5. Hampa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sub Tema: Hitam

Tepat saat matahari menggulung dirinya sendiri dan tergantikan oleh bintang-bintang, ekor pendekku bergerak melambat. Kepala mulai terasa pusing. Memang benar bahawa tubuhku tidak sesempurna makhluk hidup yang lain. Terkadang, aku bermonolog dalam kehampaan sambil mencoba menggerakkan ekor kembali, “Sebenarnya, aku ini hidup atau mati?”

Tubuhku terbawa angin, lagi. Entah sudah berapa kali traveling pasif ini dilakukan secara berulang. Sekadar mencari tempat bernaung, rumah baru, teman baru. Namun, aku tak habis pikir. Akal sehat yang gaib ini terus bertanya-tanya kenapa semua teman yang kubuat selalu pergi meninggalkan diriku seorang diri.

Tak pernah bisa tertawa.

Kosong.

Hitam.

“Maklum, aku kan gak punya mata.”

“Bukan, bukan begitu yang kumaksud.”

“Aku ngomong sama siapa, sih?”

“Dahlah. Duduk, naik angin diem-diem.”

“Makasih. Sama-sama.”

Terhenti di mulut seekor kutu, aku langsung menancapkan ekor. Sakit yang dirasa pada bagian kepala tadi sedikit demi sedikit berkurang. Seluruh tubuh ini seperti habis ganti baterai, segar nan bugar. Tidak dengan penglihatanku yang dari dulu sampai sekarang tetap hitam.

“Rumah baruku memang yang terbaik.”

Tanpa kusadari, hari telah berganti. Aku mulai merasa bosan karena masih belum menemukan teman baru. Sayang sekali, bibir yang kupunya tidak bisa mengerucut lucu seperti bayi-bayi manusia sang penguasa bumi. Katanya, bayi manusia itu lucu, punya warna lagi. Aku diberi tahu oleh pesan broadcast para manusia yang tiada henti dari mulut ke mulut setiap harinya.

“Sendirian terus, cari temen sana! Truk aja gandengan, kamu boro-boro gandengan, temen aja gak ada yang kelihatan dan bisa dipegang.”

Tergelitik oleh cicitan dari mulut nyinyir seorang manusia yang dihinggapi rumah baru, aku jadi bersemangat melakukan replikasi lagi. Sudah hampir sepuluh kali melakukannya, tetapi sejauh yang kuingat tidak pernah merasakan yang namanya mati fungsi apalagi hancur. Membusungkan dada, bangga sekali rasanya punya kesempatan terlahir sebagai makhluk kelam lain dari yang lain ini.

Tadinya ingin sekali aku berkata kasar, tetapi tidak bisa. Duniaku sudah terlalu hitam untuk sekadar berbalas syair dengan manusia-manusia yang tidak pernah bisa aku pahami itu.

Terus melakukan proses replikasi selama beberapa saat, tubuh mulai merasa kelelahan lagi. Lelah sekali setelah berusaha mati-matian melubangi sel inang yang bau ini. Andai tubuhku punya tangan, pasti aku bisa mengelap keringat dengan keren seperti atlet-atlet badminton. Meski keringat virus itu sebenarnya gak kelihatan, sih. Lagian semuanya hitam di mataku.

Terlepas dari proses menyebalkan dan merepotkan itu, teman-teman baruku sudah tercipta. Aku bisa merasakan keberadaan 199 teman baruku yang baru saja menyempurnakan bentuknya. Akhirnya, aku bisa melambaikan tangan pada rekan sesama jenis.

Terpaku dengan suasana haru, aku melayang malu-malu.

Sayang sekali tangisku tidak bisa tumpah dan menghujani keberadaan sel-sel sejauh mata memandang.

“Hai!” sapaku pada teman-teman seperparasitan dengan penuh semangat.

Tidak satu pun dari mereka yang membalas sapaan, hatiku seperti dicabik macan. Teman satu DNA-RNA-ku itu melarikan diri. Menjauh sejauh-jauhnya dariku. Meninggalkan aku sendiri di salah satu sel inang yang susah payah aku jadikan rahim kw untuk mereka.

“Bayi tabung gak ada akhlak,” umpatku sengaja.

Hidup segan, mati belum bisa. Kenapa aku begini, Gusti?

***

END

Penulis
vev_e_vev

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro