5. O(ur) Relative Mind

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu sedang sangat gelap, gemuruh hujan membahana. Aku menatap rintikannya yang merayap pelan di jendela, bangku di pinggir sini benar-benar luar biasa. Kau bisa mengamati semua yang terlihat, menganalisis dan menebak apa yang terjadi atau apa yang dibicarakan orang-orang, itu benar-benar sesuatu yang menghibur bagiku.

Sebenarnya ada hal tidak biasa yang orang-orang pikirkan terhadap diriku. Hanya orang-orang, aku sendiri tahu betul bahwa itu sama sekali tidak benar.

Mereka pikir, aku bisa membaca pikiran

Kekuatan gila macam apa itu, kalaupun ada, aku yakin orang yang memilikinya sudah benar-benar stress tak terkira. Bayangkan setiap hari mendengar ocehan semesta, seakan hanya itu saja alasan kau diciptakan di dunia.

Itu sangat ironis, orang- orang menganggapku demikian saja sudah cukup tragis.

"Yuito, kau bakal menunggu sampai reda?"

Aku menatap sosok di pintu, mengangguk. Ia melenggang pergi, melupakan niat baiknya menawariku menggunakan payung bersama.

Amit- amit sih kalau dengannya, andai saja Rinko yang menawarkannya padaku. Kalian bertanya bagaimana aku tahu dia berniat demikian?

Kalau aku tidak disebut jenius, aku tidak akan dianggap bisa membaca pikiran. Tentu, aku tidak bisa membaca pikiran, sekali lagi kutegaskan, aku tidak bisa. Aku hanya ahli menganalisis dan tahu banyak trik psikologi di luar kepala. Aku hanya menggunakan kemampuan deduksi manusia semaksimal mungkin, sama sekali tidak ada keinginan untuk dianggap manusia super.

" Hah ...."

"Apa yang kau pikirkan?"

Aku tersentak, tidak bisa menahan kaget. Apakah helaan napasku barusan terdengar penuh tekanan?

Lagi, harusnya aku yang merasa tertekan. Disini ada Rinko, gadis yang sudah sangat lama kusukai. Gadis yang membuatku tertarik, dan tanpa sadar selalu kuperhatikan.

Rinko benar- benar gadis yang tidak bisa ditebak, tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan rumus mana saja, tidak bisa dijabarkan dengan pasal-pasal psikologi manusia, atau apapun itu yang benar-benar menjadi panduanku dalam mendapatkan gelar si cenayang.

"Kau bisa menebak pikiranku, tidak?" jawabku kemudian.

Dia mengambil duduk di sebelahku, itu sedikit banyak membuatku gugup, ralat, aku sangat gugup.

"Kau sedang menebak pikiranku tentang apa yang kupikirkan soal pikiranmu," jawab Rinko cepat.

Aku terkejut, "Wow, itu benar." Kulihat ia menarik sudut bibirnya. Yaampun, Tuhan sangat adil menciptakan makhluk semanis dia.

Dan senyumnya kian melebar, tunggu ... dia jadi semakin manis, dan tampakya Rinko sedikit bersemu, tidak- aku yakin, aku melihatnya! Rinko benar- benar bersemu.

"Kau sedang memikirkan orang yang kau suka, ya?" senyumnya perlahan pudar, ia tertawa. Astaga, aku bisa mati diabetes lama-lama disini.

"Kurasa kau benar." Dan itu pertama kalinya Rinko menyatakan pemikiranku tentang pikirannya benar.

Benar, itu pertama kalinya, aku sampai sangat kaget. Dia tertawa melihat ekspresiku.

"Kau gak bawa payung?" tanyaku basa-basi, aku yakin dia tidak membawanya sih, maksudku, aku selalu mengamati Rinko, dia saat hujan selalu duduk di bangku depan ruang ekskul seni, memang pemandangan di sana sangat indah. Tapi Rinko hanya melakukannya saat hujan.

"Aku bawa," jawabnya.

Aku sudah lelah untuk terkejut.

"Ah, begitu. Kenapa tidak duduk di bangku depan ruang seni?" tanyaku lagi. Pokoknya tanya saja, aku harus lebih dekat dengannya.

"Apa aku mengganggumu?" aku sontak menggeleng kuat, "Tidak sama sekali, hanya saja, anu, kau kan biasanya selalu duduk di sana saat hujan–"

"Ah iya kau tahu itu, mau menemaniku duduk disana?" dia berdiri, ajakan yang amat sangat langka. Jadi ku iyakan saja.

Berjalan dengan Rinko rasanya seperti mimpi– itu dulu. Rinko beberapa bulan lalu benar-benar berbeda dengan yang saat ini.

Itulah kenapa aku mendekatinya, semua orang di kelas tahu itu. Mereka tahu aku tidak bisa mengetahui isi pikiran si gadis tanpa ekspresi.

Aku serius, biar kuceritakan Rinko pada saat itu. Dia duduk di belakangku, jadi harusnya aku bisa tahu banyak tentangnya, tapi tidak.

Dia benar-benar, amat sangat tidak berekspresi, atau menunjukkan tanda-tanda psikologis atau refleks manusia normal. Dia benar-benar ahli menyembunyikannya.

Dan semua hal yang kutebak selalu berlawanan dengan kenyataan.

Saat kutebak dia bakal mengangguk, dia malah berbicara, saat kupikir dia hanya akan melenggang ke kursinya di pagi hari, dia menyapaku, dan saat aku berpikir sebaliknya, yang terjadi justru kebalikannya.

Sempat terbesit bahwa Rinko mungkin saja lebih ahli dariku, atau malah sangat ahli.

Jadi karena penasaran, aku sering mengajaknya bicara, dan beberapa kali pergi sekolah bersama.

Rinko tidak separah itu, jika ia terbuka ... orang-orang pasti menerimanya, karena ia akan tersenyum jika perlu, tertawa jika ingin.

Sejak kupinta ia untuk sedikit terbuka, satu kelas benar-benar menerima kehadirannya, dan mengapresiasi usaha kerasku.

Aku kurang suka itu, aku ingin sedikit egois Rinko hanya tersenyum padaku.

Kembali lagi— saat ini kami sudah sampai di lantai tiga, kursi yang kumaksud itu berada tepat berhadapan dengan gerbang sekolah, pertengahan seluruh wilayah sekolah, jadi memang sangat indah disana, meskipun saat ini hal itu tidak berguna, karena hujan.

Jadi aku masih tidak tahu alasan Rinko suka duduk disana.

Hening. Tapi itu keheningan yang damai, setidaknya bisa menyamarkan detak jantungku.

"Apa ada alasan khusus kau kesini hanya saat hujan?" tanyaku setelah senyap-senyap kami berlangsung cukup lama.

"Tentu,"

Ah, dia sepertinya tidak ingin diganggu, dan aku tidak mau mengganggu. Rinko benar-benar cantik bahkan hanya dengan diam dan tatapan lurusnya ke depan.

Aku lagi-lagi spontan memikirkan apa yang dia pikirkan. Karena masih sama, meskipun Rinko sudah lebih berekspresi, dia masih tidak bisa kutebak, sama sekali.

Mungkin dia memikirkan nanti malam mau masak apa?

Saat kulihat lagi dia sedikit tersenyum.

Ah, mata kami bertemu.

Aku cepat-cepat mengalihkan, itu tadi benar-benar memalukan karena ketahuan.

"Yuito-kun, dibanding mencari tahu apa yang kupikirkan, cobalah untuk mengerti dirimu sendiri." itu pertama kalinya kulihat raut wajah Rinko sangat serius.

Apa yang dia maksud– tunggu, lagi-lagi Rinko bertindak seakan mengetahui apa yang kupikirkan.

"Apa maksudmu—"

"Fokuslah pada dirimu sendiri, kau terlalu sering memikirkan orang lain, aku tidak suka itu."

Rasanya aku cukup tersentak, tersambar sampai otak cerdasku tidak bisa digunakan untuk beberapa saat yang singkat.

"Ada apa tiba-tiba? Kau ... marah?"

Itu raut marah orang normal yang disembunyikan, aku bisa tahu, karena Rinko menampakkannya.

Aku masih tidak mengerti, fokus pada diriku sendiri?

"Yuito-kun apa kau bahagia dengan dirimu yang sekarang ini?"

Petir yang menggelora itu tidak mengusik kami sama-sekali, Rinko masih dengan raut seriusnya.

Dan aku yang masih terpaku pada kata-katanya.

"Aku ... bahagia, kok." tanpa sadar pandanganku menurun, menatap lantai koridor.

"Menurut pengamatanku, yang baru saja kau lakukan itu menunjukkan bahwa kau menyembunyikan sesuatu, atau tidak merasakan hal yang sesungguhnya kau rasakan." Rinko memandang langit lagi.

Ada apa gadis ini tiba-tiba berlagak seakan tahu segalanya tentang diriku.

"Begitu juga perasaan beberapa orang yang kau ikut campur terhadapnya."

Aku terdiam.

Begitu, Rinko juga sering memperhatikanku, lebih dari yang aku tahu. Dia tahu betul mengapa aku melakukannya, dia tahu betul kenapa aku sangat terobsesi akan hal itu. Tentang pengamatanku pada emosi manusia, atau jalur pikiran yang mungkin dipikirkan mereka ... Rinko tahu itu.

Dia tahu, aku tidak bisa memahami diriku sendiri, itulah mengapa aku berusaha sangat keras memahami orang lain.

Tanpa tahu sama sekali soal diriku sendiri.

Mungkin aku sudah terlihat sangat menyedihkan di matanya, mungkin dia tahu aku yang ada dengannya saat ini benar-benar penuh dengan topeng.

"Kita itu ... sama, Yuito-kun."

Aku memandangnya, tatapan kami bertemu cukup lama. Iris gelapnya sedikit bercahaya, kini aku tidak berdebar gelisah, rasanya Rinko saat ini sangat berusaha untuk menenangkanku.

"Ya, kurasa kau benar ... kita sama."

Hari ini, mungkin aku bisa mengambil satu jawaban singkat, kenapa aku tidak bisa memahami Rinko, kenapa aku tidak bisa menebak jalan pikirannya, atau hal-hal tentangnya ... itu karena kami ini sangat mirip.

Aku tidak tahu diriku, aku juga tidak akan bisa mengerti Rinko.

"Yah, aku juga tidak bisa memahamimu. Tapi akhirnya aku tahu, kita sama-sama terjebak." Rinko berbicara lagi.

"Kalau begitu, mulai hari ini, ayo kita cari tahu hal yang kita inginkan, hal yang membuat kita bahagia, ayo cari tahu hal itu," ucapku tak kalah serius darinya.

Rinko benar-benar menyadarkanku, dia paham diriku, dan aku ingin memahami dirinya.

Aku benar-benar ingin membuatnya bahagia.

"Hujannya sudah reda, ayo pulang." ia bangkit, aku mengikutinya dari belakang.

Sejak kami keluar gerbang sekolah sampai stasiun aku benar-benar hanya diam, memikirkan banyak hal yang bisa kupikirkan.

Aku ingin Rinko tersenyum hanya untukku.

Aku ingin dia terus melihatku.

Aku ingin dia tidak mengalihkan pandangannya dariku.

Kebahagiaannya, adalah kebahagiaanku.

Apa aku boleh begitu?

"Ah, itu keretaku."

Kereta itu perlahan merapat, mengeluarkan isinya. Aku masih belum berpindah, melihat Rinko yang mulai menjauh.

Saat ini ada satu hal yang sangat ingin kukatakan.

Terima kasih, aku sangat menyukaimu.

Tapi sepertinya itu terlalu cepat.

"Sampai jumpa besok!" Rinko berteriak.

Aku melambai, melihatnya masuk kereta itu dan tertimbun beberapa orang. Terlihat kecil, hingga aku ingin melindunginya.

"Aku menyukaimu."

Kereta sudah melaju meninggalkan stasiun dan satu orang yang merasa dirinya masih teramat sangat pengecut.

Sedetik setelahnya, dering ponselku berbunyi. Membuyarkan lamunan, ah, apa Rinko melupakan sesuatu? Dia menelepon.

"Ada apa, Rin? Ada yang ingin kau–"

"Suki desu."

Hening.

"Sejak dulu aku sudah menyukaimu, sama sepertimu yang tidak bisa mengatakannya. Tapi sepertinya tidak adil, aku selalu mendengarnya darimu, dalam benakmu. Jadi aku ingin kau tahu apa yang sebenarnya kupikirkan; aku selalu memikirkanmu."

TIT.

Rasanya aku sudah tidak menginjak daratan. Lalu, ternyata orang dengan kemampuan mengerikan itu memang ada.

Aku tidak bisa menahan teriakanku memikirkan Rinko selalu mendengar pikiranku setiap saat.

Ternyata tidak mengetahui sesuatu itu ada baiknya.

Aku menyukaimu.

Astaga kupikir dunia tidak pernah adil terhadapku.

Dunia memang sangat tidak adil.

***

End
Penulis
Rythmea_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro