1. Kabut Langit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Indahnya langit fajar hanyalah sekedar hiburan, permulaan dari perjuangan hari yang panjang—walau terasa singkat.

Seorang anak kecil berjalan keluar dari sebuah rumah kecil namun ramai. Sejak kecil dia tinggal di sana. Kalau pagi, dengan terseok-seok dia melangkahkan kakinya menuju ke persimpangan lampu merah. Raut mukanya haruslah dipenuhi kesedihan. Mengapa? Agar kalian kasihan kepadanya. Dengan begitu, tiap dia lewat, kalian memandangnya sendu. Melihat kaki kanannya menyeret kaki kirinya yang cacat satu.

Di lampu merah, dia mulai menadahkan tangan. Terkadang sengaja dia tertatih-tatih berjalan ke arahmu, kalau sudah sampai, dia minta uang dengan wajah penuh harap. Seolah dia tidak pernah makan seumur hidupnya.

Entah sampai kapan ini terjadi ia tidak tahu. Delapan tahun yang lalu, dia yang masih bayi ditemukan oleh seorang laki-laki di pembuangan sampah. Ya, sampai sini bagimu dia harus bersyukur ditemukan orang.

Tetapi lihat, laki-laki itu melihatnya seolah barang. Yang kilaunya adalah cacat. Kalau dia terlalu berkilau, manusia mana yang mau berusaha cerahkan dia? Dipatahkannya kaki anak itu satu, hingga hilang fungsinya. Semenjak itulah, dia jadi barang yang sempurna. Tiap orang akan sedih melihatnya.

Dia mana tahu tentang itu. Yang dia tahu hidup itu hanya tentang setoran dan makan. Kalau tidak menyetor sejumlah uang, bisa-bisa ia kehilangan hidup.

Kalau dipikir, kenapa dia tidak berpikir untuk mati saja? Kalau kau tanya dia, dia pun tidak tahu. Dia hanya akan menjawab. "Nanti aku mau punya anak." Lucu, seorang anak kecil bermimpi ingin punya anak.

Mari kita kembali ke hidupnya di jalanan. Ada suka duka di sana. Sukanya, ya saat orang-orang banyak memberi. Dukanya, mungkin saat dia dimaki-maki dianggap pengganggu jalanan. Ada juga yang bertanya di mana ibunya, di mana bapaknya. Dia hanya bisa menjawab. "Ada di rumah, sedang sakit." Mereka mengangguk, lampu sudah hijau, mereka harus pergi. Terkadang mereka yang bertanya seperti itu memberi uang besar sih. Jadi, tidak terlalu menyebalkan juga.

Suatu saat, uangnya sedang banyak. Baru siang sudah melebihi setoran. Niatnya, dia ingin pulang saja. Menemui teman-teman seperjuangan. Ada yang buta, ada yang patah tangan, ada yang sekedar diberi baju koyak-koyak saja. Biasanya mereka pulang saat senja, terkadang malam kalau sedang sepi pemberi. Dari berbagai sudut, mereka bertemu di sebuah rumah. Berbaris menunggu waktu menyetorkan uang—sekaligus mengambil makan.

Yah, dalam hidupnya yang seperti itu. Sesuap tempe pun sudah serasa surga. Sambil makan, tertawa, serta berkelakar satu sama lain. Si Bos tidak terlalu peduli, yang penting setoran lancar.

Dan pada malam, mereka tak mau itu berakhir. Berlomba-lomba siapa tidur paling lama, terkadang sudah hampir subuh mereka baru tertidur. Mempersiapkan diri untuk hari esok yang akan terasa lebih melelahkan. Oh ya, ada satu bonus riasan muka—kantung hitam di bawah mata.

***

Di sisi lain ada seorang yang tuli. Tak perlu dikasihani, dia hidup normal, punya bahasa sendiri, hidup sendiri. Hormati saja dia. Rasa kasihan kalian membuatnya terpisah dan dibedakan dari masyarakat.

Walau seperti itu, dia tetap mendengar. Dia mendengar apa yang tak kamu dengar, dia melihat jauh dari yang kau bayangkan.

Hidupnya sederhana, bahagia. Dia membuka jasa sol sepatu. Setiap siang berkeliling kota. Tidak banyak bicara, yang penting orang-orang puas dengan sepatunya yang mengkilap. Setelah kerjanya selesai, diperhatikannya mata pelanggan. Di sana didengarnya sejuta suara. Tawa, bahagia, nyanyian. Bunyi-bunyian itu membuatnya senang. Kalau dia cerita ke orang, tak ada yang mau percaya.

Kalau dia melihat kesenangan dengan matanya, dia juga mendengar bunyi-bunyi yang bahagiakan hatinya. Kalau dia melihat kesedihan, ngilu rasa telinganya, sesak hatinya.

Saat itu ada seorang anak di trotoar. Wajahnya datar, bunyi yang didengar si tuli di balik mukanya terdengar aneh. Semua ada. Benci, tawa, tangis, dia jadi murung. Dilihatnya anak itu berjalan terseok, kakinya cacat. Kemudian anak itu duduk di sisi jalan.

Bagi kalian, mungkin itu hanyalah anak-anak cacat yang sedang bersedih. Tetapi tidak untuk Si Tuli. Telinganya yang pekak membuat pandangannya jauh menusuk. Dilihatnya di punggung anak itu terdapat ribuan pisau, di matanya terdapat jutaan harapan, di kakinya yang cacat itu terdapat cahaya yang kalau menurut Si Tuli, itu dari surga. Kalian pasti tidak mempercayai dia.

Penasaran, didatanginya anak itu. Tanpa suara, dia duduk disampingnya. Anak itu murung, dia juga. Suara-suara aneh itu makin jelas adanya. Bayang-bayang kelam itu semakin tergambar di dalam kepala.

Ditatapnya anak itu. Terdengar di bayangnya suara yang sangat menyayat hati, sekejap dia tahu kalau anak itu sedang menangis. Padahal tak ada air mata di sana. Anak itu menaikkan wajahnya, memandang balik. Pandangan si tuli langsung terbawa jauh; anak itu butuh uang.

Diberinya uang hasil hari ini, anak itu berucap berterima kasih. Ya, Si tuli mendengar suara itu, jangan remehkan dia, dia dengar apa yang tak kau dengar. Dengan cepat anak itu berlari pulang.

Di sini, di pinggir trotoar ini. Si Tuli tiba-tiba menangis, bukan karena uang. Bukan karena dia tak bisa makan. Tetapi karena pandangan yang dia lihat setelah anak itu pergi.

Setelah melihat anak itu, pandangannya tak sama lagi. Seluruh dunia tampak kelam dan menyeramkan.

Kala melihat langit, dia melihat kabut. Kabut yang tutupi semua kebenaran. Jauh di dalam kabut, ternyata bumi sedang berjatuhan air mata. Sekejap tanah-tanah di depannya menggelap tersentuh air.

Saat melihat manusia, jauh masuk ke dalam dilihatnya kebodohan. Kebahagiaan semu karena tipuan semesta, atau kesedihan abadi akibat kurangnya syukur.

Tak ada yang peduli dan cukup berani untuk membebaskan anak itu. Padahal, menurut Si Tuli setiap kita pasti tahu kalau anak itu hanyalah pesuruh.

Dan yang lebih miris, Si Tuli pun juga begitu, dia tidak begitu berani. Dia tidak berdaya, dia kecewa dengan dirinya sendiri. Dia hanya bisa memberi sedikit uang untuk sementara meringankan beban anak itu. Yang tetap saja, anak itu takkan terbebas dari beban yang dipikul sejak lahir.

Lantas ini tanggung jawab siapa? Sebuah pertanyaan menggantung di atas kepalanya. Pertanyaan yang mungkin tidak akan terjawab.

Kini matanya lurus ke depan, memandang lalu lalang penduduk kota. Di sana, dilihatnya seorang ayah menasihati anak-anak peminta. Mengatakan mereka harus bersemangat dalam hidup, mengatakan mereka harus bekerja keras. Diberinya anak itu uang berwarna merah.

Melihat hal indah itu pun, Si Tuli sudah tidak bisa tersenyum lagi. Dia beranggapan, pada dasarnya manusia tidak peduli kepada sesama. Yang mereka pikirkan hanyalah diri sendiri.

Sekalipun memberi, yang dicari bukanlah kebahagiaan orang, sejatinya mereka mengejar kebahagiaan sendiri yang tercipta saat mereka merasa baik.

Memang, tidak semua orang seperti itu. Kalian jangan marah dulu.

Satu tanyaku.

Ini tanggung jawab siapa?

***

End
Penulis
Orekasa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro