4. Save My Light

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tema : Mantan

Ini tidak lebih dari ruang hampa penuh tanda tanya, masa depan yang kita bicarakan berubah menjadi nada sumbang. Detik waktu yang menemani tiap pukul dua belas malam hanyalah segelintir saksi bisu mengenai tulisan ketidakmampuan. Acap kali kutorehkan kadang kala mengingatmu hanyalah sebatas fana—tidak kekal di dunia.

Sering kupertanyakan, kemana jiwamu akan bersemayam setelah kabur dari persinggahan sementara. Begitu teganya meninggalkan setelah menabur begitu banyak kenangan yang kini berubah menjadi luka beralasan. Terlepas dari rasa sakit akibat keindahan memori masa lampau, napasku tercekat ketika berandai waktu berhenti berputar. Angkuh sekali jika diriku malah mengutuk masa. Dosa besar akan serapah waktu dunia, membuat luka alih-alih menutup, nyatanya semakin menganga.

“Kau tahu kenapa aku suka kemari padahal aku takut sekali jika tenggelam?”
Aku ingat ketika di dermaga, seringkali kau lupa berkedip hanya untuk menanti kapal benar-benar merapat ke pinggiran, kala itu, aku hanya bisa diam, seolah tidak tertarik dengan topik pembicaraan—kebohongan telak. Aku mati penasaran. Beruntung kau begitu mengenal diriku yang bahkan aku saja keliru.

“Di setiap persinggahan, selalu saja ada yang pergi dan kembali, bagiku … dermaga tidak lebih dari gambaran hidup yang sementara.”

Benar, jika memang setiap saat, kita melihat perbedaan yang mencolok dari garis edar kehidupan. Bagaimana kapal yang semula membawa ribuan pelesir menyisakan setengahnya, atau sama sekali tidak ada. Hilang, berubah haluan atau kemungkinan lain yang tidak ingin kupikirkan. Berjuta rasa membuncah dalam satu gelombang, lagi-lagi, jantung berdetak tidak karuan kala mengingat aku hanya sendiri sekarang.

Kebisuan panjang yang dulu pernah hilang, menjadi abadi sekarang, lucu sekali. Tidak ada yang abadi, dan ini menjadi harapan, bahwa mungkin aku akan menemukan gelak tawa yang baru, berharap lebih baik darimu, pikirku akan baiknya jalan yang dipenuhi oleh kejutan masa. Lagi-lagi, ini perbincangan kita yang membekas.

“Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk lupa?”

“Lupa dengan apa?”

“Kau misalnya,”

“Heh? Kau bercanda?”

“Nggak, cuma kepikiran. Eh, atau aku ganti, kau bisa lupa denganku tidak?”
Aku tidak ambil pusing kala itu, anggaplah sekedar racauan tidak jelas yang kesasar hanya karena kita kehabisan bahan pembicaraan. Ternyata, lagi-lagi aku salah. Masih saja bodoh untuk mengenalmu yang tidak pernah mengeluarkan kata hampa—selalu punya arti.

“Entahlah, mungkin … tidak pernah?”
Senyuman indah yang biasa kau tunjukan tidak sama dengan yang membekas dalam memoriku. Aku baru tersadar setelah kau benar-benar pergi dan aku merutuk tidak pernah lupa akan setiap gestur itu sendiri.

“Baguslah, aku akan sedih jika kau lupa denganku,”

Sejenak ingat, rupanya kau pernah berkata itu dulunya. Anggaplah, memang akan terasa begitu sakit jika orang yang kau sayang hendak melupakanmu, bahkan walau hanya sekedar rencana, itu tidak akan membuahkan hasil yang baik. Apa kau akan sedih di sana, ketika beberapa waktu lalu, aku memang ingin lupa denganmu?

“Jika aku tidak ada …,”

“Jangan meracau, kau sudah kelewatan!”

“Eh? Baiklah.”

Burung camar bahkan tidak terima dengan penyelaanku agaknya, terpelatuk paruh panjang kukira hanya sekedar kesialan, ternyata aku salah mengira—burung itu berusaha memperingatkan.

Seharusnya kudengarkan lanjutan itu, pasti ada usulan di sana, saran agar aku tidak tersesat seperti sekarang. Waktu tinggal waktu, tidak bisa kupaksakan. Aku menyesal. Benar-benar menyesal.

Memikirkan kau kecewa dengan sikapku walau kau sembunyikan.

Tidak sadar, ternyata sudah satu malam penuh aku terjaga, terakhir kali ketika aku tahu kau sudah tiada. Kini, kau juga salahnya, pasal apa kau tidak pernah memberitahuku bahwa kau punya kebiasaan menulis seluruh surat-surat untuk masa depan? Seolah kau tahu, aku akan terpuruk setelah kematianmu.

Haha!

Aku bisa tertawa sekarang, walau entah untuk apa, hanya ingin memutuskan untuk beranjak dari sini, melupakan perihal ruang tanda tanya, karena setelah melihat begitu banyak hal yang baru aku sadari setelah menyendiri, ada baiknya jika aku melangkah maju untuk menemuinya. Berharap, kau masih menerimaku berkunjung di sana.

Jalanan yang kupijak saat ini ditumbuhi dengan ilalang panjang, tidak masalah selama aku tidak menemukan ulat atau semacamnya. Pagi buta tidak secerah biasa, awan kelam sejak semalam  belum juga beranjak pergi dari langit, padahal hatiku tidak seburuk itu—jelas, memangnya cuaca harus mengikuti suasana hati? Tidak, tapi … terkadang biar afdol saja.

“Hah!”

Sesak juga, ketika melewati kubangan lumpur di sebelah kanan, aku jadi teringat pernah berlarian dan menginjak duri di sana. Luka, berdarah, tapi tidak sakit. Tahu kenapa? Karena rasa sakitnya teralihkan oleh pikiranku yang kalap dengan luka di hati. Bahkan, nyaris hampir tak bisa bernapas, dengan kaki terseok, masih berusaha keras mencapai batu nisan.

Sial!

Bodoh!

Terakhir, menyedihkan!

Banyak yang mengatakan bahwa rupaku jelek sekali ketika menangis dan meraung seperti hari itu. Ah, andai saja ada reka ulang kejadian, sepertinya aku pun akan malu melihatnya. Orang-orang ketakutan, dikiranya bahwa aku sudah kerasukan. Begitu tragis, aku tidak memikirkan jika kau melihatnya, bakal marah seperti apa nantinya?

Sekarang, aku jadi penasaran, bagaimana daun ivy yang menjalar di atas batu nisan milikmu? Sudah lebih segar atau justru semakin layu? Ini harapan pertamaku setelah sadar kenyataan pilu. Kuharap, akan hijau memukau, agar aku lebih percaya diri menapaki tiap jalan tanpa hadirmu nanti.

Aku jadi ingat isi pesanmu di malan senin, hari ke-12 di bulan Juni.

Kleur, kau tahu daun ivy? Iya! Daun yang kau bilang hijau saja tidak ada yang menarik, Cuma bentuknya yang seperti hati. Jujur, aku tertawa. Apalagi waktu, kau bilang daunnya tidak masuk di akal, tidak masuk di mana? Ah iya, seharusnya warnanya merah ya? Ada maknanya daun itu warna hijau. Mau tahu tidak?

Hm? Diam saja? Kau itu tidak bisa bohong lho. Daun ivy itu lambang cinta. Eh? Jangan batuk! Haha, bercanda! Baca baik-baik ini ya! Kenapa aku suka sekali memeliharanya di tembok rumah. Daun itu tidak hanya merambat tidak tentu arah begitu, setiap kali melihatnya, aku … jadi ingat tentang waktu yang kita habiskan.

He~ kenapa? Baru sadar ‘kan? Katanya, daun itu punya makna keabadian, tapi kau tahu sendiri. Keabadian itu terlalu samar untuk kita jabarkan. Hanya saja, aku ingin … menganbil keputusan agar memori kita selalu terkenang, setidaknya sampai batas waktuku di dunia. Pedih ataupun senang, selalu kita lewati bersama.

Kleur … hijau daun ivy artinya kehidupan, seharusnya terus berjalan dengan penuh gairah. Sulur yang merambat itu, arti bahwa selalu ada jalur yang harus kita lewati sampai menemui tujuan. Cahaya … apapun yang terjadi kau harus selalu bersama cahaya, Kleur!

Save-My Word! Save-My Light!

Sebenarnya aku paham, memang aku ini tidak pernah mau mendengarkan. Bersikap naif dan hanya mengandalkan ego. Bagiku … kau cahayaku. Sama seperti daun ivy, aku butuh cahaya. Tetapi, aku bahkan hampir dibutakan dengan keputusasaan. Aku lupa bahwa jalan memang masih panjang.

“Ily, aku datang!”

Walau aku tahu, kau tidak bisa mendengarnya, aku hanya ingin menyapa. Memandangimu dan merapalkan doa. Memang, dunia begini adanya, ada pertemuan dan perpisahan. Aku tidak lagi mengutuk dunia. Kala itu, aku sadar, air hujan memang bisa menghapus jejakku di sini. Tapi, kenangan denganmu akan abadi.

Setidaknya ini cara agar bayanganmu tidak lagi menghantui, senyuman pagi ini, kuharap kau bisa melihatnya. Seluruh nada alam yang mengikutiku sedari tadi, akan selalu menuntunku pada perasaan yang tidak pernah mati. Ya, selagi aku masih di dunia kita punya cerita. Aku akan menemukan cahaya dan menjaganya.

Akan kucari lagi arti dari kebesaran hati.
Kerinduan dan perpisahan memang menimbulkan air mata, mengaburkan perasaan yang kau jaga—begitu besar kesalahan yang harus kutebus nantinya. Daun ivy itu tidak pernah secerah itu Ily, aku berhasil menyadarkannya.

Burung-burung ini bahkan setuju dengan hinggap di atas namamu.

Kau mendengar mereka? Itu lagu cinta, kita berada di balik dinding kasat mata, Aku akan menebus dosa besar dengan mengecewakanmu, walau langit mendung tanpa matahari, aku masih punya cahaya besar dalam hati.

“Benar begitu, Ily?”

***

Song : Sawano Hiroyuki [nZk] : Aimer – s-AVE

With Love,

Fia

End
Penulis
DZ-OSA

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro