9. Tujuh Hari Bersama Daikon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukan aku yang ingin bertemu dengannya. Bukan aku yang berharap jika dia aka nada di sisiku, meski hanya satu pekan.

Aku pun tidak tahu akan bertemu dengannya di tengah gulita malam, di dapur dan tepat di depan kulkas.

"Kamu siapa?"

***

8 Februari 2020

Syasya mengembuskan napasnya amat pelan. Angin yang mengguncang pepohonan tidaklah pelan seperti biasa, kemungkinan akan terjadi badai sangatlah besar. Di hari Sabtu ini, sama sekali tidak ada satu orang pun di rumahnya, semuanya memilih ke rumah ibu untuk menghabiskan waktu selama satu pekan ke depan. Mendengar betapa menyebalkannya hal itu, Syasya memilih sendirian di rumah demi dirinya sendiri pula.

Kala pikirannya berkecamuk, kedua tangannya mengepal kuat, membuat kuku panjang yang belum terpotong itu membuat bekas di telapak tangan hingga memerah dan terluka. Perasaannya tidak tenang, seolah dia lupa memakan obat. Alhasil, Syasya memasuki kamarnya untuk memakan obat karena dia merasa lupa.

Langkah kakinya terhenti kala merasa ada seseorang mendekatinya. Dia tidak menoleh ke belakang sama sekali, dia hanya mengembuskan napas pelan dan kembali melangkahkan kaki.

"Sya," panggilnya yang kembali membuat gadis itu berhenti kembali. "Kamu lagi ada masalah?"

Saat tangannya ditarik oleh orang yang memanggilnya, Syasya langsung berbalik dan menatapnya lurus tanpa ekspresi sama sekali. Seketika, orang itu kembali melepasnya dan membuat gadis berusia Sembilan tah-sembilan belas tahun itu mendengkus.

"Jangan asal sentuh. Aku tahu kamu bisa baca apa yang aku pikirin kalau kamu sentuh aku."

"Kamu tahu dari mana?" tanyanya dengan dahi yang mengernyit.

"Kan, kamu yang bilang waktu kita pertama ketemu. Gimana, sih!"

Laki-laki itu terkekeh pelan, Syasya memutar bola matanya kesal. Gadis tu membiarkan pandangannya tersita kepada layar ponsel yang memperlihatkan balon chat yang amat panjang di salah satu grup kepenulisan Four Leaf Clover. Dia memilih untuk tetap menyimak tanpa ikut obrolan.

Seketika, Syasya merasa risi dengan pandangan seseorang di sebelahnya. Alhasil, dia mendengkus pelan kemudian mengalihkan pandangnnya dengan kedua alis yang terangkat. Laki-laki di sebelahnya menyungging senyum tipis, berhasil membuat jantung gadis itu seolah berhenti sejenak dan kembali memompa sangat cepat. Panas menjalar ke wajahnya, lidah yang mendadak kelu itu membuat perkataan sukar untuk terlontar dengan baik.

"Kamu kenapa lihat aku kayak gitu, Sya?"

"M-muka kamu nyebelin!"

"Eh? Muka aku kenapa? Masih mirip lobak?"

Syasya berdecih sebal. "Muka kamu nggak mirip lobak! Udah, aku mau tidur! Daikon juga tidur sana!"

Laki-laki itu terkekeh pelan, tangannya menepuk kepala gadis di sebelahnya yang memasang wajah sok galak itu. Gadis itu tersenyum simpul sendiri kala dia membelakangi Daikon. Perlahan, matanya terpejam, ingin sekali dia merasakan alunan music hidup yang membawa pikirannya menuju alam bunga tidur yang indah.

Sekali saja, dia ingin istirahat tanpa mendapatkan mimpi laknat itu kembali.

***

9 Februari 2020

Seperti biasa, mata yang terbuka paksa itu dibersamai dengan napas yang memburu, seolah sehabis lomba lari bersama anjing tetangga. Kedua tangannya gemetar, bayangan itu. Masa itu kembali melahap dirinya, seolah enggan melepasya dari kesengsaraan yang amat dalam. Susah payah tangannya meraih obat yang berada di nakas, dibuanya bungkus obat itu, mulut yang gemetar pun sukar untuk masuk dan tertelan.

Tangan yang terulur dengan gelas berisi air itu diterimanya dan langsung diteguk habis. Butuh beberapa waktu agar dia kembali tenang seperti biasa. Kedua tangannya yang menyambar kepala, hati yang memohon yang ingatan ini menghilang dengan cepat.

"Mendingan?"

Kepala Syasya mengangguk kecil, dia menyungging senyum kecil dan membenahi rambutnya yang acak-acakan. Tangan di depannya terulur kembali, mengsap puncak kepalanya kemudian beralih ke wajah yang masih dipenuhi oleh keringat. Sontak, pandangan mereka bertemu, meski harus terhalang oleh gelapnya ruangan.

"Kenapa pegang-pegang?" tanya gadis itu dengan nada ketus.

"Nggak apa-apa. Bukannya manusia suka, ya, kalau lagi sedih, terus diusap begini?" tanya Daikon seraya tersenyum tipis. "Soalnya, aku dulu begitu."

Perkataannya berhasil membuat Syasya terdiam. Memang, pertama kali mereka bertemu di depan kulkas membuat Syasya tidak percaya dengan perkataannya. Daikon yang bersujud di depannya, mengucap terima kasih dan mengatakan jika kutukannya terlepas.

"Kamu penasaran sama cerita aku, ya?" tanya laki-laki itu dengan nada jahil.

Gadis itu mengembuskan napasnya pelan, dia lupa jika sedang tersentuh oleh manusia setengah lobak di depannya. Alhasil, tangan kiri Syasya menekan saklar lampu yang tidak jauh dari atas kepalanya.

"Iya. Daripada aku tidur lagi, bukannya lebih bagus kamu cerita sampai matahari muncul?"

"Kamu mau aku cerita apa?"

"Kenapa bisa kamu jadi lobak? Kalau kutukannya terlepas, kamu jadi manusia seutuhnya sampai kapan? Kenapa harus lobaknya itu kamu?"

"Iya, iya." Daikon menghela dan kembali mengembuskan napasnya pelan. "Kalau kenapa aku jadi lobak, aku pun nggak terlalu paham. Yang aku tahu, aku salah minum sesuatu, dan itu pun nggak terlalu lama. Kutukan terlepas, aku hidup sampai satu minggu ke depan-"

"Berarti sampai tanggal empat belas Februari aja? Abis itu, kamu ke mana?"

"Mati kali, aku nggak tahu."

"Bisa nggak, sih, bilang matinya nggak kayak orang pasrah?"

Daikon mengerjapkan matanya beberapa kali, dia berusaha menahan tawa dan membuat kekehan kecil lolos dari mulutnya. "Lalu, aku harus gimana? Lagian, itu bukan pasrah, kok."

"Nggak tahu, ah! Terserah!"

"Jangan marah-marah terus, nggak baik-"

"Aku nggak marah-marah!"

Tsun, batin Daikon seraya menggeleng beberapa kali.

***

10 Februari 2020

"Kamu mau pergi?"

Syasya menoleh dan mengangguk kecil. "Mau beli camilan, lagi bad mood soalnya. Mau ikut?"

"Boleh?"

"Kalau aku nawarin berarti boleh, Bambang."

"Aku di rumah aja, deh," katanya.

"Kamu marah?"

Daikon mengerjapkan matanya berulang kali, dia bahkan mengernyitkan dahinya karena, seharusnya dia yang mengajukan pertanyaan itu. Kepalanya menggeleng pelan dan mengubah pikirannya untuk ikut saja.

"Nggak marah. Ya udah, aku ikut aja."

Alhasil, selama perjalanan pun jarak mereka cukup berjauhan. Syasya yang menyumpal telinganya dan membiarkan lagu yang lembut mengisi gendang telinganya saat ini. Sesekali mulutnya ikut menyanyikan lagu yang tengah bermain. Matanya sempat mendelik dan dia memaksa untuk menghentikan langkah kakinya. Kala dia berbalik, tangannya langsung meraih tangan laki-laki yang terlihat lebih tua tiga tahun darinya.

Sayangnya, bahunya tertahan oleh sosok yang membuatnya terkejut tadi. Genggaman tangan dieratkan oleh gadis itu, enggan sekali untuk berbalik, sedikit pun tidak pernah mau membuka mata akan masa yang dia hadapi selama ini.

Seolah mengerti, Daikon langsung menepis tangan yang menyentuh bahu gadis itu. Tatapan tajamnya berhasil membuat sosok di depan sana mendelikkan mata dan mengembuskan napas pelan.

"Cowok baru? Masih player kayak dulu, ya?"

"Bukan urusan lo," sahut Syasya ketus. "Kita pulang, aku nggak mood-"

"Masalah kita belum selesai, Sya-"

"Lo mau bunuh gue, sekalian aja! Nggak usah sok-sokan punya masalah yang bisa diselesaiin baik-baik!"

"Ya, setidaknya biar cowok baru lo tahu-"

"Udah tahu semuanya, jadi, nggak usah ganggu pacar saya lagi. Makasih atas kebaikan hatinya."

Bukan Syasya yang menariknya untuk melanjutkan langkah, melainkan Daikon yang melangkah lebih dulu dan merangkul bahunya. Gadis itu sesekali mengembuskan napas kasar, dia baru mengingat sesuatu.

Daikon menggenggam tangannya. Itu adalah tanda jika laki-laki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya.

Lebih tepatnya, seluruh ketakutan masa lalu yang selalu menggerogotinya sampai saat ini.

Harus dibunuh ... harus mati ... harus nggak ada yang boleh tahu ....

"Sayangnya, kamu nggak mungkin bisa bunuh aku, Sya," katanya dan mengeratkan rangkulannya. "Siapa pun, nggak akan ada yang bakal sakitin kamu lagi.

"Dan kamu harus bisa sayang sama diri kamu sendiri."

***

11 Februari 2020

"Tiga hari lagi, ya."

Daikon menoleh dengan kedua alis yang terangkat. "Apanya tiga hari lagi?"

"Kamu, di sini." Syasya melirik ke arah Daikon yang sedang tersenyum simpul ke arahnya. "Hari kasih sayang juga."

"Bisa pas begitu, ya?"

"Idie, emang siapa yang mau kasih kelembutan serta kasih sayang ke kamu coba?" tanya gadis itu sedikit sewot.

"Kamu tahu? Hari kasih sayang itu bukan ditujukan ke diri sendiri," kata laki-laki itu dan berhasil membuat gadis di sebelahnya menoleh karena kebingungan. "Kasih sayang itu, kalau kita kasih ke orang lain rasanya mudah banget. Kalau ke diri kita sendiri? Gimana?"

"Susah. Apalagi kalau udah iri sama satu hal, rasanya ... kayak paling jelek aja di dunia ini, maunya tuker kehidupanlah, apalah. Suka bingung sama manusia."

"Untung aja aku lobak," gumam Daikon dengan wajah datar dan dipasang sok polos.

"Sekarang jadi manusia, kan?"

"Kamu, sih, lepasin kutukan aku-"

"OH, NGGAK MAU? JADI LOBAK LAGI SANA! NYEBELIN!"

Bukannya merasa berslaah, Daikon justru terbahak kuat melihat gadis di sebelahnya mudah sekali merajuk. Terlihat seperti anak kecil, meski tadi dia sempat serius beberapa detik yang lalu.

Di sisi lain, mood Syasya kembali menurun dan menyelam ke palung terdalam. Tangannya berusaha meraih ponsel yang ada di dekat meja depan televisi, dia membuka aplikasi untuk menulis cerita, mencari salah satu judul yang membuatnya ingin melanjutkan cerita tersebut.

Sayangnya, nihil. Dia malas melanjutkan cerita apa pun, dia hanya ingin menghabiskan waktu tidak bermanfaat ini dengan sosok di sebelahnya saat ini. Diam-diam, dia memang memikirkan apa yang akan terjadi nantinya jika tidak ada Daikon lagi di sebelahnya.

Mengingat kemarin merupakan hari yang hampir terburuk di dalam bulan ini. Gadis itu mengembuskan napasnya panjang, membuat laki-laki yang ada di sebelahnya menoleh dengan tatapan kebingungan. Syasya melepas kucirannya, membiarkan rambut lurus panjang hingga siku itu terurai bebas. Kedua tangannya sibuk membuat kepangan miring agar tidak mengganggu leharnya yang merasa panas, dia menyisakan sedikit rambut di dahi sepanjang bahu agar bisa menjadi mainan tangannya.

"Kenapa lihat aku kayak gitu coba?" tanya gadis itu kemudian berdecih pelan.

"Aku suka lihat muka kamu yang kayak gitu," ungkapnya amat jujur. "Lebih cantik aja."

Kalau boleh, ini manusia setengah lobak, aku lempar ke rawa-rawa! "Apaan, sih!"

Gadis itu sadar, pipinya mulai memanas. Bukan hanya pipinya, melainkan sekujur tubuhnya. Wajahnya terlihat seperti kepiting rebus saat ini.

Daikon sadar, jari telunjuk kanannya menekan pipi kiri gadis yang ada di sebelahnya. Alhasil, Syasya menoleh dengan wajah galak yang dibuat-buat, gadis itu juga berdecih dan menepis jemari Daikon yang masih menempel di pipinya.

"Kamu kenapa, sih, sama aku? Marah terus."

"Lah, nanya? Kamu buat aku emosi setiap hari! Siapa yang nggak darah tinggi coba?"

"Oh, aku buat kamu darah tinggi?" tanyanya dengan wajah yang terkejut. "Kenapa aku bahagia, ya?"

"Bodo amat!"

***

12 Februari 2020

Kacanya hilang.

Obat pun telah habis.

Sialan! Gadis itu mengumpat kemudian berdecih sebal. Matanya tidak sengaja melihat bingkai foto lawas di atas meja belajarnya. Kedua tangannya langsung mengambil benda tersebut, kemudian dihempaskannya begitu saja hingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat.

Te to te o awasete nozokikomu no wa

Nakanaka mienai anata no kokoro

Motto zutto chikaku de mada toosugite

Madamada shiritai

Koi wa doko ni aru?

Lagu yang bernuansa menghibur itu tidak berhasil menenangkan pikirannya. Tangan kanannya mengambil salah satu pecahan kaca tersebut, di arahkannya ke tangan kiri dan menekan cukup kuat hingga lebih dulu mengeluarkan cairan merah di luka kecil tersebut.

Kala ia ingin menggores tangannya, tangan kanannya tertahan lebih dulu. Sebelum matanya mendelik tajam, tubuhnya lebih dulu terbalik paksa karena genggaman di lengan kanannya tadi. Rengkuhan lembut yang mengerat belum cukup membuatnya lebih tenang dari sebelumnya. Bisikan lembut yang ada di telinganya pun hanya bisa membuat kedua matanya memanas.

Solti amasa iya

Soltai

Kamino imiya note sari mamiya apara miya

Solta

Caltiya

Lagu terganti, rengkuhan itu tetap tidak terlepas. Akan tetapi, perasaan gadis itu melai membaik. Tangan kanannya melepas pecahan kaca yang cukup tajam tadi. Tanpa berpikir panjang, kedua tangannya terangkat dan membalas rengkuhan tersebut seraya berusaha mengatur napasnya.

"Kamu mau nangis?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya, dia mengeratkan rengkuhannya hingga sosok yang ada di depannya terkekeh pelan. Tangan kanan laki-laki itu mengusap punggungnya dengan lembut, sesekali naik ke kepala gadis di rengkuhannya.

"Perlu sebanyak apa kamu buat luka di kedua lengan kamu, hm?"

"Nggak tahu."

"Dua hari lagi, hari kasih sayang, kan? Kenapa kamu nggak biarin diri kamu belajar buat sayangi diri kamu?"

"Nggak pantas buat disayang," jawab gadis itu setengah bergumam.

"Alasannya? Karena hal itu?"

"Aku sadar diri," katanya lalu mengembuskan napas pelan. "Dan aku sadar, nggak akan ada yang nerima aku-"

"Aku tahu kalau aku manusia setengah lobak," katanya lalu mendorong kedua bahu Syasya agar bisa menemukan ke mana gadis itu menatap. "Tapi, aku nerima keberadaan kamu, aku nerima semuanya."

"Karena kamu manusia pertama yang temuin aku, kan?" Syasya terkekeh pelan kemudian mundur beberapa langkah. "Seolah hutang budi, makanya kamu bilang itu biar aku ngerasa baikan, kan? Nggak perlu, kok. Kayak yang tadi aku bilang, aku sadar diri."

"Lama-lama, aku gemas sama kamu," katanya lalu menggetil kedua pipi gadis di depannya, menariknya cukup kuat hingga Syasya meringis kesakitan. "Kamu sadar, nggak, sih? Bukan itu yang aku maksud."

Shizukana inori ni hitomi wo, tozashite

Mou sugu saigono yasuragi ni todoku nara

Mabushii asa

"Kamu susah pekanya, ya, jadi perempuan. Kebanyakan mikir negatif, sih!"

Sayangnya, karena cubitan itu sangat kuat, Syasya tidak bisa bersuara untuk membantah apa yang dikatakan oleh laki-laki di depannya. Dalam hati, dia hanya bisa menggerutu.

"Cara mikir kamu sempit, sukanya bahagiain orang lain, sok kuat, udah tahu rapuh dan butuh kasih sayang!"

Saat Daikon melepas cubitannya, Syasya mengusap kedua pipi yang dia yakini sebentar lagi akan mulur. Gadis itu mengembuskan napas pelan dan berusaha menyungging senyum tipis.

"Mau ngebantah? Perlu aku kasih kaca di depan kamu biar ngomong ke diri sendiri?"

"Nggak usah." Syasya memasang wajah datar. Dia tidak tahu jika ada yang akan bicara seperti itu dengannya.

Daikon mengembuskan napas pelan dan mengusap pelan wajah gadis di depannya, berusaha menghilangkan bekas air mata di pipi gadis itu.

"Ingat, aku juga manusia, dan aku adalah salah satu dari sekian juta orang yang terima kamu di dunia ini. Jangan sedih terus, jangan sok kuat. Manusia nggak ada yang sempurna, Sya."

***

13 Februari 2020

"APAAN, NIH?!"

Seruan di dalam kamar gadis itu membuat Daikon mengernyitkan dahi. Laki-laki itu menghampirinya dan mengintip dari celah pintu yang masih terbuka sedikit. Matanya mengerjap beberapa kali kala melihat gadis itu justru berguling di atas kasur dan langsung duduk di atasnya.

Anak aneh, ajaib, tidak jelas.

"IH! LAGUNYA NYEBELIN!"

Semunya aja dibilang nyebelin sama dia, batin Daikon yang sudah tidak paham lagi dengan jalan pikiran Syasya yang mudah berubah sampai saat ini.

Perasaannya cepat berubah, perasaan yang sukar sekali untuk membuat dirinya bahagia, tidak bisa tega dengan semua orang. Di balik perasannya yang seperti itu, di balik lukanya yang selalu ditutupi, dia berusaha mengerti dan tidak menghakimi siapa pun.

Dan tanpa sadar, dia justru menghakimi dirinya sendiri.

Syasya beranjak dari tempatnya, dia keluar dari kamar dan melihat Daikon yang berdiri di muka pintu. Kedua mata Syasya mengerjap beberapa kali, wajah datar yang sok polos itu membuat tangan Daikon snagat gatal untuk menggetil kedua pipi yang cukup berisi itu.

"Sejak kapan kamu di sini?" tanya gadis itu masih dengan ekspresi menggemaskan.

"Belum lama. Kamu-"

"Bantuin aku buat makanan, ya?"

Mata Daikon mengerjap beberapa kali, dia mengangguk dengan senyum yang terbit tanpa pemberitahuannya. Syasya menarik tangan kanan laki-laki itu. Seketika, Daikon mengerti apa yang dipikirkan oleh gadis ini.

Tanpa sadar, tangan kiri laki-laki itu justru mengepal dengan kuat. Dia geram sendiri kala mengingat apa yang telah dia perbuat sampai sekarang.

Baru saja gadis itu menoleh dan ingin mengajak Daikon bicara, laki-laki itu lebih dulu mendorong bahu gadis yang tadi menarik tangannya hingga punggungnya terbentur tembok. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, kemudian menarik lengan Daikon agar posiis mereka terbalik.

"Apa?" tanya Syasya mulai kesal. "Kamu tahu isi pikiran aku lagi? Jangan mikir yang aneh-aneh, ya, itu cuma lewat."

"Apanya yang cuma lewat?"

"Jangan jadi nyebelin-"

"Kamu kebiasaan, ya. Jangan nutupin semuanya kayak begini. Kita emang kenal dan bareng sampai satu pekan. Di sisi lain, kamu nggak mau pisah."

"Nggak, ya!"

"Iya."

"Ih! Terserah!"

"Bilang jujur dulu."

Syasya berdecih sebal. Apa yang harus dia katakana sekarang? Jujur? Yang benar saja, dia tidak mmungkin mengatakan hal sememalukan itu. Dia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Dia bisa melakukannya.

"Oke, aku suka sama kamu, makanya aku nggak mau kita pisah secepat ini," katanya yang berisi setengah dusta.

"Jangankan pikiran, muka kamu aja udah bohong, Sya."

Sialan!

"Susah banget, ya, buat jujur sama diri sendiri?"

"Itu jawaban terjujur, kok-"

"Bukan."

Alhasil, Syasya hanya bisa mengembuskan napasnya panjang, dia berusaha merasa baik-baik saja, tetapi, manusia setengah lobak di depannya terlalu peka. Sebanyak apa pun dia mengelak, perdebatan tidak akan usai.

Dia tidak menyukainya. Dia benci berdebat, dengan siapa pun itu.

"Oke, fine!" Syasya mendengkus frustrasi. "Aku nggak mau kamu pergi, aku nggak tahu bakal kayak gimana nantinya! Iya, aku tahu, aku salah karena jadi ketergantungan sama kamu! Iya, aku paham kalau aku itu bodohnya keterlaluan!"

Gadis itu memejamkan matanya sejenak bersama dengan embusan napas yang pelan juga panjang. "Aku takut, pertemuan sementara ini bukan buat bahagia, tapi, buat luka."

"Kamu melankolis, ya?"

"HEH! ENAK AJA KALAU NGOMONG!"

"Itu kenyataan, lho," kata Daikon seraya mengedikkan bahunya malas.

"Terserah, aku capek."

"Istirahat aja. Lagian, kenapa kepikiran buat kue cokelat, deh? Kayak bisa aja makannya."

"AKU CINCANG KAMU BUAT TEMAN KALDU AYAM!"

***

14 Februari 2020

Aku sering banget mikir, kenapa harus ketemu sama orang yang jelas bakal kepisah sama kita? Kenapa kita bisa berdiri di dunia?

Kenapa ... semuanya harus ngerasain luka biar bisa tumbuh dewasa ...?

Kenapa harus ada rasa iri sama orang yang mau dan bisa bangkit?

"Tujuan aku di sebelah kamu, Cuma sekadar penyemangat. Aku bukan manusia yang dikutuk jadi lobak. Aku lobak yang diutus buat kamu seorang."

Mendengar penjelasan itu, Syasya menoleh sejenak. Dia menyungging senyum tipis dan mengangguk pelan.

"Aku nggak pernah bermaksud sakitin kamu dengan keberadaan yang sementara."

Lagi, gadis itu hanya mengangguk kecil. Enggan sekali menoleh sepenuhnya ke manusia setengah lobak yang menyebalkan itu.

"Aku nggak pernah tahu kalau kita bakal nyaman sebesar ini satu sama lain."

Tatapan lurus nan datar yang tertuju ke halaman rumah membuat Daikon semakin merasa bersalah. Syasya tidak mau menoleh, sama sekali tidak mau. Gadis itu sesekali mendengkus kasar dan memainkan jemarinya sendiri.

"Kamu nggak mau bilang apa-apa sama aku?"

Gadis itu tetap bergeming. Tidak ada yang perlu dia sampaikan lagi.

"Nggak mau bilang atau nanya aku?"

Daikon mengembuskan napasnya pelan "Aku bahagia bisa kenal kamu. Ya, walaupun aku merasa nggak berguna juga ada di sebelah kamu."

"Nggak."

Jawab itu membuat Daikon mengerjapkan matanya beberap akali dan tersenyum tipis seraya mengembuskan napasnya. Kala gadis itu menoleh dan mengulas senyum pun, laki-laki itu terkekeh pelan.

"Makasih selama satu minggu ini."

"Aku pergi nggak apa-apa?"

Mati sana! "Nggak apa-apa. Emangnya, kamu bisa tetap di sini?"

"Nggak bisa."

"Ya udah. Hati-hati di sana."

"Kalau nanti aku balik lagi, kita nikah, ya?"

Seketika angin menjadi lebih dingin dari biasanya. Syasya mengembuskan napas pelan, enggan mengangguk atau menggeleng. Dia tidak mau menginjakkan kaki ke jenjang pernikahan sampai menemukan yang benar-benar menerima keberadaannya.

"Aku pergi. Kalau kangen, makan lobak aja, ya?"

Tidak sampai lima menit dari perkataan terakhirnya, laki-laki itu menghilang tanpa jejak. Syasya mengulas senyum tipis, padahal, tidak ada kenangan yang berarti di dalam pertemuan mereka dalam satu pekan ini. Di sisi lain, gadis itu berusaha tidak peduli dengan semua yang telah terjadi.

Akan tetapi, bayangan tangan yang terulur ke arahnya, bayangan senyum serta suara khas dari manusia setengah lobak itu benar-benar hampir membuatnya gila. Gadis itu memejamkan matanya, membiarkan embusan angin membawa ketenangan agar perasaannya membaik.

Kala mataya kembali terbuka, dia kebingungan sendiri. Tempat uang berbeda dari sebelumnya, dia sedang berdiri tadi, sedangkan saat ini, dia tertidur dengan terdapat sesuatu di tangannya.

"Lobak?" tanyanya bergumam pada diri sendiri. "Mimpi?"

Syasya menggeleng kecil, kemudian terkekeh mengingat kebodoohan mimpinya. Terdapat ssi positif yang tidak bisa dia hindari sama sekali.

Daikon benar-benar datang, memberitahu jika dia tidak sendiri dan dia akan baik-baik saja. Karena, kenyataannya dia selalu berpikir jelek dengan diri sendiri, merasa paling hina dan menemukan pencerahan yang hebat.

"Daikon itu suami aku."

Alhasil, itu yang selalu dia katakana jika bertemu dan melihat lobak lain di pasar maupun supermarket.

Hidup itu ... lucu, ya?

***
A

/N

Ini dare dr Chitato. Semuanya hampir kebohongan wkwkwk.

Aku cuma mau bilang, jangan lupa sayang diri kalian sendiri, apalagi udah diingetin sama hari kasih sayang.

Kita suka lupa kalau ada yang sayang dan ucapin nama kita di dalam doanya:>

MAAFKAN TYPO DAN LUPA ITALIC! Jujur, aku kelewat kayaknya pas repisi huehuehue.

Salam,
Istri sah Kitamura Takumi dan Istri gelap Daikon-kun AWOKWOKWOK.

END
Penulis
syalqadri

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro