juga?" tanya orang berseragam itu dengan sinis.

Nikko terhenyak dengan ucapannya. "Akan kuadukan kau pada ayah!" ancam Nikko.

Kelompok kecil pasukan bersenjata itu malah terkekeh mendengarnya. "Itu pun kalau kau selamat, Nona Kecil."

Pelatuk ditarik oleh salah satu dari mereka dengan tepat membidik ke arah jantung Nikko.

Dor!

___________________________________________________________

"Himawari!"

Seorang gadis bangun di tengah gelapnya malam dengan peluh keringat yang membanjiri wajah juga pakaiannya. Napasnya terengah-engah mendapatkan mimpi itu. Mimpi yang lagi-lagi menghantui dan memperkuat masa lalu kelam baginya.

Gadis itu melirik ke arah jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul 1 dini hari.

Ia kemudian menundukkan wajahnya.

"Andai aku bisa menyelamatkan Himawari waktu itu ...." sesalnya.

Ia kemudian menarik kembali selimutnya, membenamkan diri ke alam bawah sadar, dengan memegang erat-erat setangkai bunga matahari yang selalu menjadi pengingatnya pada orang yang paling berharga bagi hidupnya.

Matanya dipejamkan dengan pikiran yang terfokus pada esok hari yang akan menjadi seberkas ingatan baru. Ia akan kembali memulai aktifitas rutinnya di masa lalu, setelah sekian lama terhenti karena terlalu berkabung dalam situasi yang sudah berlalu. Yaitu mengurusi kembali bunga matahari. Miliknya dan milik Himawari.

***

End
Penulis
Lvnder_Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro