4. give me another umbrella

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika pintu gedung terbuka, rupanya rintik hujan sudah menyambutku. Sial, aku kalah cepat dengan datangnya air yang mengguyur bumi itu.

Meski hujan perlahan mulai deras, jalanan di depan tetaplah ramai, macet, suara klakson saling bertautan. Mungkin saja sedikit sulit menemukan taksi dalam keadaan macet seperti ini.

Kuputuskan untuk pergi menuju halte yang jaraknya tidak jauh dari tempatku bekerja. Aku merogoh tas jinjing dan ... ketemu. Payung berwarna hitam polkadot dengan cap tangan kucing di salah satu sisi dekat tali.

Jika kuingat lagi, sudah sangat lama payung ini selalu menemaniku. Tiba-tiba aku jadi teringat pemilik payung ini. Sekarang, bagaimana keadaannya, ya? Sudah beberapa tahun kami tidak bertemu. Aku juga ganti kartu sehingga kehilangan kontaknya, dia sepertinya juga sudah tidak mau menghubungiku lagi, itulah alasanku mengganti kartu.

Aku duduk di kursi dekat jendela karena ingin seperti ala-ala cewek galau liat jendela dikala hujan. Tanpa menunggu lama, bis perlahan melaju membelah guyuran hujan.

Ketika melihat halte dekat sekolah SMA-ku aku jadi teringat dia lagi. Ah, kenapa otakku rasanya kacau sekarang. Aku ingat ketika pertama kali kami bertemu.

***

Disaat petir saling bertautan saat itu pula hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Tak dapat dipungkiri, langit yang awalnya terang benderang mendadak menjadi gelap gulita layaknya akan ada sesuatu hal yang terjadi.

Karena adanya les tambahan itu, membuatku pulang sendirian. Aku diam di halte sembari memeluk lututku. Padahal aku sudah melihat ramalan cuaca ketika pagi hari, katanya akan cerah, tetapi nyatanya tidak.

Semakin suara petir terdengar semakin pula aku memeluk lutut dengan erat seraya menenggelamkan wajahku pada lutut. Aku sangat ketakutan, benar benar ketakutan. Kulihat jam di ponsel juga sudah menunjukkan pukul 5 sore dan lagi jaringan di ponselku hilang terbawa hujan.

Telingaku tiba-tiba mendengar suara klakson mobil dari kejauhan. Bukanlah harapan yang aku inginkan, mengingat di depanku genangan air berwarna coklat siap dilindas oleh mobil besar yang mengangkut barang.

Sudahlah, aku juga sudah pasrah dengan takdir.

Byur!!

Aku memejamkan mataku ketika mobil itu melintas, tetapi anehnya tidak ada setets air pun yang mengenai pakaian sekolahku. Pikiran aneh mulai menguasaiku, apakah aku punya kekuatan untuk menghentikan air? Tentu saja itu hal konyol.

Perlahan aku membuka mataku dan kulihat ....

"Aaaaaa!!!!" Reflek aku berteriak ketika melihat wajah seorang laki-laki sudah ada di depanku.

"Ah maaf mengagetkanmu," katanya pelan sembari menjauhkan wajahnya dariku.

Laki-laki itu memayungiku yang sedang duduk pasrah sementara dia berdiri sedikit menunduk.

"Untukmu saja." Dia memberikan payung itu secara paksa kemudian menutupi rambutnya dengan hoodie miliknya dan berlari melawan hujan.

"Sial! Apakah ini seperti sebuah cerita romantis pada novel?" gumamku.

Setelah terdiam cukup lama, aku pun memutuskan untuk berdiri dan menggunakan payung itu untuk melawan derasnya hujan.

Tak berselang lama, aku tiba di sebuah rumah tradisional modern. Ketika aku memasuki gerbang, saat itu pula ayahku keluar dengan payung di tangannya.

"Eirin? Kemana saja dari tadi? Ayah sangat cemas hingga akan menjemputmu ke sekolah."

Akupun terdiam selema beberapa detik sebelum akhirnya menutup payung.

"Tidak apa. Aku tadi ada les tambahan jadinya Eca pulang duluan."

"Kenapa kau tidak mengangkat telpon dari Ayah? Ibumu sangat khawatir di dalam sana."

"Tidak ada jaringan," jawabku singkat.

"Eirin!"

"Oh ayolah. Kenapa raut wajah Ibu terlihat khawatir? Anakmu sudah pulang sekarang. Dan Erina, dia juga ada di rumah."

"Dasar anak pintar!" katanya dengan menjitak kepalaku. "Kau akan merasakan hal ini ketika sudah menjadi seorang ibu kelak."

"Ngomong-ngomong, payung siapa yang kau gunakan? Ibu lihat payungmu tertinggal."

"Entahlah, Bu. Aku juga tidak mengenali laki-laki yang memberikan payung itu."

Setelah penjelasan singkat itu, aku membawa tasku menaiki tangga menuju kamar. Sementara ketika aku melihat ke belakang, seuluruh anggota keluargaku tampak kaget tak percaya.

°°°

Dengan senang aku bersenandung seraya memberi efek gelap terang pada gambarku di sketchbook. Ketika suasana hatiku sedang berbunga-bunga, rasanya Eca terus mentapiku dari samping dengan aura aneh.

"Kenapa kau terus memperhatikanku?" tanyaku tanpa melirik.

"Apa yang sedang kau gambar?"

"Bukankah kau bisa melihat? Aku sedang menggambar seorang gadis dan laki-laki yang memberikan sebuah payung hitam."

"Ehem! Sepertinya ada seorang gadis yang sedang kasmaran," katanya dengan suara cukup keras hingga sebagian orang menoleh pada bangku kami.

Aku segera membungkam mulut ember milik Eca. "Berisik, bodoh! Jangan buat keributan ketika orang-orang sedang gabut."

"Ya, ya. Aku memang bodoh."

"Hehe ... maaf."

"Tidak!"

"Eh .... ayolah, nanti kubelikan pancake pelangi dekat percetakan itu lagi."

"Serius? Janji?"

"Ya. Tentu saja."

"Tidak! Aku tidak akan terbujuk."

Dengan wajah memelas aku menggoyang-goyang badannya supaya memaafkanku.

"Tapi, jika kau mau memberitahuku tentang laki-laki itu, aku akan memaafkanmu."

"Baiklah, baiklah. Akan aku beritahu."

Eca tampak merubah posisi bangkunya menghadapku dan siap mendengarkan ceritaku dengan khidmat.

"Jika ditanya namanya, aku tidak tahu siapa namanya. Tapi dari fisiknya, kemarin kulihat dia mengenakan hoodie berwarna hitam dan masker, rambutnya juga sedikit ikal, alisnya tebal, lebih tinggi dariku, dan wangi."

"Siapa ya? Aku tidak tahu laki-laki itu. Apakah dia mengenakan seragam sekolah kita?"

"Sepertinya tidak."

Eca menarik napas kasar. "Lupakan saja, akan sulit menemuinya lagi."

Aku langsung menggembungkan pipiku. Ada benarnya juga perkataan Eca, tapi tak apa, aku tidak boleh menyerah jika sudah takdir apa boleh buat. Sudahlah, lebih baik aku melanjutkan gambarku.

°°°

Pulang sekolah, sesuai janjiku pada Eca aku mengajak dia menuju toko pancake pelangi dekat tempat percetakan.

Sepanjang jalan aku terus mengobrol dengan Eca hingga tak terasa kami sudah sampai pada antrean yang cukup panjang itu.

Beberapa menit menunggu, akhirnya ada bangku kosong untuk kami duduk. Kursi di tengah memang bukan kursi paling nyaman untuk makan dan mengobrol, tapi tak apa, setidaknya kami sudah kebagian kursi.

"Dua pancake pelangi extra toping dan dua milkshake." Suara pelayan menyajikan makanan di depan kami membuatku bersemangat ingin segera menyantap makanan itu. 

Belum beres aku mengucapkan terimakasih, pelayan itu sudah lebih dahulu pergi dan membuatku kesal dibuatnya. "Dasar pelayan sombong," gumamku yang langsung ditanggapi oleh Eca.

"Sudahlah, sekarang ayo kita makan pancake ini. Melihatnya saja sudah mampu membuat air liurku berkumpul."

Eca terus saja memuji rasa pancake itu, sementara aku melihat ke arah lain sambil memakan pancake. Hingga pelayan itu terlihat lagi.

"Hei!" Reflek aku menggebrak meja membuat Eca langsung menjitak kepalaku.

"Dia laki-laki kemarin." Aku memberikan kode melalui mata pada Eca.

Eca lalu melirik ke arah yang aku tunjukkan. "Hei, meski sedang melayani dia tetap menggunakan masker."

Buru-buru aku menghabiskan semua makanan yang tersaji, merapikan pakaianku lalu menghampiri laki-laki itu.

"Hei!" Aku menyapa tepat di depan laki-laki itu.

"Hai. Ada yang bisa aku bantu?"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Oh tidak! Perasaan apa ini? Jantungku berdegup kencang ketika aku menatap matanya.

"Tentu saja, tapi tidak sekarang. Aku selesai bekerja pukul lima sore."

Aku melihat ponselku. Ini masih pukul tiga sore. "Baiklah, setelah selesai bisakah kau menemuiku di sungai dekat jembatan?" tanyaku sembari memegangi tengkuk karena gugup.

Laki-laki itu mengangguk. "Sekarang, boleh aku lewat? Pelanggan lain menunggu."

"Ah, tentu saja." Aku langsung bergeser mempersilakan laki-laki itu lewat.

"Gimana? Lancar?" tanya Eca ketika aku duduk di bangku.

"Nanti kau pulang duluan saja, aku akan menunggu."

"Sampai kapan?"

"Pukul lima sore."

"Eirin, gila! Ini baru pukul tiga, bagaimana bisa gadis menunggu seorang pria."

"Tapi, aku ini gadis yang menunggu seseorang beres bekerja."

"Sudahlah, aku tidak pernah bisa menandingi keras kepalamu. Aku akan menunggumu sampai dia datang. Tidak ada penolakan, ok!"

Seketika mataku berkaca-kaca, langsung saja menghamburkan pelukanku pada Eca membuat orang lain melihat kami dengan tatapan aneh.

Setelah membayar pada kasir, aku dan Eca pergi ke sungai yang tak jauh dari sana, letaknya dekat dengan jembatan layang. Di sana aku menikmati kota sebrang sungai yang penuh dengan asap mengepul di udara akibat pabrik, sementara di kotaku tidak semengerikan itu.

Beberapa jam berlalu hingga akhirnya laki-laki itu tiba menepati janjinya. Saat itu juga Eca langsung berpamitan padaku dan pada laki-laki itu.

"Maaf membuatmu menunggu," katanya seraya duduk di sebelahku.

"Tidak apa. Lagian ini juga keinginanku sendiri."

"Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?"

"Mungkin ingin berkenalan terlebih dahulu."

Semilir angin perlahan meniup rambutku hingga aku harus merapikannya kembali.

"Namaku Vino, siapa namamu?"

"Aku Eirin."

Setelah masing-masing mengatakan nama lalu keheningan melanda. Segera aku merogoh tasku dan mengeluarkan payung itu.

"Ini milikmu."

Vino melirik sekilas sebelum akhirnya mengatakan, "Ternyata kamu gadis itu, pantas saja aku seperti pernah melihatmu sebelumnya."

Ketika aku akan memberikan payung itu, tiba-tiba segerombolan berandalan muncul.

"Hei buruk rupa, mana uang yang kau janjikan padaku, hah?"

Seketika aku dan Vino langsung menoleh melihat tiga orang laki-laki dengan asap keluar dari mulutnya. Yang satu membawa pemukul baseball, yang satu lagi bertubuh ramping dengan banyak tindik, dan yang di tengah dengan badan cukup gempal aku yakin itu bosnya.

"Ini belum tenggat waktunya, bukan? Sudah kubilang awal bulan aku akan membayarnya."

"Bodoh! Itu kau bilang ketika ibumu masih hidup. Sekarang ibumu sudah mati jadinya kau tidak mungkin menggunakan semua uangnya bukan?"

Vino tampak meremas tangannya geram. Itu juga terlihat dari raut wajahnya.

"Apa? Kau mau menantangku?" Pria gempal itu mendekati Vino dengan wajah menengadah ke atas, tapi mata menatap remeh Vino.

Pria itu lalu balas melirikku. "Pacarmu cantik juga, ya. Jangan tertipu akan penampilannya, dia itu buruk rupa, lebih baik ikut dengan Om bagaimana?"

Seketika aku bergidik ngeri karena wajahnya mendekati wajahku dengan cepat sampai bau rokoknya membuatku batuk.

Vino langsung menarikku ke balakangnya. "Dia tidak ada urusan denganmu. Aku akan melunasi hutang itu ketika awal bulan tiba, seperti yang kujanjikan."

Pria itu lalu menarik kerah Vino. "Dasar bodoh!" Pria itu mendaratkan pukulan tepat di wajah Vino hingga dia tersungkur di tanah. Sementara aku shock melihatnya.

"Sudah kubilang sekarang!" Pria itu berteriak sambil berdiri di depan tubuh Vino yang tersungkur.

"Baiklah, untuk uang penuh aku belum punya. Tapi, setengahnya bagaimana?"

"Aku sedang baik hari ini."

Buru-buru Vino merogoh sakunya dan memberikan amplop coklat pada pria itu. Aku kira dia akan langsung meninggalkan kami, tapi pria itu terlebih dahulu membuka masker Vino dan membawanya bersamanya.

Bukan itu yang membuatku kaget, tapi aku melihat wajah Vino. Sekitar mulut dan pipinya penuh dengan luka bakar. Dengan tatapan kosong dia menatapku seraya tersenyum lebar. Terterpa angin, rasanya melihat Vino seperti itu sangat menyeramkan.

"Vino, wajahmu." Hendak aku menyentuh wajahnya dia langsung menepis tanganku. Buru-buru dia memakai kembali masker yang dia ambil dari tasnya.

"Pulang saja, bawa payung itu bersamamu."

Selang beberapa detik semuanya seolah diam, namun aku segera sadar. "Tapi, ini bukan milikku."

"Aku ingin kau memilikinya, tapi jangan sampai menghilangkan atau merusaknya."

"Kenapa?"

Baru saja aku bertanya demikian, hujan perlahan turun, yang awlanya kecil menjadi deras, membuatku terpaksa menggunakan payung itu. Kali ini tidak sendirian, tetapi berdua dengan Vino.

Dia bermaksud mengantarku pulang seraya berbincang denganku. Ternyata Vino cukup menyenangkan. Dari perbincangan itu aku jadi tahu di mana dia sekolah, hobbinya, dan cerita dibalik payung ini.

Tak kusangka dia lebih tua dariku, kami beda sekolah. Dan cerita dibalik payung ini cukup menyedihkan. Ini adalah hadiah terakhir pemberian ibunya sebelum akhirnya meninggal. Dan luka bakar itu, dia dapatkan dari ayahnya tiga tahun yang lalu.

Sampai di depan rumahku, aku membujuknya agar masuk terlebih dahulu ke rumah karena hujan masih deras, tapi dia terus menolak hingga akhirnya dia pergi melawan hujan lagi.

°°°

Hari ini dia libur kerja paruh waktu. Dan kami sudah saling menghubungi lewat ponsel bahwa kami akan berkenc— tidak itu tidak betul. Aku tidak kencan dengannya, aku hanya ingin bermain dengannya itu saja.

Dari kejauhan, Vino sudah menunggu di halte. Aku langsung menghampirinya.

"Maaf menunggu lama," kataku ketika sampai.

Vino tampak terdiam menatapku dan itu membuatku gugup.

"Apa ada yang aneh denganku?"

Seketika dia langsung memalingkan wajahnya. "Tentu saja tidak. Aku hanya kagum saja melihatmu."

Aku mengernyitkan dahiku.

"Aaaaa, tidak. Hanya saja kamu terlihat cantik," katanya memalingkan wajah dariku. Aku tidak bisa melihat ekspresi penuhnya karena tertutupi oleh masker.

"Ayo kita berangkat!" Dengan gugup dia mengalihkan pembicaraan. "Tapi, bo- bllehkah a- aku menggenggam tanganmu?"

Aku tersenyum dengan lebar. "Tentu saja."

Seperti yang dilakukan ketika dua orang pasangan sedang berken— bermain maksudku, kami mengunjungi banyak tempat hingga tempat terakhir yang kami kunjungi adalah sungai itu lagi. Tapi, kali ini kami membawa sesuatu di tangan kami.

Aku membawa cat di tanganku, dan Vino membawa kanvas kecil. Langsung saja kami membuka cat air dan melukiskan latar pada kanvas dengan kuas.

Sembari menunggu kering, aku juga meminta Vino supaya mengizinkan untuk melukis payung miliknya. Dengan cat putih aku menggambar polakdot hingga kucing melintas di depan kami.

Ide itu langsung muncul, Vino memangku kucing itu, sementara aku membersihkan tangan atau kakinya dan menyelupkan kedalam cat hingga terlukis tapak kakinya pada payung itu.

Setelah cat di kanvas kering, kami mengecat tangan kami dan menempelkannya pada kanvas ditemani tenggelamnya matahari.

°°°

Ternyata kesenangan itu tidak bertahan lama. Enam bulan berlalu, hingga tibalah hari kelulusan untuk Vino. Aku diminta datang olehnya.

Kukira ini hanya perpisahan antar dia dan teman-temannya, tetapi ternyata ini juga perpisahan antara aku dan dia.

Dia akan pergi ke kota sebrang untuk menemui pamannya. Katanya, dia akan mengadu nasib di kota sana untuk pekerjaan yang lebih baik. Dia juga memintaku untuk selalu menghubunginya dan berjanji akan menemuiku lagi ketika sudah saatnya.

***

Sungguh kenangan yang manis untuk diingat. Nyatanya janjinya tidak dia penuhi.

"Kenapa dari tadi terus melihat jendela,  Nona Eirin?"

"Mengemudi saja dengan benar, Tom."

Kali ini aku ditugaskan bersama pria di sebelahku, Tom untuk mewawancarai seorang desainer terkenal di kota sebrang. 

"Santai saja, waktunya masih lama."

"Orang sibuk sepertinya tidak memiliki banyak waktu luang seperti kita, Tom!"

"Baiklah, baiklah, Nona Cerewet."

Aku langsung memelototi Tom lalu melihat ke depan sembari meminum es kopi.

***

Aku dan Tom tiba di sebuah butik megah bernuansa Eropa-Asia. Begitu kami masuk, penjaga toko butik langsung menghampiri kami.

"Ada yang bisa kami bantu?"

"Kami dari perusahaan Egnoira sudah memiliki janji dengan Nyonya Alisa. Bisakah kami menemuinya?" Tom menyerahkan kartu identitasnya.

Setelah pelayan toko itu melihat dia langsung membawa kami pada asisten Alisa.

"Silakan masuk."

Di dalam ruangan yang terang itu terdapat seorang wanita berumur dengan dandanan nyentriknya tengah menunggu kami.

"Akhirnya kalian tiba juga. Cepatlah jika ingin mewawancaraiku, sebelum aku sibuk!"

Tom langsung basa basi dengan Nyonya Alisa. Tom adalah atasanku dan dia sudah profesional, seringkali aku kagum ketika melihatnya bekerja.

Ketika kami sedang mewawancarai Nyonya Alisa, tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sesosok pria dikawal diikuti seorang wanita yang aku yakini adalah asistennya. Sementara di luar pintu, aku melihat dua bodyguard tengah menunggu.

Bukan itu saja yang membuatku terkejut. Sejenak aku terpana dengan ketampanan seseorang yang berdiri di depanku. Dia seperti orang yang aku kenal jika dilihat-lihat. Apakah dia Vino? Tapi bagaimana mungkin? Ah, kenapa aku lupa, dia pasti melakukan operasi untuk membuat luka bakarnya hilang.

"Apakah kau Vino?" Mulut ini tidak dapat dibendung membuat semua orang menoleh padaku.

"Ya aku Vino, dan siapa kau?" katanya menatapku sinis.

Rasanya seperti dihujani ratusan anak panah yang menusuk jantungku. Dia? Apakah benar dia tidak mengenaliku sama sekali? Aku menunduk. "Lupakan saja, kumohon maafkan aku."

Setelah wawancara itu, Tom terus saja menanyaiku apakah aku baik-baik saja? Kenapa aku bertanya demikian padahal sebelumnya aku sudah tahu bahwa Vino sekarang adalah model ternama.

Tom tak berhenti menanyaiku bahkan hingga penginapan, membuatku risih dan memutuskan untuk pergi keluar mencari kedamaian.

Aku berjalan tak tentu arah hingga akhirnya aku tiba di sebuah taman yang cukup sepi. Melamunkan hal tadi rasanya dadaku sesak seperti diremas-remas.

Padahal sudah beberapa tahun yang lalu, seharusnya aku tidak terus menunggu janji itu. Eirin, kau memang bodoh!

Lagi-lagi hujan perlahan turun. Kenapa hujan selalu mendampingi hidupku? Tidak ada tempat berteduh di sekelilingku selain pepohonan. Sebaiknya, biarkan saja aku menikmati hujan ini cukup lama.

Mengingat memori hujan membuatku bertanya-tanya. Apakah benar Vino tidak mengingatku lagi? Apakah dia malu berteman dengan seseorang sepertiku? Apakah dia tidak ingin melihatku lagi setelah menjadi orang besar? Vino, kenapa? Apakah kau tidak menyukaiku lagi?

"Tentu saja aku selalu menyukaimu."

Hujan yang asalnya mengenai wajahku tiba-tiba tak lagi menghantam wajahku karena sebuah payung menghalangiku.

Reflek aku langsung mundur hingga menabrak seseorang membuatku berbalik.

"Vino?"

"Eirin, aku tidak pernah melupakanmu, bahkan aku selalu mengirim pesan padamu, tetapi kamu tidak pernah membalasnya."

Tak bisa berkata-kata aku langsung menghamburkan pelukanku padanya. Rasa rindu yang aku pendam selama puluhan tahun akhirnya tersampaikan.

"Maaf memperlakukanmu seperti itu di depan Alisa, karena paparaji tidak pernah bosan mengikutiku," katanya semebari menunjuk ke belakangku.

"Sial! Sebentar lagi hidupku tidak aman."

***

End
Penulis
Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro