Karena Espal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, kita harus ke sana?" Kalimat yang memulai perbincangan keluar dari mulut seorang lelaki dengan sebatang cigarette di jari kirinya.

"Tentu. Memangnya kau sanggup melihat Rei babak belur begitu?" Balas lelaki di sebelahnya sambil memainkan bat. Amarahnya semakin memuncah setiap ia membayangkan bagaimana temannya itu datang ke markas mereka dengan penampilan yang cukup buruk.

"Tidak. Maka dari itu aku mengirimkan pesan kepada mereka untuk waspada hari ini, Austin. Mereka dikenal cerdas, harusnya mereka mengerti tentang pesan yang kuberikan," kata sosok didepan mereka yang duduk sambil memainkan pulpen.

Lelaki yang dipanggil Austin menyunggingkan senyum miring sebelum meletakkan bat, "Kutebak, kau pasti hanya menggambarkan simbol tak jelas itu, Frank."

"Ups. Maaf, itu mungkin salahku yang tak bisa menulis kata per kata. Harus kau tahu, membayangkan mereka yang kelimpungan itu menarik." Kata Frank yang kemudian tertawa sinting.

"Dasar calon psikopat," cerocos lelaki yang memulai perbicangan itu, "aku malas untuk beradu otot lagi dengan mereka, tapi aku tak bisa diam saja. Mereka terlalu mudah untuk dikalahkan," sambungnya untuk mengakhiri bagiannya.

"Jika tempo lalu itu kau, aku yakin mereka akan tumbang, Steve. Ini espal yang kau minta." Kata seorang lelaki yang merupakan sumber dari perbincangan masuk tanpa mereka sadar.

"Dia meminta kau untuk membelikan espal?"

Lelaki itu mengangguk, "Dia tak memberiku ijin untuk ikut bertarung. Balasannya, dia memintaku untuk membelikan espal." Kata Rei lalu duduk disebelah Steve, sang ketua.

"Masuk akal. Lukamu belum sembuh. Kalau ingin menginap di klinik juga jangan berbuat bodoh begini." Sembur Frank yang berdiri untuk merapikan dirinya.

"Mereka sudah hampir sampai. Kalian tidak mau menyambut?" Tanya Frank yang dijawab dengan Steve yang seenaknya melenggang keluar dari sana.

               + Karena Espal +

"Gue harap lo senang dengan kegiatan pertama lo disini."

"Kata lo, mereka itu kuat? Sekuat apa?" Tanya sosok tersebut sembari mempersiapkan dirinya.

"Gue gak mampu melawan mereka semua. Makanya, gue senang lo ada disana. Gue mau lo yang memimpin kegiatan ini."

"Kalo itu yang lo mau, gue akan lakuin," Kata sosok tersebut. "Kita berangkat. Lo nunggu aja disini, Jim."

Lelaki yang ditinggal itu tersenyum, "Gue yakin lo akan berhasil, Hana."

Hana berjalan diikuti oleh para anggota Jim. Hana cukup ditakuti diwilayahnya sendiri.

Pangkalan Berandan, kota yang cukup jauh dengan Medan ditahun sembilan puluhan. Kota yang dulunya dikenal karena banyaknya minyak yang mampu diambil oleh para penjajah.

Hana dan Jim menguasai wilayah Berandan dekat dengan wilayah Pangkalan Susu. Biasanya Hana tak ikut campur dengan kegiatan adu otot Jim dengan perkumpulan yang lain. Tapi, Jim tak mampu untuk melawan mereka. Hana lebih kuat dari Jim walaupun, Hana adalah seorang perempuan.

'Sekolah Babalan. 15.'

Hana tentu cukup cerdas untuk hal tersebut. Lokasi titik temu adalah Sekolah Babalan, tempat Hana belajar, dan pukul tiga sore. Hana cukup yakin mereka yang mengirim surat ini, mengerti tentang jam masuk pulangnya sekolah.

"Mana Jim?"

"Di markas. Kaliankah yang mengirim  surat untuk kami?" Tanya Hana dengan nada dingin. Pakaian mereka masih pakaian sekolah. Hana juga sama tetapi rok abu-abunya diganti dengan celana olahraga.

"Kenapa ia mengutus seorang perempuan?" Tanya lelaki yang sama.  Hana berasumsi lelaki itu adalah ketua mereka.

"Jim sedang sibuk. Gue tak ingin beradu dengan kalian. Tapi, teman kalian itu menganggu wilayah kami." Kata Hana sembari memicing kepada sosok lelaki yang berdiri dibelakang ketua.

"Aku melupakan sesuatu. Seharusnya aku memperkenalkam diriku. Aku Steve. Mereka adalah temanku, dia adalah Frank, Austin dan yang kalian pukuli adalah Rei." Kata sang Ketua.

"Gue juga melakukan hal yang sama. Gue Hana, sepupu Jim. Mereka adalah teman-teman Jim." Kata Hana dengan dingin. Mereka terlihat kuat.

"Sebelumnya, aku pikir aku akan menggunakan kekuatan untuk mendapatkan permintaan maaf. Tapi, aku tak tega menyakiti perempuan secantik ini." Kata Steve dengan senyum miring.

"Gue juga gak mau ngeluarin tenaga. Ini sekolah gue, tempat ini tak cocok untuk gue beradu dengan kalian." Kata Hana dengan remeh. Frank hampir maju jika tak dihalangi oleh Austin.

"Kalau begitu, aku ingin kalian cukup meminta maaf. Maka aku akan anggap ini impas." Kata Steve dengan tenang.

"Maaf maaf saja. Gue tak merasa gue yang lakuin. Mana mungkin gue yang minta maaf. Jim tak mengatakan siapa yang lakuin itu pada temenmu," tolak Hana.

"Atau... adakah dari kalian yang memukuli teman sang ketua ini?" Tanya Hana yang melirik kebelakang.

"Gue, Hana. Temannya itu menggoda pacarku." Kata salah satu anggota Jim.

Hana mengangguk paham.

"Tapi, ia tak perlu memukul Rei sampai terluka begini." Kata Austin yang menahan amarah. Rei termasuk lelaki yang kuat. Tapi, melihat Rei datang ke markas dengan pakaian yang koyak dibeberapa bagian, sudut bibir yang lebam, ia berasumsi, Rei dikeroyok massa.

Hana maju sampai berada didepan Steve. "Lo baru makan espal ya? Sudut bibir lo ada kotorannya tuh." Kata Hana yang tersenyum mengejek saat melihat wajah Steve dari dekat.

"Sial. Austin, jangan halangi aku lagi." Kata Frank yang maju dan hendak memberikan satu pukulan diwajah Hana. Naas, pukulan tersebut tak sempat melukai Hana.

"Ups. Lo perlu belajar menyerang dalam diam." Kata Hana yang menahan pukulan Frank dengan tangannya.

Frank menggeram, ia melayangkan beberapa pukulan dibeberapa titik tubuh Hana, wajah, pinggang, lutut, dan betis. Semuanya mampu ditangkis oleh Hana.

"Lo masih perlu banyak belajar. Tadi, gue lihat lo bawa bat. Mampu ngendaliin batnya kan? Jangan jadi pajangan aja." Kata Hana yang membuat Frank geram.

"Berhenti, Frank." Titah Steve sambil mengangkat tangannya. Frank menatap Hana penuh emosi.

"Aku masih ingin espal. Ke espalnya Bang Udin ya?" Ajak Steve tiba-tiba tanpa mempedulikan situasi yang mencekam.

"Aku juga ingin Hana dan kelompoknya juga ikut." Sambung Steve lalu pergi dari sekolah itu.

Espalnya Bang Udin memang terkenal akan kelezatannya. Selain enak, juga mampu dibeli oleh siapapun dari berbagai kalangan. Letaknya juga dekat dengan sekolah Babalan sehingga strategis.

Steve naik ke motornya begitu juga dengan temannya yang lain. Hana dan kelompoknya lebih memilih jalan kaki untuk kesana.

"Naik," titah Steve didepan Hana dengan motornya.

"Gue jalan kaki."

Steve berdecak, "Udah. Ayo naik. Nanti espalnya Bang Udin udah habis." Kata Steve yang membuat Hana sedikit kesal. Namun, menuruti perintah Steve.

"Kalian semua kita ketemu diespalnya Bang Udin." Kata Hana sebelum motor tersebut melaju membelah jalan.

Jalanan daerah memang tak banyak kendaraan. Hanya angkot, becak dayung dan beberapa motor yang mampu dibeli oleh kalangan tertentu.

"Lo suka banget ya dengan espal?" Tanya Hana penasaran. Mereka memang sudah sampai. Hana juga udah turun dari jok motornya Steve.

"Ya. Soalnya manis. Espalnya Bang Udin punya ciri khasnya sendiri." Kata Steve lalu masuk kedalam rumah yang terbuat dari kayu dan berukuran kecil.

"Bang, espalnya dua ya." Kata Steve sebelum duduk ditempat yang telah diduduki oleh teman-temannya.

"Siap, Step." Kata Bang Udin dengan semangat.

"Kok sama dia?" Tanya Frank dengan sengit.

"Aku ajak. Jam tiga sore itu terkesan panas, kepala anak orang kalau kepanasan kan aku juga yang repot." Kata Steve jujur.

"Sebenarnya, Hana... aku yang seharusnya minta maaf." Cela Rei yang mengaduk-aduk espalnya acak.

"Aku tidak tahu kalau cewek itu udah punya pacar. Aku bukan lelaki brengsek yang sesukanya. Kalau aku jadi temanmu itu, aku juga tak akan mau pacarku digituin." Kata Rei dengan perasaan menyesal.

Hana mengangguk, "Gue tahu. Ya udah kali. Espalnya dimakan. Jangan diaduk-aduk gitu. Tuh kan, jatuh esnya." Cerocos Hana yang membuat Steve terkekeh geli.

Ia kira Hana hanya berperilaku dingin nan cuek. Rupanya bisa mirip dengan mamanya kalau ngomel-ngomel.

Teman-teman Hana sudah datang, dan memenuhi rumah sempit itu. Mereka terpisah duduk dengan Hana.

"Ini Step, espalnya." Kata Bang Udin dengan semangat. Steve tersenyum merekah begitu melihat es serut berwarna merah muda ditambah dengan messes diatasnya.

"Terima kasih, bang." Kata Steve yang langsung menyerbu espal tanpa berbicara apapun.

"Steve, Bang Udin salah manggil nama lo tau gak?" Tanya Hana yang menikmati espal.

"Tahu. Aku sudah beritahu beribu kali. Mungkin memang namaku yang terlalu susah untuk disebut." Kata Steve yang tenang dengan espalnya.

"Steve benar. Kami berusaha memberitahu yang benarnya. Tapi, memang lidah bang Udin hanya mampu mengucapkan Step bukan Steve." Kata Austin yang mencomot espalnya Rei.

"Kalau kau mau espalnya, minta sama bang Udin." Kata Rei yang tak senang bila espalnya dicomotin begitu saja.

"Hanya satu."

Hana tersenyum kecil. Austin dan Rei mirip dengan abang-adik.

"Hana," panggil Steve.

Hana hanya menatap Steve sebagai jawaban, "Kau sekolah di Babalan? Kelas berapa? Kok tidak pernah ketemu?" Tanya Steve dengan penasaran.

"Kelas dua sma. Gue lebih suka didalam kelas. Lo semua juga pasti saat ke sekolah, sekolahnya di kiri, loe semua belok kanan." Sindir Hana yang membuat Steve menggaruk tengkuknya.

"Ya memang sih. Aku kurang suka belajar. Jadinya, selalu kabur dengan mereka," kata Steve yang menunjuk temannya.

"Eh? Suka Koding tidak? Bang Udin juga buat Koding." Kata Steve dengan semangat. Espalnya baru saja habis.

"Pas mau pulang aja." Kata Hana yang disambut anggukan oleh Steve.

"Rumah kau dimana?"

"Dekat dengan rumah makan Babalan." Jawab Hana seadanya.

"Dekat juga. Aku disebelah toko Mas Surya itu," Balas Steve dan memanggil bang Udin lagi, "Bang, satu koding dan espalnya dibungkus ya. Mau Steve bawa pulang."

"Siap, Step." Kata Bang Udin yang segera menyerut esnya lagi dengan mesin tradisional yang ada.

"Besok, kau ada waktu luang?" Tanya Steve basa-basi. Hana mengangguk.

"Kita jumpa di tempat bakso Mas Bram. Tahu kan? Sebelah kanan toko Mas Surya. Itu juga enak." Ajak Steve.

Hana sedikit mengerti dengan arti ajakan Steve itu. Ia mengangguk menyetujui dengan besok hanya dirinya yang datang. Steve cukup baik orangnya, ia hanya tak suka temannya diganggu.

Hana mungkin bisa menjalin hubungan pertemanan dengan Steve dkk.

"Ini kodingnya. Kuantar pulang." Kata Steve yang menyodorkan sekantung plastik.

"Terimakasih, tapi aku perlu balik dengan teman-temanku. Aku anggap pertikaian ini sudah impas dengan espal dan kodingnya. Jim akan mengerti." Kata Hana dengan sopan lalu berkumpul dengan teman-teman Jim.

"Dia perempuan yang menarik." Kata Steve dengan suara pelan tanpa diketahui oleh siapapun. Ia bersyukur mampu mendekati Hana hanya dengan semangkuk espal.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro