2. Farewell Day

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagi beberapa orang, termasuk aku, kelas 12 adalah masa-masa yang indah sekaligus menyedihkan. Karena di kelas ini, kami berjuang bersama menghadapi perang yang namanya ‘ujian’. Di kelas ini pula, kami harus merasakan sebuah perpisahan.

Kalau boleh jujur, aku merasa sedih karena harus berpisah dengan sahabat-sahabatku. Kehidupan setelah masa SMA memang belum berakhir. Ada yang melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, ada yang memilih untuk berkarier, ada yang menganggur, atau ada juga yang menikah setelah lulus. Kami memang masih bisa bertemu, tetapi kemungkinannya kecil. Lagi pula, setelah lulus SMA, keluargaku akan pindah ke luar negeri karena pekerjaan ayahku.

“Arlan! Lo dateng ke perpisahan lusa?”

Aku yang sedang melamun tersentak karena dikagetkan oleh seseorang dari arah belakang. Dari suaranya pun aku tahu. Dia Nayra, cewek berwajah manis yang merupakan sahabat masa kecilku hingga sekarang. Entah sejak kapan, cewek itu sudah berada di belakangku dan menepuk kedua pundakku.

“Dateng kok,” jawabku tanpa menoleh ke belakang.

“Ya pasti dateng lah, Nay. Kita-kita, kan, pada dateng. Mana mau dia ditinggal sendirian,” celetuk salah satu sohibku, Deri.

Bara yang sedang memainkan gitar mengangguk. “Sealim-alimnya Arlan, mana mungkin dia nyia-nyiain hari perpisahan ini,” timpal Bara yang  jemarinya asyik memetik senar gitar.

“Lagian lo dateng, dia pasti dateng. Ya, nggak, Lan?” Bara menoleh menatapku.

Aku menganggukkan kepala. Yang mereka bilang memang benar.
Namun, tampaknya Nayra tak menyetujui ucapan Bara.

“Apaan, pas perpisahan SMP aja Arlan nggak dateng walaupun gue ikut dan bujuk-bujuk,” ucap Nayra. Tatapannya terlempar padaku. Bibirnya mengerucut dan agak menggembungkan pipi, sedang kedua tangannya bersedekap.

“Jangan bahas itu dong, Nay,” kataku lalu nyengir.

Yah, waktu itu aku memang masih pendiam dan tidak banyak bergaul. Aku pun juga tidak suka keramaian. Baru saat SMA aku bisa memiliki teman selain Nayra, yaitu dua cowok yang ada di sini.

“Serius lo, Nay?” tanya Deri dengan tatapan tak percaya, sedangkan Nayra mengangguk.

“Serius. Dulu pas SMP Arlan kaku parah orangnya. Mana dianya menyendiri mulu,” balas Nayra. Tersirat nada sindiran yang ditujukan untukku.

“Wah, lebih parah ternyata!” Deri menggeleng-gelengkan kepala. “Tapi, kok lo bisa temenan sama kita-kita ya?”

Iya, ya? Aku sudah lupa bagaimana pertama kali aku bertemu dengan ketiga sohibku. Tahu-tahu, aku sudah akrab saja dengan mereka.

“Karena kalian bikin gue nyaman, maybe?” terkaku. Tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar.

Aku memang lupa kejadian awal yang membuat kami dekat. Sebenarnya, yang mendekatiku duluan adalah mereka. Iya, mereka. Ketiga sohibku: Deri, Bara, dan Pascal. Kami sudah saling mengenal sejak kelas sepuluh dan masih bersahabat hingga kini.

Kalau tidak salah, waktu itu yang dekat denganku duluan adalah Deri, si cowok ceria dan tukang biang onar. Sering jadi bahan gosipan guru karena tingkahnya. Awalnya aku ingin jauh-jauh dengannya. Namun, semenjak suatu kejadian, aku mengubah pandanganku terhadapnya. Ternyata Deri adalah orang yang baik dan ramah. Dia hanya sedikit usil.

Lalu, Bara, si playboy jaim yang hobi main gitar. Yang paling emosian di antara kami berempat, tetapi paling bijaksana. Orang kedua yang dekat denganku setelah Deri.

Terakhir, Pascal. Dia yang paling famous di sini. Terkenal di antara cewek-cewek karena paras yang rupawan dan otak cerdas. Ditambah lagi, holkay. Rada dingin sama orang lain. Dia juga orang terakhir yang dekat denganku. Kira-kira pertengahan kelas sebelas kami baru dekat. Itu pun karena Deri.

“Ada yang mau cemilan?” tawar seseorang yang baru masuk dengan kedua tangan yang menggenggam plastik berisi makanan.

Panjang umur. Itu orangnya.

Deri, Bara, serta Nayra teralih perhatiannya. “Mauuu!” ucap mereka serempak.

Pascal menghampiri kami yang tengah duduk santai di sofa. Dia meletakkan plastik belanjaan di meja berbentuk lingkaran di tengah-tengah sofa lantas duduk bersebelahan dengan Deri, berhadapan denganku dan Nayra. Sedangkan Bara, dia duduk di samping kananku.

Ngomong-ngomong, saat ini kami sedang berada di markas kami. Lebih tepatnya sih, rumah kecil milik Pascal yang terletak tidak jauh dari sekolah.
Markas ini sudah menjadi tempat berkumpul kami selama kurang lebih dua tahun. Banyak kenanganku bersama mereka di tempat ini.

Setelah lulus, kami mungkin akan sulit untuk bertemu seperti ini. Aku pindah ke luar negeri, Deri pergi ke pelosok, dan Bara ... ini agak mengejutkan, tetapi dia memilih untuk menikah setelah lulus. Perjodohan orang tua sebenarnya. Sedangkan Pascal, katanya dia kemungkinan akan menetap di sini.

“Kita udah mau berpisah aja ya. Padahal rasanya kemaren baru masuk SMA,” ujar Pascal. Dia menyenderkan punggungnya ke sofa. Kepalanya terdongak menatap langit-langit.

“Kita nggak akan berpisah elah. Kan masih bisa kontakan lewat medsos,” sambar Deri yang sepertinya tidak suka akan kata-kata ‘berpisah’. Aku pun juga sama.

“Bener kata Deri. Yang penting kita masih bisa kontakan,” celetukku. Bara hanya mengangguk menanggapi.

“Oh, ya. Arlan, kan, mau pindah ke luar negeri, Nay gimana?” Deri melempar tatapan padaku dan Nayra.

“Gue tetep di sini,” Nayra mendengkus, “aaah ... kesel banget, sih. Kenapa gue harus pisah sama Arlan?” gerutunya kesal dengan raut menggemaskan.

Aku tergelak mendengarnya. Tanganku terangkat dan mengelus-elus puncuk kepalanya lembut. “Gue juga nggak mau pisah dari sahabat gue sejak orok, tapi mau gimana lagi.”

Deri berdeham. “Mesra-mesraannya nanti aja.”

Aku dan Nayra sontak melotot ke Deri. “Mesra-mesraan apaan?!” pekik kami berdua.

Tentu saja aku tidak terima. Deri mengatakan seolah-olah aku dan Nayra bermesraan ala pacaran, padahal sejak dulu kami memang begini. Kami hanya sebatas sahabat. Tidak lebih.

Deri tertawa keras dan Bara yang sedang meletakkan gitarnya ikut tergelak.

“Katanya sahabat, tapi kayak pacaran. Dasar kalian berdua,” kata Deri yang membuatku dan Nayra memelototinya lagi, menyuruh untuk diam.

Obrolan kami akhirnya berlanjut. Sebagian besarnya membicarakan acara kelulusan sekaligus perpisahan lusa. Akan tetapi, ada yang aneh dengan Pascal. Sedari tadi dia hanya diam dan terlihat murung. Orang itu tidak seperti biasanya. Apalagi saat Deri mengatakan aku dan Nayra yang seperti orang pacaran.

Oh, satu hal lagi. Diam-diam Pascal mencuri pandang ke Nayra.

***

Pertemuan kami selesai. Pulang malam seperti biasanya. Sedang yang lain sudah keluar duluan dan menunggu di depan, aku masih di dalam membereskan barang-barangku yang kutitipkan di markas.

“Lan.”

Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Pascal masih di sini. Dari rautnya, tampaknya dia ingin membicarakan sesuatu.

“Apa?”

“Gue ... pengen ngomong sesuatu.” Pascal menggaruk tengkuknya. Tampak canggung dan ragu-ragu.

“Langsung aja. Cepetan,” kataku agak sarkas. Sebenarnya, hubunganku dengan Pascal tidak terlalu baik. Aku juga tidak begitu dekat dengannya dibanding Deri dan Bara.

“Lusa, gue mau nembak Nayra,” ungkap Pascal.

Dia menatapku serius. Matanya memandang lurus ke arahku dengan kedua telapak tangan terkepal di samping.

Tapi, tadi dia bilang apa? Nembak siapa? Nayra? Apa aku tidak salah dengar?

“Lo bilang apa tadi?”

“Gue pengen nembak Nayra. Sebenernya, selama ini gue udah jatuh cinta sama Nay, Lan.” Pascal mengembuskan napas.

Pernyataan itu tentu membuatku sangat terkejut. Sebagian diriku hendak mengatakan, ‘Apa-apaan?’. Namun, aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak emosi.

“Lalu?”

“Lalu gue pengen nembak Nayra saat hari perpisahan nanti.”

Tunggu, bukannya itu berarti di depan semua orang? Tanpa Pascal mengatakannya pun, aku sudah tahu.  Tidak mungkin dia akan menambak diam-diam. Lagi pula, acara lusa adalah acara yang tepat untuk mengutarakan isi hati.

“Lo ... gapapa?” Pascal bertanya dengan lirih. “Apa lo marah? Benci sama gue?”

Aku mendengkus lantas menatap wajahnya. “Gue berhak apa benci sama lo? Lagi pula, gue cuma sahabatnya. Silakan lakukan, tapi kalo lo nyakitin Nay dan membuatnya sedih apalagi sakit hati, gue nggak akan pernah maafin dan akan membuat lo menyesal,” kataku serius.
Sangat serius. Bahkan aku merasa belum pernah seserius ini.

“Gue janji gak akan nyakitin dan buat Nay sedih. Gue murni cinta sama dia, Lan.” Pascal menundukkan kepala dengan menautkan kedua tangan. “Terima kasih karena lo udah restuin gue.”

Aku tak membalas perkataannya, hanya mengangguk kecil.

***

Alunan musik terdengar meriah. Cahaya yang berasal dari lampu mewah—chandelier—menjadi sumber penerangan ruangan ini. Harum wanginya berbagai jenis makanan dan  dessert tampak menggugah selera.

Mataku menyisir sekeliling. Banyak orang-orang yang mengenakan gaun—bagi perempuan—dan jas—bagi laki-laki.

Benar. Hari ini adalah hari perpisahan sekaligus kelulusan kelas 12—tampak seperti prom night memang. Dan saat ini, aku tengah menunggu Nay dan ketiga sohibku.

Hal yang tidak kusuka dari hari perpisahan adalah: aku harus berpisah dengan teman-temanku. Perpisahan mungkin menyakitkan, tetapi tidak selalu menjadi akhir.

“Lan! Udah lama?” sapa Pascal yang mengenakan setelan jas berwarna navy seraya berlari kecil menghampiriku. Dia terlihat lebih rapi daripada biasanya. Dan tentu itu membuatnya semakin mencuri perhatian cewek-cewek.

“Belum,” jawabku singkat.
Aku yang tadinya tengah bersandar di dinding, menghampiri Pascal. “Nay mana?”

“Tadi sih sama Der—oh, itu orangnya!” Tunjuk Pascal pada dua orang cowok dan satu cewek yang baru memasuki ruangan. Itu Deri dan Bara, bersama Nayra.

Deri mengenakan setelan hitam. Tampilannya tidak urak-urakan dan terlihat lebih rapi. Bara mengenakan setelan jas merah. Bagian belakang rambutnya juga disemir warna merah. Sedangkan Nayra, yah aku sudah melihat penampilannya sebelum berangkat ke sini, sih.
Dia mengenakan gaun berwarna tosca di bawah lutut, seperempat lengan. Rambutnya yang berwarna cokelat tua tergerai hingga punggung dengan hiasan bando bunga mawar putih di kepalanya. Nayra memang cantik, tetapi sekarang kadar kecantikannya meningkat drastis.

Kami berbincang-bincang hingga acara dimulai. Entah kenapa, aku merasa acara perpisahan ini cukup singkat. Sebenarnya tadi aku mendengar Nayra mengatakan sesuatu yang menurutku aneh.

"Sepertinya mulai hari ini, kita akan berpisah ya, Lan.”

Aku mengernyit. “Maksud lo?”

“Maksud gue yah, hmm, besok pagi lo harus segera berangkat, kan?”

Oh, benar. Jadwal penerbangan besok memang subuh-subuh. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ayah sampai-sampai harus berangkat sepagi itu.

“Iya. Gue kira ada apaan.”

"Nggak kok, hehe. Gue cuma ... bakal kangen banget sama lo.”

“Gue juga, Nay.”

Aku mendengkus. Lamunanku buyar saat orang-orang berteriak heboh.

Ada ap—

Oh, ternyata sudah mulai.

Pascal sudah berdiri di depan podium dengan menggenggam sebuket bunga mawar merah yang besar. Di hadapannya, Nayra berdiri dengan anggun. Walaupun dari rautnya, jelas dia kaget. Pascal benar-benar akan menembak Nayra.

Apa? Kesal? Tidak juga.

Yang kulakukan hanyalah memandang mereka dari kejauhan sembari bersandar di dinding. Saat aku mendongak, tatapanku malah teralih pada chandelier yang menggantung di langit-langit dan tepat di atas kedua insan itu.

Mataku memicing. Ada yang aneh.

“Nayra Callista, maukah kamu menjadi pacarku?’

Bersamaan dengan pernyataan itu, entah kenapa aku merasa lampunya sedikit bergoyang.

Nayra tampak terkejut, menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Gue—“

Prang!

Chandelier yang menggantung di atas Pascal dan Nayra bergoyang kemudian jatuh begitu saja. Mataku terbelalak. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Semua orang segera menjauh dari sana. Teriakan dan pekikan memenuhi ruangan.

Tunggu, apa? Apa?

Lampunya benar-benar jatuh?

Panik.

Lampu itu jatuh tepat di tempat Nayra dan Pascal!

Kakiku dengan sigap melangkah. Mataku tambah terbelalak lagi melihat pemandangan di hadapan. Darah ... terdapat genangan darah di bawah lampu itu.

Aku melirik ke samping. Ada Pascal. Dia selamat. Lengan dan kakinya terluka. Darah mengucur. Pakaiannya robek.

Kalau Pascal selamat, berarti ....

Tunggu ... tidak ... tidak ....

“NAYRA!”

Aku segera mendekati lampu itu, mencoba mendorongnya sekuat tenaga. Beberapa orang turut membantu. Lampu itu akhirnya terangkat, segera dipindahkan.
Benar saja. Di bawahnya terdapat seseorang. Tengah tergeletak dengan tubuh bersimbah darah.

Nayra ....

Sahabatku Nayra. Genangan darah itu miliknya.

Aku berjongkok. Kutangkup wajahnya yang nyaris hancur. Merah. Semuanya merah. Bahkan gaun tosca-nya tidak lagi berwarna tosca.

Tidak ... Nayra ....

Air mata lolos begitu saja dari pelupuk mata. Aku menunduk, merengkuh tubuh Nayra yang sudah setengah hancur. Mendekapnya erat. Tak peduli pakaianku yang akan kotor.

“Nayra sudah tiada.”

Diam. Aku sudah tahu.

Aku menangis sejadi-jadinya, sedangkan Pascal yang masih syok  dengan kejadian barusan jadi terlihat bodoh. Deri dan Bara turut menenangkanku, tetapi aku tidak menghiraukannya. Yang kupedulikan saat ini hanya Nayra!

Berpisah. Tadi Nayra mengatakan tentang perpisahan.

Apakah ini maksudnya?

Benar-benar perpisahanku dengan Nayra ... selamanya?

***

End
Penulis
Ravel_Zayc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro