(Cerpen) Temu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nama: Rudiansyah
ID WP : -rudxi
Kelas: Reguler

Temu

Aku dan senja

Saling rindu
menunggu kepulangan
sampai tidak tidur

~

Kita adalah dua titik saling rindu dan jauh. Kepulangan menjadi milik tanya-tanya yang ragu meminta dicarikan jawaban paling syahdu yang membuai dan mengalun.

Datang dan hilang adalah seutuhnya manusia. Yang memiliki arti dari sebuah penantian paling bermakna adalah ketika hal-hal manis menolak indah, perih sebenarnya jika harus dilupakan.

"Bro, udahlah lupain aja. Dia juga belum tentu balik sama lu."

Rasanya, seperti ada yang hilang jika munafik manusia bukanlah makhluk yang egois. Tentu saja, kita sebagai sang pendosa paling molek memiliki penerimaan yang teramat lapang. Tetapi jarak antara manusia ini dan kamu sangatlah menganggu.

"Lu itu emang keras kepala, ya. Di luar sana masih banyak cewek yang doyan sama lu. Jangan terlalu sombonglah gara-gara itu."

Siang ini, di sebuah kedai kopi sedang turun rintik-rintik kecil yang hangat.  Ge sudah seperti penasihatnya saja. Laki-laki itu benar-benar menyebalkan.

"Tapi, Ge. Bukannya lu tahu sendiri kalau masalah kayak gini tuh nggak sesederhana kedengarannya? Gue nggak masalah kalau gue lu katain lebay. Tapi gue paling nggak bisa bohong sama diri gue sendiri," ucap laki-laki batu itu.

"Tapi, Hikki. Dia pergi dari lu enggak baik-baik aja. Lu itu manusia hina. Cewek baik kayak dia aja masih berani lu kibulin. Dasar."

"Sialan lu."

Si Ge ini memang paling bisa membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh. Jika diingat-ingat lagi yang dikatakan laki-laki goblok itu memang benar.

"Terus sekarang lu mau gimana?"

"Kalau nunggu itu gue anggap sebagai penebusan, nggak masalah."

"Lu tahu sekarang dia ada di mana?"

"Enggak."

"Terus kalau penantian lu sia-sia?"

"Ya, gak apa-apa. Itu artinya cowok goblok kayak gue emang bukan buat cewek baik-baik kayak dia."

"Ya udahlah. Serah lu aja."

Tetapi, baginya ini adalah hal paling romantis. Menunggu di antara hampa-hampa yang simpang siur kabarnya, perjalanan waktu perlahan semakin menjauh, semesta hatimu masih saja dingin.

Hanya satu, manusia ini meminta tolong. Kepada senja yang sedang tersesat, jika ia menemukan jalan untuk pulang, bisikanlah kepada gadis yang entah sedang berada di mana, kalau laki-laki sialan ini akan selalu menantikan kepulangannya.

***

"Andin, sudah beberapa tahun kamu bersama Nenek. Apa kamu tidak ingin pulang ke rumah, Nak?" tanya sang Nenek.

"Tidak, Nek. Andin masih betah di sini. Kota ini benar-benar nyaman."

"Ah, Nenek paham. Kata anak muda zaman sekarang, kota ini memang paling indah untuk merindukan seseorang."

Andin tidak menjawab, tetapi tersenyum kecil. Ia tidak bisa menyangkal sang Nenek karena apa yang dikatakannya memanglah benar. Kota ini benar-benar romantis untuk bercumbu dengan rindu. Apalagi senja sering pulang untuk menemuinya, walau tidak lama. Tetapi ia berharap tersampaikan.

"Apa kamu sedang merindukan seseorang?"

"Tidak kok, Nek. Tidak ada yang sedang Andin rindukan."

Sang Nenek tersenyum. "Kamu memang seperti ibumu. Pandai sekali menyembunyikan perasaan. Sini berceritalah kepada Nenek."

"Tapi dia jahat, Nek."

"Jahat kenapa, Sayang?"

"Dia jahat, Nek. Dia bohong sama Andin. Dia benar-benar pandai berbohong."

"Tapi apa kamu mencintainya, Andin?"

"Tidak tahu, Nek. Tetapi Andin merindukannya."

"Walau dia pembohong?"

Andin mengangguk. "Andin kira dia adalah laki-laki yang baik. Tapi di belakang Andin, dia suka sekali berbohong. Andin baru tahu setelah Andin mau lulus sekolah, itupun dari temannya. Jadi Andin pergi gitu aja tanpa kabar. Andin minta Ibu sama Bapak supaya ngizinin Andin tinggal sama Nenek dan kuliah di sini."

"Siapa namanya, Nak? Apa kamu tahu alasan ia kenapa ia berbohong sama kamu?" tanya sang Nenek.

Sempat terdiam sesaat, Andin memang tidak pernah tahu kenapa Hikki berbohong kepadanya mengenai kehidupan Hikki yang benar-benar jauh darinya. Sampai sekarang pun, ia ingin tahu ia sebenarnya. Tetapi, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi.

Andin tersenyum kecil sebentar, lalu menjawab,  "Namanya Hikki, Nek. Hikki berbohong sama Andin tentang apa pun yang disembunyikannya, Nek. Perasaannya, kehidupannya yang ternyata antah-berantah. Hikki sudah terlalu nyaman dengan dunia gelapnya, Nek. Maka dari itu, ketika Andin bertanya dan mendengar cerita dari temannya, Andin benar-benar kecewa."

Sang Nenek tidak menjawab, sekarang ia terlihat seperti pendengar yang sangat baik.

"Pulanglah, Nak. Sesekali," ucap sang Nenek seraya tersenyum.

Andin tersenyum, ia tidak sadar jika kereta yang dinaikinya sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Sepertinya sang Nenek memang mengerti bahwa sedang ada rindu yang menunggu kepulangan untuk direngkuh.

"Dasar Nenek." Ia tersenyum.

***

Sial, senja di atas rooftop di salah satu pusat perbelanjaan Kota ini benar-benar memanjakan. Cakrawala terlihat begitu sendu menemui pertemuan yang sudah lama ia semogakan. Mesra sekali.

"Lihat, andai saja kamu masih berada di sampingku. Mereka pasti akan cemburu. Tetapi malah sebaliknya."

Menyedihkan sekali rasanya. Seraya memejam mata, rambut yang nyaris gondrong itu tertiup ke belakang ketika sapuan angin syahdu membuainya.

"Aku di sini, Kok." Napasnya terengah. Tetapi suara itu benar-benar merindukan.

"Andin?" Laki-laki itu menoleh perlahan, lalu mematung.

"Halo, pembohong paling menyebalkan. Tempat ini masih saja jadi kesukaanmu." Andin tersenyum. Utuh sekali.

Tetapi, Hikki menunduk. Ia rindu sekali. Ia rindu sekali dengan kepulangan yang paling ia nanti-nantikan sampai. Perlahan ia angkat kepalanya, lalu menatap gadis di hadapannya teduh.

"Maafkan aku."

"Tetapi aku tidak bisa membencimu, Hikki. Aneh sekali."

"Aku menantikan kepulanganmu, An."

Hikki berjalan dengan perlahan, lalu merengkuh gadis itu memuntahkan segala ragu dan candu yang rindu. Dalam hening yang sesaat, romantis sekali.

Senja, kamu berhasil membawa gadis ini pulang.

"Hikki, a-aku—"

"Biar aku yang berbicara. Apa senja menyapamu?  Apakah senja berbisik di telingamu? Katanya 'maafkan aku'. Sampai tidak?"

"Hanya itu?"

"Iya."

"Tapi kamu jahat sekali. Kenapa kamu tidak jujur?"

"Aku takut. Kehidupanku bukanlah cerita yang pantas untukmu"

"Padahal aku tidak akan pergi."

"Kamu adalah satu-satunya, An. Aku sempat ragu apakah rasa yang seperti ini memang untukku atau tidak. Tetapi, aku tersadari."

"Aku enggak percaya."

"Aku mencintaimu."

Hening sekali. Satu-satunya jawaban yang tersuarakan adalah tangis yang turun dari kedua mata paling indah. Sebuah jawaban paling manis bagi seorang pendusta yang syahdu dan mengalun.

***

Senja-senja yang nakal itu adalah hadiah semesta paling manis. Manusia yang ragu. Aku dan kamu, saling menunggu dan diam.

Pulang yang bisu, sendu, syahdu. Akan rindu-rindu yang terkubur mati menjerit sesak. Katanya, tumpahkan aku. Biar hatimu utuh.

Temu
Adalah kita yang sempat saling melepas saling menyapa dalam dekap dan hangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro