4. Love And Lies

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sherin, jangan menangis. Aku akan baik-baik saja."

Kedua telapak tangan Deza menangkupkan pipiku. Ibu jarinya menghapus bulir air mata yang terjatuh dari pelupuk dan mengalir di pipiku. Deza mengembuskan napas lalu menarik tangannya.

Aku melirik infus yang terpasang di tangan kiri Deza dan handuk putih yang melilit kepalanya. Hatiku terasa teriris melihat Deza yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Beberapa perawat berdiri di samping ranjang, hendak memasukkan Deza ke ruang kemoterapi.

Sebelum perawat wanita berkerudung mendorong ranjang Deza, cowok yang sudah menjadi sahabatku sejak kecil itu mengulas senyum. Senyum khas Deza yang mampu menyamarkan kesedihan dan penderitaannya.

Aku menjatuhkan bokong di bangku yang disediakan. Pikiranku kalut. Keadaan Deza kian memburuk akhir-akhir ini. Aku takut. Aku takut dia kenapa-kenapa. Aku takut dia meninggalkanku. Deza adalah orang yang paling berharga setelah kedua orang tuaku meninggal. Dia yang selalu ada di sisiku. Menghiburku saat aku sedih dan selalu menyemangatiku.

Kini, seharusnya giliranku untuk menyemangatinya. Tapi ... tapi ... malah aku yang terlihat terpuruk. Malah aku yang terlihat lemah. Dan Deza, dia justru yang paling riang dan tetap menyemangatiku. Tidak ... seharusnya tidak begini ....

Kepalaku pening. Aku menutupi sebagian wajahku dengan telapak tangan kiri sembari berpikir, sejak kapan keadaan berubah seperti ini?

...

...

...

... ah, benar.

Setahun lalu. Ini semua dimulai ketika kami baru saja menginjak bangku kelas dua SMA. Penyakit itu datang, tanpa diundang. Terlalu tiba-tiba untuk seukuran Deza yang selalu sehat. Sejak saat itu, Deza menjadi lemah. Walaupun ... walaupun dia menyembunyikannya dengan selalu tersenyum dan riang seakan tidak ada apa-apa, tetapi aku tahu. Aku yang paling tahu selain dirinya. Di balik kegembiraannya itu, dia tengah menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Dulu Deza adalah anak yang baik, dia selalu jujur dan hampir tidak pernah berbohong. Namun, sekarang Deza menjadi tukang bohong sejak penyakit ganas itu menyerangnya. Aku tidak suka ini.

Aku benar-benar ingin berteriak rasanya jika saja aku lupa kalau saat ini aku sedang berada di rumah sakit. Beberapa orang yang lewat menatapku aneh.

Apa? Apa aku terlihat seperti orang frustrasi?

Mungkin benar.

"Kamu terlihat kacau."

Aku menengadahkan kepala, merasa terganggu. Baru saja aku ingin memakinya jika orang yang ada di hadapanku bukan dia.

Reino. Cowok berengsek itu sedang apa di sini?

"Jangan menatapku seperti itu."

Tanpa sadar aku menatapnya sinis. "Sedang apa kamu di sini?" tanyaku dengan nada sarkas.

Cowok berambut hitam jabrik ini tak mengacuhkanku. Dia memasukkan kedua tangannya di saku jaket lantas duduk di bangku sebelahku.

"Menjenguk seseorang," jawab Reino. Nadanya terkesan dalam. Dia menarik napas kemudian melanjutkan, "mungkin sekarang berubah menjadi menjenguk mayat."

Aku yakin sekali dia berkata itu dengan santai. Namun ... sorot matanya, sorot matanya tampak putus asa. Dan aku baru sadar, matanya sembap. Dia sama kacaunya denganku.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut melihat si cowok berengsek seperti ini. Biasanya dia selalu berkata dengan nada riang dan percaya diri. Tatapannya selalu merendahkan dan kata-kata yang keluar dari mulutnya menyakitkan. Tapi sekarang berbeda. Dia tidak terlihat seperti Reino si cowok berengsek yang biasanya. Ada yang aneh.

Reino menunduk, lantas selang beberapa detik, ia menatapku dengan iris hazelnya. "Rin, pernahkah kamu ... kehilangan orang yang kamu cintai dan sayangi?"

Pertanyaan aneh yang terlalu tiba-tiba.

Aku mengangguk kecil.

"Bagaimana rasanya?"

"Menyakitkan. Merasa menjadi orang yang paling tidak berguna dan menyedihkan," jawabku lalu mengembuskan napas. "Apalagi jika kamu ada di hadapannya, tetapi tidak bisa melakukan apa pun, tidak bisa mencegahnya."

Kenangan kejadian tujuh tahun lalu tiba-tiba terngiang di kepalaku. Kejadian yang mengubah hidupku, yaitu kecelakaan yang menyebabkan kematian Ayah dan Ibu. Saat itu aku ada di hadapan mereka, tetapi aku tidak bisa apa-apa. Aku terlalu syok, menyaksikan kedua orang tuaku yang bergelinang darah karena terlindas truk.

Saat itu pula, aku menangis. Aku menangis kenapa hanya aku yang selamat, kenapa kedua orang tuaku meninggalkanku, dan kenapa aku tidak bisa ikut pergi bersama mereka.

Akh!

Aku memegang kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit. Padahal aku sudah mencoba melupakan kejadian itu.

"Hei, kamu kenapa?" Reino memegang kedua pundakku dengan tatapan khawatir. Aku menepisnya pelan.

"Maaf," gumamku. "Aku tidak apa-apa."

Reino menatapku dengan rasa bersalah. Raut Reino yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun. "Maaf, pertanyaanku tadi pasti membuatmu teringat kejadian pahit."

"Benar." Kepalaku sudah tidak terasa sakit. Kali ini aku menatapnya. "Lanjutkan."

Reino menarik napas lalu mengembuskannya dengan berat. "Pernyataanmu tadi, aku merasa tertampar."

Dahiku berkerut. Melihatku yang kebingungan, Reino melanjutkan, "Ini pertama kalinya aku merasa sakit hati dan terlihat menyedihkan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku kehilangan orang yang berharga."

Aku mengangguk tanpa sadar. Seorang fuckboy seperti Reino, saat ini tampak sangat lemah di mataku.

Tunggu, bukankah aku sama saja? Ah, sudahlah.

"Bukan," ucapku, "maksudku saat kamu bilang menjenguk mayat. Bahasamu kasar sekali. Sebenarnya ada apa?"

Sejak kapan aku kepo-an begini?

"Oh, itu ...." Reino bergumam. Tampaknya ragu ingin membicarakannya. Tapi aku yakin, dia pasti akan bercerita.

"Sebenarnya tadi, pacarku baru saja meninggal."

Ah ... Keysha? Aku tidak tahu pacar yang mana yang dia maksud, tetapi aku yakin yang dimaksud adalah Keysha, cewek manis penyuka fotografi yang selalu dekat dengan si berengsek ini.

" ... Keysha?" tebakku dengan suara pelan.

Reino mengangguk singkat. "Memangnya siapa lagi? Pacarku hanya dia."

Lagi, aku mengerutkan dahi. "Masa? Tapi—"

"Kamu mungkin mengira aku playboy, tapi asal kamu tahu saja, aku tidak pernah pacaran dengan cewek lain selain Keysha. Kami sudah pacaran selama empat tahun. Dan orang yang kucintai hanya Keysha."

Aku terkejut, sungguh. Mungkin aku akan percaya jika kata-kata itu keluar dari mulut cowok baik-baik seperti Deza.

"Kamu mungkin tidak akan percaya, jadi aku tidak akan memaksamu untuk percaya."

Aku kagum dia mengatakan itu dengan tenang. Tidak seperti Reino yang selama ini kukenal.

Reino kembali memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. "Aku dan Keysha saling mencintai dan kami sudah berjanji akan menikah kelak."

Dia berpikir sampai sejauh itu? Tak kusangka.

"Seharusnya, hari ini kami akan kencan. Dia bilang, dia janji tidak akan membatalkan kencan ini. Kamu tahu, kan, Keysha itu sibuk. Sudah beberapa kali kencan kami batal karena kesibukannya, tapi aku tidak mempermasalahkan itu. Yang kupermasalahkan adalah, dia berbohong." Suaranya bergetar, tampak menahan emosi.

"Aku sudah menunggunya selama dua jam tadi pagi di kafe tempat kami akan kencan. Lalu aku mendapat kabar Keysha ada di rumah sakit. Aku tidak bisa menahan kaget dan segera pergi ke rumah sakit tempatnya berada."

Aku bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak ... ini akan terdengar menyakitkan. Aku ... aku tidak mau teringat lagi!

Namun, Reino tetap melanjutkan, tak peduli tatapanku yang frustrasi. "Sesampainya aku di sini, dia sedang terbaring di ranjang dengan wajah lesu dan pucat. Alat elektrodiograf ada di sampingnya, tapi monitornya menunjukkan garis lurus. Aku langsung mengecek detak jantung, denyut nadi, dan napasnya. Saat itu aku seperti orang gila. Meneriakkan namanya saat tahu tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Dokter dan perawat kesulitan menahanku, sampai akhirnya aku memukuli mereka."

Dia sampai memukuli dokter dan perawat? Wah, dia gila.

"Lalu Dokter memberitahuku, Keysha meninggal karena leukemia. Katanya, penyakit itu baru dideritanya dua bulan lalu dan langsung stadium akhir. Saat itu, aku bergeming seperti patung. Menolak kenyataan bahwa Keysha sudah tiada."

Reino tertawa. Di telingaku, tawanya benar-benar terdengar menyakitkan. Aku merasakan emosi yang bercampur dari nadanya.

"Bagaimana aku bisa percaya? Keysha sama sekali tidak memberitahuku tentang penyakit yang dideritanya! Dia benar-benar menyembunyikannya dengan baik. Kamu lihat sendiri, kan, Keysha tampak baik-baik saja selama di sekolah? Dia hampir tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya. Tapi mungkin juga karena itu, dia tidak ingin tampak lemah di hadapanku. Dia tidak ingin aku khawatir berlebihan. Dan dia ingin ... terlihat baik-baik saja seakan penyakitnya hanyalah sebuah candaan."

Aku mengatupkan mulut rapat-rapat. Kata-katanya benar-benar menamparku. Di lain sisi, aku mengiyakan keadaan Keysha yang memang terlihat baik-baik saja. Aku mengerti, baik perasaan Reino maupun Keysha. Keysha sama seperti Deza, yang menyembunyikan kesedihan dan rasa sakit mereka lewat senyuman.

Reino mendongak, menatap langit-langit. "Kata Dokter, Keysha meninggal semenit sebelum aku datang. Andai saja ... andai saja aku bisa datang lebih cepat dan berada di sisinya di saat-saat terakhir, mungkin aku tidak akan merasa semenyesal ini," lanjutnya lalu menyunggingkan senyum sedih. "Jika dia memberitahuku tentang penyakitnya, aku pasti akan menemari dan selalu berada di sisinya. Ah, sial."

Cowok di sampingku ini sesegukan. Bulir air mata tak dapat dia tampung. Namun, dengan cepat dia lap dengan lengannya yang dibalut jaket. Sepertinya Reino benar-benar mencintai Keysha. Aku sangat mengerti perasaannya karena aku pun juga melakukan yang ingin Reino lakukan.

Reino mengalihkan pandangannya kepadaku. "Kamu sendiri, Rin? Sedang apa di sini dengan penampilan kacau begitu?" Giliran Reino yang bertanya.

Aku mengembuskan napas pelan lalu mulai bercerita. Aku yang tengah menunggu Deza melakukan kemoterapi. Juga tentang Deza dan penyakitnya. Tapi ... tapi aku tidak sanggup bercerita, membayangkan rasa sakit yang Deza rasakan. Pada akhirnya aku menangis di hadapan Reino dan dia mencoba menenangkanku. Ini memalukan. Aku tidak pernah membayangkan akan menangis di hadapan si berengsek.

"Bukankah seharusnya kamu terlihat kuat di hadapan Deza? Kalau kamu lemah begini, Deza bisa sedih, lho," kata Reino yang membuatku bungkam.

Perlahan aku mendongakkan kepala, menatapnya. Dia mengulas senyum. Bukan senyum genit atau senyum merendahkan yang biasa dia tunjukkan, tetapi senyum hangat yang menenangkan. Reino benar-benar menunjukkan sisi lainnya padaku.

Aku menganggukkan kepala. Bagaimanapun, yang dibilangnya benar. Harusnya ... harusnya aku tidak boleh lemah begini! Deza sudah berjuang sekuat tenaga, sedangkan aku? Apa yang kulakukan selain menangisinya?

"Kamu benar. Aku harus kuat."

Reino melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya lalu bangun dari duduk. "Aku harus pergi. Keysha akan dimakamkan hari ini," ujar Reino. Iris hazelnya menatapku penuh arti. "Kamu harus bersyukur, Rin. Temani Deza hingga akhir. Jangan sampai kamu merasakan penyesalan yang sama denganku."

"Pasti," balasku seraya mengangguk kecil.

"Jangan murung, oke? Aku pamit." Setelah berkata demikian, Reino meninggalkanku.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat. Bersyukur ya ....

Mungkin Reino benar. Harusnya aku bersyukur. Deza tidak merahasiakan penyakitnya dariku, dia selalu terlihat riang, dan setidaknya aku bisa menjaganya hingga akhir. Satu hal lagi yang lupa kusyukuri. Setelah dua bulan mengidap penyakit mematikan, Keysha meninggal, sedangkan Deza yang mengidap meningitis dan leukemia, masih bisa bertahan hidup selama setahun ini. Tuhan masih memberikan kesempatan untukku dan Deza agar bisa bertemu.

Kenapa aku begitu bodoh?

Pintu ruang kemoterapi terbuka. Sebuah ranjang rumah sakit yang ditiduri seseorang didorong dari dalam ruangan. Aku mendelik. Itu Deza!

"Deza!" seruku senang. Deza tersenyum seperti biasa, tetapi kali ini wajahnya tampak lelah. Aku jadi khawatir.

Beberapa perawat mendorong ranjang Deza menuju ruang inap di mana Deza dirawat. Perawat tadi meninggalkan ruangan, menyisakan kami berdua. Selama Deza dirawat, memang aku yang selalu merawatnya. Tapi tentu saja malamnya aku akan pulang dan digantikan oleh pamannya Deza. Orang tua Deza bekerja di luar negeri dan jarang pulang. Bahkan saat tahu Deza mengidap dua penyakit parah saja mereka tidak mencoba pulang atau menjenguk.

Saat ini aku tengah duduk di samping ranjang Deza dengan kedua tangan menggenggam telapak tangan kanan Deza. Menggenggam erat ... agar dia tidak lepas dariku.

"Sherin," panggil Deza.

Aku yang tadinya menunduk sedikit mendongak. "Ya?"

"Jangan menangis. Aku baik-baik saja." Deza mengatakan itu dengan senyum hangat. Tangan kanannya terangkat, mengusap-usap puncuk kepalaku dengan lembut. Aku bahkan tidak sadar sudah menangis.

"Aku pasti akan sembuh," tambah Deza.

Kamu tidak sedang berbohong, kan ...?

"Dan setelah ini, kita akan jalan-jalan bersama, seperti dulu lagi." Kali ini Deza tersenyum lebar. Nadanya riang.

Aku mau tak mau menatapnya penuh harap. Tanpa sadar jari kelingkingku terangkat dan menyodorkannya pada Deza. "Janji?"

Deza terdiam. Jari kelingkingnya tidak bergerak. Namun, beberapa detik kemudian dia kembali tersenyum dan mengelus puncuk kepalaku. "Aku tidak mau menyakiti Sherin."

Artinya, aku tidak mau berjanji.

Seharusnya aku tahu. Aku ... tidak perlu terlalu berharap begitu.

Tapi ....

"Tapi kamu tidak bohong, kan?" tanyaku lirih.

"Iya!"

Lagi-lagi Deza tersenyum lebar begitu. Lihatlah wajah riangnya. Tak peduli penyakit yang menggerogoti tubuhnya, Deza tetap berusaha tegar. Tapi aku senang. Bagaimana jika Deza juga terpuruk sepertiku? Tak bisa kubayangkan.

Perutku tiba-tiba berbunyi. Ah, aku lupa sejak pagi aku belum makan.

"Perutmu bunyi, tuh." Deza menunjuk bagian tengah perutku. "Kamu tidak boleh telat atau tidak makan, Rin. Jangan hanya karena gara-gara aku, kamu tidak makan terus ikutan sakit."

Aku tersenyum malu. "Iya, maaf," ucapku lalu bangkit. "Aku cari makanan dulu, ya."

Deza mengangguk. Aku memanggil beberapa perawat untuk menjaga Deza. Sebelum meninggalkan ruangan, aku melirik Deza. Perasaanku saja atau memang benar Deza tampak lelah dan kesakitan? Ini benar-benar tidak seperti biasanya. Sial, firasatku jadi buruk.

***

Lima belas menit aku mencari dan menunggu makanan. Aku membeli bento dan jus jeruk. Sekarang, saatnya kembali ke Deza!

Aku melangkahkan kaki menuju lift kemudian menekan tombol angka lima. Ruangan tempat Deza dirawat memang di lantai lima. Tak lama, lift sampai di lantai lima. Aku segera menuju ruang Anggrek.

"Deza, aku bal—"

Begitu aku membuka pintu, mataku tidak tahan untuk terbelalak. Perawat yang ada di dalam ruangan sontak menoleh ke arahku.

"DEZA!" pekikku panik. Aku segera menghampiri Deza.

Bagaimana aku tidak panik? Deza sedang terbaring lemah begitu! Entah dia tidur, pingsan, atau ... atau ... ugh, stop Sherin! Jangan nethink!

"Sus, Deza kenapa?" tanyaku pada Suster Anna, perawat yang menjaga Deza.

Perawat wanita ini juga tampak panik. "Saya juga tidak tahu. Tadi saya tinggal sebentar buat ngambil obat. Lalu saat saya balik, tahu-tahu Deza tidak sadarkan diri," jawab Suster Anna.

"Saya sudah coba cek detak jantung, denyut nadi, dan napasnya. Ta-tapi—"

Emosiku naik.

"TAPI APA SUS?!" selaku memekik.

"—sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi," lanjut Suster Anna lirih.

"A-apa ...?" Aku tercengang, menatap Deza tak percaya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

"Saya sudah panggil Dokter. Sebentar lagi beliau akan ke sini."

Aku segera mengecek semuanya, mulai dari detak jantung, denyut nadi, dan napas. Tapi semuanya ... tidak berdetak. Tidak ada embusan napas. Bahkan saat kusentuh tangannya, kulitnya sedingin es.

"De ... deza?" gumamku lirih. Perlahan kedua telapak tanganku menangkupkan wajah Deza yang tampak tertidur pulas. Wajahnya sudah tidak menunjukkan raut kesakitan lagi. Begitu kusentuh kulitnya, dingin. Kulitnya putih memucat.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak ... tidak .... Ini pasti bercanda!

Tanpa sadar air mataku sudah mengalir deras.

Deza ... tidak mungkin! Beberapa menit lalu, kami baru saja mengobrol! Aku bahkan hanya meninggalkannya sebentar untuk membeli makanan! Ta-tapi dia ....

"Huaaa ...." Aku menangis meraung-raung. Suster Anna menopang tubuhku yang nyaris terjatuh karena saking syoknya.

Mataku yang berlinang air mata tanpa sengaja menangkap sebuah kertas putih yang tergeletak di atas meja samping ranjang Deza. Aku meraihnya. Kertas itu berisi sebuah tulisan, mungkin terlihat seperti surat. Dan ini adalah ... tulisan Deza.

Aku mencoba membacanya walaupun masih sesegukan.

Halo, Sherin. Ini Deza, sahabatmu. Kalau kamu sudah membaca surat ini, berarti aku sudah mati.

Kamu tahu tidak, sekarang tanggal berapa?

Yap, 1 April!

Kamu tahu artinya?

April Mop! Kamu kena!

Karena sekarang April Mop, aku berbohong. Sekali-kali berbohong tidak apa-apa, kan? Hehe.

Sudah berapa kali kamu tertipu, Rin?

Berapa pun itu, semoga kamu tidak marah padaku—eh, tapi sudah pasti marah, ya? Kalau begitu maafkan aku. Maafkan aku yang sudah menyakitimu dan berbohong padamu. Maafkan aku yang sudah merepotkanmu.

Dan terima kasih. Terima kasih atas segalanya. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku, yang merawatku dan selalu ada di sisiku.

Sherin, jangan menangis. Kamu harus kuat. Kamu harus merelakanku. Ini sudah waktunya kita berpisah. Aku sangat bersyukur, aku bisa bersamamu di masa-masa terakhirku.

Dan satu hal lagi yang sejak dulu ingin kukatakan, aku mencintaimu. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai laki-laki. Sejak dulu aku sangat ingin mengatakan ini padamu, tapi aku tidak berani. Pada akhirnya, aku hanya bisa mengungkapkan lewat surat. Padahal, jika aku sembuh, aku ingin sekali menembakmu dan mengajakmu kencan. Namun sayang itu tidak mungkin.

Sherin, jangan menangis. Kamu harus bahagia. Temukanlah orang yang berharga bagimu, selain diriku.

Mungkin sekian surat dariku. Doakan aku agar tenang di atas sana, ya!

Happy Fools Day!

Salam hangat, Deza.

...

...

...

Setelah membaca surat itu, aku meremasnya dan menangis kencang. Tak dapat kubendung lagi. Deza bodoh ... Deza bodoh ....

Kamu bilang kamu cinta padaku?

Hiks ... apakah aku harus senang atau sedih? Senang karena perasaanku terbalas atau sedih karena kau tiada?

Lalu, tak lama kemudian, Dokter datang dan menyatakan Deza Alviano telah meninggal dunia.

***

Deza dimakamkan langsung hari ini. Saat ini aku berada di depan makamnya, menatap penuh duka. Proses pemakaman sudah selesai beberapa menit lalu. Dan aku masih setia berdiri di sini. Berharap dia masih hidup dan muncul di hadapanku lalu mengatakan 'April Mop!' jika kematiannya yang tadi adalah salah satu kebohongannya.

Aku tertawa hambar. Sebagian diriku memang masih belum menerima apa yang terjadi.

Semilir angin meniupkan helaian rambut panjangku. Jariku menyampingkan anak rambut yang beterbangan. Hari sudah semakin sore, tetapi aku belum berniat untuk pulang.

"Hei."

Aku tersentak kecil begitu mendengar suara seseorang. Kepalaku dengan cepat tertoleh ke asal suara dan terbelalak begitu mengetahui sang pelaku.

"Reino ... kenapa bisa ada di sini?" tanyaku heran.

Aku tidak salah lihat. Di hadapanku, si cowok berengsek tengah memakai pakaian serba putih.

"Sudah kubilang, kan, Keysha akan dimakamkan hari ini? Kamu sendiri—" Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Reino tak sengaja melirik batu nisan yang ada di depanku.

Reino mengembuskan napas. "Aku turut berduka cita," katanya pelan. "Tapi, tak kusangka Keysha dan Deza dimakamkan di makam yang sama. Sebuah kebetulan juga kita bisa bertemu di sini."

Aku mengangguk. Ternyata Keysha juga dimakamkan di sini. Dan sekarang, aku bertemu dengan Reino lagi. Sungguh kebetulan.

Kami berdiri berdampingan, memandang makam masing-masing orang berharga kami dan sama-sama terdiam beberapa saat sampai akhirnya Reino kembali bersuara.

"Rin, sekarang tanggal berapa?"

"Satu April," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari makam Deza.

Terdengar gelak tawa ringan dari sampingku. Ternyata Reino tengah tertawa.

"Ada apa?"

Reino masih tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepalanya "Pantas saja banyak kebohongan. Ternyata April Mop."

"Yah ... kamu benar. Hari ini terlalu banyak kebohongan," ujarku mengiyakan.

"Hari ini, Keysha berbohong banyak padaku."

"Deza juga." Aku mendongakkan kepala, menatap cakrawala yang sudah berwarna jingga.

"Ini takdir yang kebetulan."

Aku mengalihkan tatapan pada Reino. Di saat itulah, Reino tersenyum. Senyum yang menggambarkan perasaannya saat ini.

Tanpa sadar aku juga ikut tersenyum lalu mengembuskan napas.

"Semoga tenang di alam sana," ucap kami berdua dengan senyum menghiasi wajah.

Mungkin, aku bisa mencoba untuk ikhlas dan memulai hubungan baik dengan Reino.

Deza, kuharap kamu bahagia di sana. Karena aku akan bahagia di sini, sesuai perkataanmu.

END

Penulis Ravel_Zayc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro