04. I.l.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat anak itu melongok untuk memanggil dengan tatapan mata keingintahuan, sang ayah menutup kotak dan memasang gembok, menguncinya. Kemudian kotak besar itu dibawa oleh sang ayah, berjalan memasuki sawah rawa dengan sesekali berkecumik, menuju tengah air yang dalam. Hingga akhirnya tersisa gelembung di permukaan bersama matahari senja kala yang hampir tertelan cakrawala hitam.

***

Winda tidak mengerti sampai kapan manusia diberi porsi untuk mengalami momen buruk. Ada tiga momen yang paling sulit enyah dari kepalanya. Pertama, Winda pernah masuk teve warta anak-anak gizi buruk. Itu ketika dia berumur empat. Kedua, Winda sempat bertelekan pada meja di salon rumah tetangga saat percekcokan cerai. Winda tidak pernah lupa tatapan orang-orang yang menghunjam saat orang tuanya menceramahi tentang pentingnya untuk tidak ikut campur urusan orang asing. Ketiga, dia selalu merasa helat dan terancam ketika ayahnya di rumah.

Semuanya sempurna sampai paragraf ketiga. Seisi kelas berbisik-bisik ketika Winda berhenti, dan dia bisa tahu mereka tertawa. "Winda, ada apa? Teruskan membacamu," perintah guru wanita yang saking tuanya dijamin tak bakal tahu-menahu soal kemalangan si siswi.

Winda yang berdiri di depan kelas menunduk tatkala tiap pasang mata tertuju kepadanya. Lalu setelah tenang, dia mendongak, menatap secarik kertas yang direntangkan.

"Ayahku tidak gila. Meski Ayah selalu memberi tahu setiap tetangga yang ditemuinya bahwa dia akan mencekikku, aku tetap meyakini bahwa Ayah bercanda. Dan, Ayah memang bercanda."

Remaja itu mengusap lehernya, lanjut berhelat.

"Ayah menikam nenekku dan memenggal lehernya, memasukkan adikku ke dalam kandang ayam lalu membawanya ke sawah ketika badai hebat terjadi di luar, kemudian menenggelamkan dirinya bersama adikku sampai jasadnya ditemukan sepuluh jam kemudian."

Memang benar apa yang dikatakan ayah Winda tentangnya. Sampai lehernya dicekam dan tidak dapat bernapas lagi, suara tawa yang bergema pun berubah menjadi kepanikan dan kengerian.

***

Ketika gagak putih, bangau hitam, Winda berjalan menyusuri semua alur yang tidak disukainya demi menjemput sang ayah di tempat titipan. Tatapan mengerut pada botol obat yang digenggam, Winda tidak mata betung. Soporifiknya hilang di tas. Entah siapa pelakunya.

Daripada itu, lebih baik menyadari tangan dingin petani. Di waktu ini banyak yang lari laun. Saat itulah dia tahu siapa si tangan panjang.

"Anak orgil! Anak orgil! Anak orgil!"

Lagi-lagi sekumpulan anak pengacau melemparinya. Winda memekik geram ketika debu putih beterbangan di atas kepala, lalu dia balas memukul siapa pun yang berada di dekat.

"Bocil sialan! Sekolah yang betul, jangan ganggu orang lain!"

Winda memungut botolnya, selagi memberi tegur ajar pada krosboi kampung. Lagi pula, yang mereka lontarkan hanya radio dengkul. Maka, perempuan itu lanjut melangkah layaknya pedestrian. Sering kali di perjalanan dia menciptakan kontestasi terhadap dirinya sendiri.

Dia teringat momen-momen melengah adiknya. Namun, karena sekarang sudah mati, gantian merawat ayahnya, hitung-hitung berperilaku sebagai pelerai demam ayahnya. Lagi pula, ini bukan elektra kompleks mengingat kepribadian Winda anti-romantis.

Winda punya flegma. Ini akibat kantung dompet yang tipis.
Orang papa dalam garis keluarganya sudah seharusnya ekstrospeksi. Janganlah jadi snob. Winda ingat pemikiran orang am atau setidaknya yang dia tonton di teve.

Tidak semua orang gila dibawa ke vivarium.Tidak semua orang mati dimuat di obituarium. Tidak semua tanaman hias yang dipelihara disimpan di herbarium. Namun, Winda yakin semua hal baik terkait sang ayah memadai dalam akuarium.

Kapan dia dapat keluarga elementer yang salim bukan zalim? Tapi, jangan tidak bersyukur. Nanti pilih-pilih ruas, terpilih pada buku.

Akhirnya Winda sampai. Di depan sebuah rumah bergaya tradisional, dia bertemu pramurukti, yang sialnya selain uang pokok sering minta persen untuk beli rokok. Seperti lalat mencari puru. Winda juga harus membayar jreng agar yang diasuh bisa segera diambil. Sekali lagi, nasibnya berada di ujung tanduk.

Melihat sekali lagi tanggungan yang dia olok-olok mengingatkan akan rupa ayahnya di masa lampau. Sang pernah-pencari nafkah dahulunya itu memiliki dagu lebah bergantung, alis laksana taji dibentuk. Banyak yang mengaguminya, hawa yang menginginkan hatinya. Lagi pula, dia terkenal sebagai gembong di kampung. Bukan atas resiprositas antara warga dan keluarganya, tetapi dia benar-benar pekerja keras agar tak mau dianggap kartu mati. Namun, yang terjadi akibat terlalu memforsir diri tanpa memikirkan mahkota hati akhirnya pun jadi balu.

Sesaat setelah menerima lembaran-lembaran biru, sang pramurukti buru-buru hendak masuk, tetapi dapat dicegah, rautnya pucat pasi, gelagapan, membuang muka dan tutup mata.

Winda menyadari ada yang tidak beres sehingga langsung menanyakan, "Di mana dia?"

"Ayahmu ... ayahmu hilang."

Badai telah datang.

***

Winda membawa stormking lari berkaki ayam, dahinya mencureng dan menentang gayat. Di angkasa yang hampir kelam, capung dan agas menyeligit. Burung yang atirnya bengkong menggaok bersulang-sulang.

"Ayah ... ! Ayah ... ! Di mana Ayah?"

Tak ada orang lain di sekeliling sebab hari sudah gelap, tak ada yang membantunya. Meski begitu, Winda terus bercempera menyusuri jalan.

"Ayah ... ! Tolong, lah, jawab kalau dengar, Ayah!"

Pernah masuk suruh dan tegah, jangan keluar tatkala senja kala tiba  atau jembalang bakal menculikmu kemudian satu per satu anggota keluargamu. Winda tahu tentang duka ria saat itu. Barangkali kini ayahnya teringat akannya. Barangkali dahulu ayahnya berbuat demikian ada alasannya.

Mungkin ....
Mungkin ....
Mungkin setelah ibunya menenggelamkan diri di sungai dekat delas.

Larangan satunya mengenai sawah yang ditinggalkan kini ditumbuhi semak belukar dan pepohonan dan demikian bukanlah arboretum karena warga tak ingin menginjakkan kaki ke atas tanah terkutuk.

Saat itulah terdengar dentam dari langit.

Batu-batu tebing tegoring dari horizon tanah cadas. Avalans tak terelakkan terjadi.

Merupakan diri suatu yang megah dari atas langit, akan-akan gunung berbentuk piramida, mewujud dengan palas-palas translusens mengitari sekeliling kakinya, tampak bercelak mengontraskan natar senja. Dengan velarium menaungi bagian atas, membentang mengalahkan matahari terbenam. Suatu megah itu geladir memotong angkasa, mengimak bising jet hingga memekakkan telinga, mengeluarkan asbut seiring bergerak sebagai jejak di langit. Daun pohon dafnah bertaburan dari sesuatunya.

Winda langsung terulur lidah menjauhi tempat itu. Tersara bara menembus semak berduri, begitu maras dia menyaksikan sesuatu yang tak dapat dipikir nalar.

Tatkala sebuah pilar cahaya tertembakkan mengenai jasadnya, dalam sekian detik Winda tertumbuk akal. Kejang mulut tak dapat berteriak pinta tolong. Air mukanya sampai berwarna senam saking takutnya.

Leher terasa panjang terus dibawa menentang gravitasi melayang di atas tanah. Sesuatu itu membisikkan gambaran di dalam minda.

Menyamar sebagai sosok sang ayah yang muda, diberikanlah penjelasan entitas kosmos. Sebagai biokoense. Panasea bagi umat manusia.

Winda sudah tidak dapat berpikir apa-apa lagi.

"Ayah, aku kesepian ...."

Dia terjebak di sarang ekstraterestrial.

🍀🍀🍀

Penulis: William_Most

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro