2. Letter From Kinan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Surat

Jika saja aku bisa mempertahankan mimpi ini.

Dalam setiap tidurku, penyesalan itu tetap membekas. Bagaimana pemandangan kala aku menyerah akan mimpi.

Ah, padahal dulu aku sangat mencintai mimpi itu, namun entah kenapa aku menyerah. Alasannya ... sungguh sangat kabur.

Apakah aku bisa mengambil mimpi itu lagi? Apa aku bisa kembali ke jalan mimpi?

Tak henti-hentinya kutanyakan pertanyaan itu kepada bayangan diri di cermin, tetapi tak ada balasan apa pun.

Semuanya hancur, hanya karena fakta aku tak bisa membawanya lebih jauh, diri ini malah melakukan hal yang menyiksa di kemudian hari.

Sesak rasanya setiap mendengar teman menyebutkan mimpinya. Mereka punya, hanya aku yang tak punya.

Ketika ditanya, aku hanya akan tersenyum kecil.

"Ah, aku belum menemukannya," ujarku mengelak. Namun, bukan itu kenyataannya.

****

Mama berkata padaku kala itu.

"Jika kamu ingin dewasa, kamu harus melepaskan mimpimu yang konyol itu. Dunia ini keras, Jihan," ujarnya sembari membelai pipiku. Aku yang berada di bangku kelas dua SMP itu masih berpegang teguh akan pendirian.

"Aku bisa kok, Ma," balasku dengan sangat yakinnya. Mama hanya tersenyum kecut mendengar balasanku. Ia tak berkata apa pun lagi dan segera pergi sembari mengandeng tanganku.

Kupandang rumah berukuran besar itu dengan sendu. Kenapa kami harus pergi? Kenapa mama tak bersama papa sekarang? Ingin kutanyakan hal itu, tapi sebenarnya aku tahu kenyataan yang berusaha mama sembunyikan.

Mereka tak akan bersama lagi.

****

Keadaan tak berubah baik setelah mama dan papa tak bersama. Sejak saat itu, mama bekerja keras demi menghidupi kami berdua. Tak pernah sekalipun papa berkunjung untuk menemuiku.

Apa papa sudah tak sayang lagi denganku?

Sempat aku bertanya kepada mama, namun wanita separuh baya itu diam. Tak ada kata yang keluar darinya.

Ah, berarti papa memang benar-benar tak sayang padaku lagi.

Selama tiga tahun, aku hidup dalam kebenciaan kepada papa. Pria yang telah meninggalkan kami hanya karena wanita lain.

Haha, betapa lucunya permainan lakon dalam hidup.

****

Saat menginjakkan kelas sebelas SMA. Mama meninggal, sebuah bekas luka mengangga di ruang bernamakan hati. Dengan sangat berat hati, aku harus ikut papa. Mama tak punya sanak saudara, itulah mengapa saat ia berada di masa krisis, mama memberitahu papa.

Pria paruh baya itu memelukku dengan senang kala melihat diriku. Membisikkan betapa ia sangat merindukan diriku.

Hah? Kamu rindu dengan diriku? Terus, selama ini kamu kemana saja?

Tubuhku tak bergerak seinci pun. Membiarkannya merengkuhku dengan rindu namun bagiku rasanya bagai tertusuk ribuan jarum.

Ah, karena mama tak ada lagi. Lebih baik aku menyerah akan mimpiku.

Itulah kali terakhir diriku menggenggam mimpi dengan kuat. Setelah itu, aku hanya mengikuti setiap harapan dari orang lain. Bagai boneka tak bernyawa, aku tak memiliki keinginan apa pun. Mimpiku telah hangus dan aku telah menyerah pada permainan hidup.

Aku ... tak ingin tersakiti lagi.

****

Ketika aku di kelas dua belas SMA. Aku bertemu dengannya, Kinan. Anak perempuan dengan keterbatasan. Mempunyai penyakit kelainan jantung sejak kecil tak pernah menyurutkan tekatnya untuk mengejar impian.

"Aku, ingin menjadi penyanyi," katanya kala itu saat kami sedang duduk di taman sekolah. Netranya memandang pohon flamboyan yang sedang mekar-mekarnya. Senyum terkembang di kedua sudut bibir Kinan.

Aku tertegun, kenapa ia masih mau menggenggam mimpinya? Bukankah ia tak bisa lagi?

Namun, pertanyaan itu tak terlontar dari bibirku. Perasaanku tenang kala mendengar dirinya yang mulai bernyanyi.

Suara yang halus dan kuat secara bersamaan. Ia memang berbakat menjadi penyanyi. Sepanjang sore di taman sekolah, kami terdiam dengan nyanyian dari Kinan sebagai backsound.

*****

Saat pulang, entah kenapa aku ingin membuka buku yang lama telah kukunci. Buku yang tersimpan di bagian bawah nakas tempat tidur.

Kubuka nakas itu, mengeluarkan hal yang membawa kenangan untukku. Teringat, kala pertama kali aku mendapat pujian dari mama karena melihat tulisanku.

Ya, impianku ingin menjadi penulis. Aku selalu menumpahkan ide yang kudapat di dalam buku usang ini. Selalu kala selesai menulis, kutunjukkan kepada mama. Air matanya sirna setiap membaca tulisanku, hanya ada lengkungan tipis di kedua sudut bibirnya.

Handphoneku tiba-tiba bergetar. Kubuka aplikasi bertukar pesan. Nama Kinan ada di sana.

1 pesan tak terbaca dari Kinan.

Kubuka pesannya, hanya ada beberapa baris kata di sana.

[Aku tahu kamu bilang saat itu belum menemukan mimpi. Tetapi, entah kenapa, perasaanku kamu sudah menemukannya, sejak lama malah.]

Hanya pesan itu darinya. Aku bingung, apa yang harus kubalas? Haruskah kutolak lagi mimpi ini? Atau, ku genggam lagi seperti Kinan yang menggenggam mimpi itu dengan kuat?

[Tak perlu pusing, aku tak mengharapkan balasan pesan, kok. Tapi satu yang kudoakan. Semoga kamu tak melepaskan mimpi itu lagi kala ingin memperjuangkannya suatu saat.]

Setelah itu, tanda online di bawah nama Kinan hilang. Meninggalkanku yang dirundung perasaan bimbang.

****

Besoknya, saat aku ingin menemui Kinan, sebuah kabar menyentakku.

Kinan sudah tiada

Kabarnya, ia meninggal tadi pagi. Tak merasakan sakit apa pun. Ia meninggal dalam tidur. Semua anak kelas Kinan melayat. Termasuk diriku, aku juga berada di kelas yang sama dengan Kinan.

Terpampang foto wajahnya yang tengah tersenyum cerah, seluruh anggota keluarganya menahan air mata setiap memandang foto itu. Kala aku bersalaman dengan ibunya, wanita paruh baya itu menahan tanganku.

"Kamu, Jihan kan?" tanyanya dengan mata sedikit berkaca-kaca. Kuanggukkan kepala, menyatakan bahwa ia benar.

Ibunya meletakkan sepucuk surat di telapak tanganku.

"Untukmu," ujarnya singkat kemudian melepaskan genggaman tangannya.

Aku hanya mengangguk dan segera undur diri. Jika lebih lama di sana, aku takut tak dapat menahan air yang membendung di kelopak mataku sejak tadi.

****

Sesampainya di rumah, tak ada siapa pun. Walau papa mengurusku, istri barunya tak sudi tinggal se atap denganku. Membuat papa akhirnya membelikan apartemen di dekat sekolahku. Jadi, ia hanya menganggung biaya hidup dan pendidikanku saja.

Baguslah, setidaknya aku tak perlu untuk menahan diri saat ini. Setelah kukunci pintu. Tubuhku kehilangan topangannya. Air mata yang kutahan selama ini tumpah ruah.

Kematian itu sangat menyakitkan.

Aku tak menduga akan mengalami sakit seperti ini lagi. Surat yang diberikan ibunya Kinan masih ada. Dengan mata penuh kabut karena air mata, kubuka surat dengan amplop warna hijau daun itu.

Tulisan rapinya Kinan langsung kukenali.

Teruntuk, Jihan.

Jika saat ini kamu membaca suratku, berarti aku sudah ke atas untuk bertemu dengan Yang Maha Kuasa.

Ingatkah kamu saat kita pertama kali bertemu? Kamu memergokiku sedang bernyanyi di belakang taman sekolah. Di bawah naungan pohon flamboyan yang melindungiku dari teriknya sinar matahari kala itu.

Aku masih ingat kata-katamu saat itu.

"Wah! Suaramu indah!"

Kamu berkata seperti itu sembari tersenyum dengan manisnya. Tahukah kamu? Saat itu aku hampir menyerah akan mimpiku. Mama dan papa mulai melarangku bernyanyi, mereka takut aku memperburuk kondisiku.

Tapi, hanya karena mendengar pujian darimu, entah kenapa aku masih ingin tetap menggenggamnya. Kamu orang pertama yang memuji nyanyianku setelah kedua orangtuaku.

Setiap detik yang kita lalui bagai mimpi untukku. Nyawaku bagai pertaruhan, aku bisa saja merenggang nyawa sewaktu-waktu. Tapi, karena ada kamu, aku mencoba bertahan. Aku menuruti setiap kata-kata dokter, tak seperti dulu. Karena, aku ingin lebih lama bersama denganmu.

Saat kutanyakan apa mimpimu, kamu bilang belum menemukannya. Namun, entah kenapa aku merasa kamu hanya mengelaknya. Aku ini peka, loh.

Aku sedikit tertawa, terbayang bagaimana ekspresi wajahnya serta nada suara yang ia keluarkan.

Yah, aku menunggu kamu mengatakannya. Tetapi, sampai saat ini, kamu tidak mengatakan apa pun. Itu keputusanmu, aku tak bisa memaksakan keinginanku. Aku siap kok, menunggu sampai kapan pun.

Namun, tampaknya sang waktu tak akan membiarkannya, makanya aku menulis surat ini untukmu. Jangan tangisi aku, tolong. Aku tak ingin melihat sahabat pertama dalam hidupku bersedih sebab diriku.

Tolong, tersenyumlah. Hanya itu yang kuharapkan. Kuharap kamu akan mengejar mimpi lagi dan bahagia kemudian.

Hanya itu doa terakhirku untukmu, kutunggu dirimu di tempat pelabuhan terakhir umat manusia.

Dengan penuh sayang, Kinan.

Tangisku pecah, aku memanggil namanya berkali-kali, berharap dia ada di sini dan mengatakan hal-hal yang menenangkan.

Namun, dirinya tak ada. Hanya tinggal kenangan akan dirinya yang masih membekas.

Apakah tak apa jika aku mengejar mimpi lagi? Apakah aku akan bertemu denganmu di ujung jalan mimpi itu?

Hei, Kinan. Tolong jawab pertanyaanku.

***

This songfict from : Until I throw away my dreams and become an adult.
Singer : Hatsune Miku.

A/N : I cried while writing this story :”)

End
Penulis
Catrella2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro