4. Nelangsa in Valentine

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya karena seorang gadis yang bahkan belum pernah mengenal apa itu 'cinta' dalam pandangan hubungan antar lawan jenis, aku dibuatnya tidak menaruh minat pada menu sarapan di meja makan. Uzumi tofu yang biasanya jadi penyemangat pagi pun tak mampu merayu mulutku untuk segera menyantapnya. Haruskah aku melewatkan sarapan penghangat tubuh atas cuaca dingin di pagi hari?

Rasa-rasanya, ini merupakan kesialan yang entah keberapa ketika aku menjadi anggota masyarakat setelah lulus sarjana. Hubungannya apa? Kurasa tidak ada.

Aku mengobrak-abrik rambut sebelum akhirnya meraih segelas air di meja. Saat kegalauanku hampir saja lenyap, notifikasi dari ponsel pintar membuat persentase kemurunganku kembali memuncak. Beberapa perempuan dari sekian puluh pacarku mengirim pesan via LINE.

Yuuna: Takuya-kun, ayo jalan-jalan! Aku ingin beli bikini baru!

Misaki: Sayang, apa kamu senggang hari ini???

Arisa: Pagi, honey! Yuk, temani aku belanja!

Kim Bona: Sayang, sayang, sayang...

Alice: Morning, babe! Mau oya-oya denganku?

"Hahaha! Apa-apaan, nih?! Jangan membuat ubun-ubunku semakin melepuh, dong!"

Kalau saja ponsel bisa dibeli pakai rumput gajah atau daun pohon ketela, sudah sejak tadi benda hitam persegi panjang itu ku-smackdown hingga tembus lantai tetangga di bawah.

Tak lama, aku membereskan meja makan dan mencuci perkakas dapur yang kotor. Kemudian aku pun kembali ke kamar dengan niat rebahan sampai malam. Namun ketika diriku sudah dalam keadaan PW dan memeluk bantal guling, bola mataku terbelalak. Seolah-olah ingin memutuskan hubungan dengan saraf-sarafnya.

14 Feb

14 Feb

14 Feb

Cepat-cepat kubuka chatroom-ku dengan seorang mahasiswi yang akhir-akhir ini sering mabar gim online bersamaku. Seribu sayang, gadis polos yang terperangkap dalam tubuh onee-san itu masih belum membalas pesan.

Padahal aku sudah senyum-senyum sendiri berharap dia menyapaku dengan ucapan selamat pagi dan mengajakku bertemu untuk diberi cokelat.

"Hm, aku fine. Pacar aja bukan."

Satu hari tidak berbincang dengannya di telepon, aku galau. Selama 6 jam pesanku masih belum terbalas, aku tak bisa berhenti was-was. Sepanjang pagi sampai malam, imajiner wajah tanpa ekspresi dan suara lembutnya terus terbayang.

Apa kabar dengan pacarku si A, si B, si C dan lain sebagainya?

Sialnya, sekarang adalah hari di mana aku mempertaruhkan nilai diriku di mata gadis cimit-cimit itu.

14 FEBRUARI

Aku pun bertanya-tanya dengan diri sendiri, "Mungkinkah Rara memberikan olahan cokelat buatannya kepada seseorang? Atau bahkan, semua orang yang dikenalnya?"

Sudah tujuh bulan semenjak ada perempuan yang benar-benar membuatku ingin memiliki hubungan dengan serius. Tapi orangnya saja tidak pernah paham ketika aku menggombalinya. Aku tidak sanggup seperti ini lebih lama lagi.

Kusambar kaos hoodie panjang yang tergantung di balik pintu lalu melesat ke toko kue terdekat.

Setelah mendapatkan barang mistis dengan diskon besar-besaran khusus hari ini, aku melenggang keluar toko dengan santainya. Sampai di perempatan jalan, aku tersadar. Ini aku beli cokelat sendiri, dimakan sendiri, begitu?

"Sepertinya otakku belum sabunan sejak dua hari yang lalu."
[8/2 11:06] Ave-Wp: Aku memutuskan untuk membuang cokelat tidak berguna itu di tempat sampah. Ketika aku sudah mengambil kuda-kuda untuk melemparnya dari jauh, iris hazel-ku menangkap sosok manusia yang tidak asing.

Rambut hitam sepundak, poni imut khas kutu buku, dan yang paling penting ... huruf T dan R yang terdapat pada case ponsel miliknya. Itu kan case ponsel hadiah dariku bulan kemarin.

"Rara ... a-apa kamu, Rara?"

Tunggu! Jantungku kenapa senam aerobik begini, ya? Apa aku telah jatuh hati? Tidak, tidak. Kami hanya kenalan yang kebetulan menaruh minat pada hal yang sama.

Tidak lebih dari itu, kan? Ya, maunya sih lebih. Tapi terjebak zona kawan.

Iris kecokelatan miliknya menatapku lurus sebelum akhirnya dia tersenyum.

"Bolehkah aku pingsan dalam pelukannya sekarang juga?" bisikku dalam hati.

"Tidak. Ayo kita makan cokelatnya bersama-sama."

Kami terduduk di bangku taman terdekat. Kubuka bungkus bingkisan tadi dan kudapati biskuit dan donat dengan wujud gelap penuh cokelat. Ada pula yang berwarna putih.

Aku ingin menciptakan adegan manis hari ini. Sungguh tidak sabar. Kuambil salah satu donat cokelat dan mengangkatnya ke hadapan target. "Rara, buka mulutmu."

"Ah, tidak. Itu untuk Takuya-san saja. Aku sudah mencicipinya tadi," dia menolakku. Baik, aku sudah sering dibeginikan.

"Ya sudah kalau itu maumu. Tapi, apa kau tidak mau mengatakan sesuatu dulu sebelum memberi cokelat ini tadi?" Aku berharap dia peka dengan kode keras ini.

"Oh, iya! Aku ingin bilang terima kasih karena sudah jadi temanku. Meski Takuya-san beberapa tahun lebih tua dariku, aku merasa seperti punya teman sebaya di negeri asing ini."

"O-Oh, begitu." Pupus sudah harapanku.

Gadis itu berjalan mendekat dan menyodorkan sebuah bingkisan. Paham maksudnya, aku tersenyum miring.

"Imut sekali bungkusnya, seperti yang memberi," tuturku tanpa basa-basi.

"Takuya-san, di chatting dan dunia nyata ternyata tidak ada bedanya. Sungguh teman yang asik!"

"Tentu saja, baru tahu?"

Dalam hati, "Hahaha! Sakit namun tidak berdarah."

Seketika aku mengingat kosakata bahasa Jawa yang pernah kubahas saat belajar bahasa Indonesia dengannya. Nelangsa. Oh, jadi ini yang disebut kondisi nelangsa. Aku nelangsa di hari penuh kasih sayang ini. Yang benar saja?

Gaskeun. Aku mau jedoran hari ini juga. Kutarik tangannya dan kami bergegas angkat kaki dari jajaran toko kue.

"Takuya-san! Ada apa? Enggak salah gandeng, kan?" tanya Rara bingung.

Keheningan dan rasa canggung ini membuatku muak. Aku harus mencari topik lain demi mengikis momen awkward ini.

"Hei, Rara."

"Iya?"

Sumpah, ini menjengkelkan.

"Rara, Dai-"

"Takuya-san, Daisuki!"

"Ha-Hai?"

"Daisuki."

"Lebih keras."

"Daisuki!"

Aku menarik lenganku sendiri dengan kedua jariku. Rasanya sakit. Tapi otakku belum mengumpulkan nyawa seutuhnya.

Aku harus mengkonfirmasi ini, "Kenapa kamu bilang menyukaiku?"

"Soalnya kita kan teman baik. Kata Miyuki aku harus bilang begitu setelah memberi cokelat pada yang paling dekat denganku. Dia juga yang memberiku saran agar memberi cokelat handmade karena lebih menyentuh. Dan karena Takuyan-san adalah orang yang sedang dekat denganku akhir-akhir ini, jadi ... ya kuberikan saja," jelas Rara dengan wajah tanpa dosa.

Kalau orang ini adalah squishy, aku pasti sudah meremasnya sampai kehabisan napas. Mungkin memang sudah seharusnya aku bertindak dengan jantan.

Perlahan tapi pasti, aku memperkecil jarak di antara wajah kami, "Kalau begitu, biarkan aku menyantap cokelat ini bersamaan dengan bibir-"

"Mou! Takuya-san hentikan atau kupukul!"
Gadis sembilan belas tahun itu menjauh seribu langkah dariku.

"Iya, sayang."

"Mesumnya kumat. Aku pulang, ya! Sampai jumpa!"

Beberapa detik berikutnya Rara sudah semakin jauh dari pandanganku. Tapi tidak apa, masih untung aku
mendapat cokelat dari orang yang kusuka di hari Valentine ini.

"Tapi barusan ... apa aku baru saja gagal nembak cewek?"

***

End
Penulis
vev_e_vev

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro