2. Sebiru Hari Ini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Subtema : Biru

***

Langit hari itu biru. Pembukaan yang pasaran untuk sebuah cerita.

Sekelompok anak berlari tanpa alas kaki. Mereka berkeliling tenda-tenda besar di sekitar permukaan tanah tak tentu.

"Anak-anak! Jangan ke sana! Banyak benda tajam!" teriak seorang gadis yang tertatih di belakang mereka. Para bocah itu berlari seakan-akan hidup mereka hanya hari ini.

Itu Gina, mahasiswi KKN yang mendadak jadi sukarelawan. Ia tak menyangka KKN kali ini berubah menjadi musibah. Baru seminggu mereka di sana, bencana gempa bumi luluh lantakkan satu desa hingga terisolasi. Gempa bumi itu berasal dari aktivitas gunung berapi, sekitar 5 km dari desa tempatnya mengabdi.

Ini kali pertama baginya terjebak dalam bencana, jauh dari keluarganya. Sudah cukup gempa hancurkan desa itu. Tuhan masih sayang dengan penduduk desa itu. Gunung hanya muntahkan abu vulkanik di sekitar desa hingga sampai kemah pengungsian. Ya. Gempa itu memang berasal dari aktivitas vulkanik gunung berapi di timur desa.

Ia pun kembali ke tenda tempat para sukarelawan tinggal. Sebagian besar berasal dari luar desa. Sisanya penduduk setempat dan mahasiswa KKN. Mereka baru saja selesai lakukan kegiatannya. Ada yang membantu warga evakuasi jasad penduduk. Adapula yang membantu di posko kesehatan dan dapur umum.

Tidak selalu bencana tampak seperti di TV. Tawa gaduh anak-anak lewat sepintas di depan tenda.

"Anak-anak itu masih saja ceria. Padahal keadaan gunung lagi gak tentu," ucap Gina.

"Mereka senang karena sekolah libur. Kadang kita harus belajar dari anak-anak untuk menikmati hidup di tengah masalah."

Gadis berambut ikal itu termenung. Selama ini hidupnya selalu kelabu berkat masalah bertubi-tubi di kampus. Rupanya, masalah itu tak seberapa dibandingkan dengan desa tempat KKN-nya yang luluh lantak.

Malam itu, Gina rapikan laporan KKN-nya. Berada di kemah pengungsian tidak seburuk pikirannya selama ini. Petikan gitar dan lantunan suara para pemuda di luar tenda palingkan dirinya sejenak. Tak ada listrik atau hiburan bukan berarti tak bisa bersenang-senang apalagi membawa laporan. Gina kerjakan laporan kasarnya itu di atas buku jurnal dengan cahaya sebatas lampu darurat dari luar kemah.

Paginya, ia kembali membantu para penduduk membersihkan puing-puing desa. Sebagian besar rumah rusak begitupun fasilitas umum di sekitarnya. Debu semakin menebal hingga satu persatu sukarelawan membagikan masker pada semua orang di pengungsian.

Namun, anak-anak di sekitarnya terus berlari.

"Anak-anak! Jangan ke sana! Bahaya!" teriak Gina dengan suara setengah tertahan."

Para bocah itu terus berlari. Bukannya mereka mengacak-acak keadaan sekitar. Mereka justru membantu sukarelawan dengan tangan kecil dan tenaga seadanya bersama-sama.

Gina tersenyum berkat tingkah polah mereka. Anak-anak mengajarkan dirinya agar tetap positif dan ceria apapun masalah mendera. Selama langit di atas desa yang hancur itu masih biru, selama itulah harapan ada untuk menuntun mereka bangkit.

Tuhan seakan mengajarkannya lewat tangan anak-anak yang menariknya ke tengah desa. Masalah boleh muncul di depan mata layaknya penemuan mayat tertimbun reruntuhan bangunan itu. Namun, hati dan perasaan anak-anak lusuh berpenutup masker itu tak berubah. Mereka berlarian dan bermain lagi di sekitar kemah pengungsian seakan masalah itu tak terjadi.

***

End
Penulis
arutale

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro