Missed Call

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gavin's PoV written by verlitaisme

"Kamu tinggal sendirian?" Ivy bertanya dengan gugup, matanya terlihat menjelajah masuk.

"Ya, kamu mau menginap?" tanyaku, membuat kedua matanya membulat. "Di sini ada dua kamar."

Ivy terlihat menghela napas, kemudian menggeleng dengan cepat.

"Kamu bisa pakai kamar utama, aku di kamar tamu," tawarku lagi, meski sebenarnya merasa lega dengan penolakan barusan. Sebenarnya aku yakin jika dia tidak akan mau menginap. Hubungan kami masih sangat baru, dan sepertinya Ivy juga bukan perempuan gampangan.

"Nggak. Nggak sekarang ...." Ivy mundur selangkah.

"Terus, mau ngapain dong sekarang?" Kedua bahuku turun, memandang ke arah dia yang terlihat bingung.

"Pulang, Gav. Aku mau pulang aja," pintanya semakin gugup.

Aku tersenyum, tingkah gadis ini lucu sekali. Apa yang ada di benaknya saat ini? Apa dia pikir aku akan menariknya masuk dan melemparnya ke atas ranjang?

Langkahku maju untuk mendekatinya, tapi lagi-lagi dia mundur. Jadi aku berhenti lagi. Masalahnya, bulir keringat mulai terlihat di keningnya.

"I'm not a bad person, Sugar," bilangku dengan suara rendah. "Mau kuantar turun? Makan sesuatu di restoran bawah sebelum kamu pulang?"

Ivy menggeleng. "Nggak lapar."

"Oke, aku antar kamu turun, ya?" Kuraih telapak tangannya dengan cepat, dan detik berikutnya menyadari kalau telapak tangan itu berkeringat. "Kamu sakit?" tanyaku cemas.

"Nggak, kok. Jangan khawatir." Dia menggeleng dengan senyum kaku yang dicoba dibuat senatural mungkin. Tapi akhirnya dibalasnya genggaman tanganku.

Lalu, begitulah. Ivy pulang, dan aku sendirian berdiri di kamar utama apartemen. Menatap pada dinding di atas ranjang, di mana sebuah pigura besar yang membingkai foto pernikahanku dengan Zara tergantung. Entah apa yang terjadi jika Ivy melihat foto ini tadi.

Kugelung lengan kemeja lengan panjang yang kukenakan, lalu memanjat naik ke ranjang. Berusaha menurunkan pigura yang cukup berat itu dari dinding. Agak sulit, sepertinya tersangkut pada pengait.

Kutarik pigura dengan paksa hingga benda itu terjatuh, yang untungnya ke kasur yang empuk. Cepat kutarik turun, kusandarkan benda itu ke ranjang dan menatap bagaimana fotografer begitu apik menangkap wajah bahagiaku dan Zara. Waktu itu. Tiga tahun lalu.

Kuhela napas panjang dan berat, sebelum dikagetkan dengan suara ponsel yang lantang.

Kurogoh saku celana, menatap layar, dan kembali menghela napas. Nama Zara terpampang di sana.

"Yes, Pumpkin?" sahutku.

"Apa kamu nggak pulang? Udah jam sepuluh."

"Aku masih di kantor, mungkin nanti bakal balik ke apartemen aja kalau kemalaman. Lebih dekat."

"Oh, begitu? Baiklah. Sampai ketemu besok?"

Aku terdiam sejenak. Dibanding cemas, suara Zara justru terdengar bahagia dan lega. Sudah kuduga, dia memang tidak pernah mencemaskan atau peduli lagi.

"Sampai besok." Telepon kututup dengan dengkusan. Meneleponku hanya untuk memastikan bahwa aku tidak pulang?

Zara ... Zara ....

Kembali pandanganku jatuh pada pigura yang masih bersandar pada ranjang. Bahagia yang ter-capture di foto itu adalah nyata pada masanya, sekarang?

Cepat kuraih pigura, enggan berlama-lama bersama kenangan. Mataku menyapu kamar, mencari tempat untuk meletakkan masa lalu.

Akhirnya mataku jatuh pada kolong ranjang. Sigap, kudorong pigura masuk kolong. Aman.

Selanjutnya kubiarkan bokong menyentuh lantai, bersandar pada ranjang dengan kaki berselonjor. Kuacak rambut dengan penat. Hingga sadar bahwa belum ada kabar dari Ivy.

Apa dia sudah sampai dengan selamat di rumah? Pasalnya tadi dia terlihat begitu gugup hanya karena ajakan menginap. Astaga! Apa aku terlihat sebangsat itu?

Baru saja aku hendak mengirim pesan, saat pesan dari Ivy masuk.

[Aku udah sampai rumah ya, Gavin.]

[Oke. Selamat istirahat, Sugar. Sampai besok.]

Aku menanti beberapa lama, tapi tidak ada lagi pesan balasan. Jadi aku beranjak dari duduk dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam ini, aku akan tidur sendirian.

***

"Selamat pagi," sapaku pada Ivy yang sudah terlihat duduk dengan manis di kursinya. Dia mendongak, kemudian tersenyum. "Cappucino," ujarku lagi sambil menyodorkan kopi dalam kemasan gelas kepadanya.

"Makasi, Pak." Diraihnya kopi. "Ada sandwich juga di meja kamu."

Aku mengangkat kepala, melempar pandangan melalui kaca pembatas ke arah meja kerjaku. di sana terlihat kotak makan berwarna biru.

"Bikin sendiri?" tanyaku.

"Iya, dong. Khusus buat kamu ...."

"Aihh ...." Tanganku bergerak menyentuh kepalanya, mengusap lembut rambut yang tercepol rapi. "Makasih, Sugar."

Ivy menjawab dengan senyuman.

Segera aku masuk ke ruang kerja, meletakkan tas kerja juga segelas cappucino yang juga kubeli untuk diri sendiri. Kutatap kotak makan biru seraya bergerak duduk. Tidak hanya kotak makan ternyata, tapi ada catatan kecil dengan stiker berbentuk hati di atasnya.

This little thing is made by love, special for you.

Love, Ivy.

Mau tidak mau senyumku mengulum, menahan perasaan agar tidak membuncah. Ini seperti romantisme masa kuliah, pesan kecil yang membuatku merasa kesenangan. Kuangkat kepala, terlihat Ivy di mejanya sedang menyesap kopi yang masih panas. Wajah cantiknya menatap ke layar komputer.

Seharusnya kami bertemu lebih cepat, jatuh cinta, dan menikah. Senyumku pelan memudar, karena sadar pada kenyataannya tidak begitu. Semua begitu terlambat buat kami berdua.

Napasku terhela lelah. Kutundukkan kepala, melepas stiker dari tutup kotak bekal dan menempelkannya di meja yang berlapis kaca. Kemudian membuka kotak bekal, dan tersenyum karena yakin Ivy menyiapkannya dengan sepenuh hati. Sandwich-ku berbentuk hati.

Kuangkat lagi kepala, melempar pandangan kembali ke kaca pembatas dan menemukan kalau Ivy ternyata sedang menatapku juga. Seakan terkejut dengan pandangan kami yang bertemu, dia segera menundukkan kepala. Aku menahan tawa, rasanya menyenangkan sekali memiliki perasaan yang baru seperti ini.

Hari yang dimulai dengan suasana hati yang baik, seakan menular sepanjang hari. Pekerjaan dan meeting yang padat berakhir dengan baik. Sore ini pun, bisa pulang tepat waktu. Masih ada waktu untuk duduk di kedai kopi dekat kantor bersama Ivy.

Kami duduk berhadapan. Aku dengan segelas caffe americano, sementara Ivy dengan segelas pure vanilla yang dingin.

"Nggak mesen kopi?" tanyaku.

Ivy membetulkan kerah kemeja merah mudanya yang sedikit berantakan sebeleum menjawab, "Tadi, 'kan, udah ngopi. Aku lagi ngebatesin minum kopi."

"Oh." Aku mengangguk, kali ini sambil memperhatikan dia yang sibuk dengan anak-anak rambut yang keluar dari rambut yang tercepol. "Mau kubantu?" tawarku.

"Bantu apa?" Ivy menatapku, sementara tangannya sibuk menyelip-nyelipkan anak rambut.

Aku tidak menjawab, hanya bangkit dan menyambanginya. Berdiri di belakangnya yang mendadak kaku, ketika tanganku menyentuh tangannya yang berhenti bergerak di atas kepala. Tangan halus itu perlahan turun, ganti dengan tanganku yang sibuk dengan anak-anak rambut yang menguar lepas dari ikatan.

Gemas karena tidak berhasil memperbaiki rambut-rambut nakal itu, akhirnya kutarik karet pengikat, membuat rambut indah kecokelatan itu tergerai menyentuh punggung.

"Gavin!" Ivy berteriak tertahan, sepertinya karena terkejut.

Segera kumasukkan karet ke saku celana, lalu kembali ke tempatku duduk. Terlihat mata indah itu mendelik ke arahku, sementara aku menikmati pemandangan indah dari tempatku duduk. Sepertinya, aku lebih menyukai rambut yang lepas tergerai. Wajahnya terbingkai dengan lebih manis.

"Mana ikat rambutnya?" Ivy mengulurkan telapak tangan melewati meja.

"Aku sita," sahutku asal.

"Aku mau ikat rambut, Gavin." Ivy terlihat gemas.

"Mulai sekarang, nggak usah ikat-ikat rambut. Kamu lebih cantik kalau digerai gitu." Aku tersenyum, lalu bersandar pada sofa, menyesap kopi sambil menatapnya lekat-lekat.

Wajah Ivy terlihat bersemu kemerahan. Sama sepertiku, diraihnya pure vanilla dari meja. "Nggak lucu. Gombal banget ...." Lalu, diteguknya pelan minumannya.

"Tapi suka, 'kan?"

Ivy mendelik lagi ke arahku, tapi tidak lama kemudian tawanya pecah. Seakan menular, aku turut tertawa bersamanya.

Kami berbincang sampai sore berganti malam. Menghabiskan minuman sambil mendengarnya bercerita tentang keluarganya. Tentang dia yang tinggal bersama ibu dan seorang kakak perempuan. Aku senang mendengarkan cerita tentang bagaimana mereka bertiga saling menyayangi, tapi tidak berani bertanya tentang ayahnya karena tidak sekalipun disebut.

"Bagaimana dengan kamu, Gavin? Apa kamu tinggal sendirian?" tanyanya tiba-tiba, membuatku terkejut.

Aku berdeham, seakan ada yang menyangkut di tenggorokan yang sejak tadi sebenarnya biasa-biasa saja. Namun, pertanyaan ini tidak terduga.

"Seperti yang kamu lihat kemarin malam," jawabku tanpa membenarkan atau menyalahkan.

Ivy mengangguk.

"Kapan aku bisa mampir ke tempat kamu?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan.

Sekarang, dia yang berdeham. "Nanti," sahutnya pelan.

Aku menatap lekat Ivy, dia sepertinya tidak nyaman dengan topik berkunjung yang kucetus. "Seperti yang aku bilang kemarin, aku bukan orang jahat, Ivy."

"Siapa yang bilang kamu jahat?" Ivy menyahut.

"Abisnya, semalam kamu tuh ngeliat aku kayak penjahat. Kayak yang aku bakal paksa kamu masuk ke apartemen. Aku nggak bakal lakuin itu selama kamu nggak mau. Kayak aku nggak bakal maksa kamu untuk menerima aku di rumahmu, kalau menurut kamu belum waktunya."

Ivy terbengong. Dia menatapku seakan takjub.

"Nggak usah takjub gitu. Aku, 'kan emang cowok baik-baik." Aku menjawab rasa takjubnya dengan percaya diri yang dilebih-lebihkan.

"Bukan itu, Gavin," Ivy mengulum senyum, "aku cuma kaget kalau kamu ternyata cerewet juga."

Sontak aku terdiam, memberengut, pura-pura kecewa. Lalu, merasa terberkati ketika mendengar tawanya berderai lagi. Rasanya, aku tidak ingin hari ini berakhir. Rasanya, aku tidak ingin pulang ke rumah.

Tetapi pada kenyataannya, beberapa jam setelah aku dan Ivy berpisah untuk kembali ke tempat tinggal kami masing-masing, mobilku sudah terparkir di halaman rumah. Rumah di mana di dalamnya ada perempuan yang sudah kunikahi tiga tahun belakangan.

Aku hendak beranjak turun dari mobil saat melihat seorang pria keluar dari dari dalam rumah, Zara mengekor di belakangnya. Mereka terlihat bercakap di depan pintu, membuat mataku segera menyipit.

Cepat aku turun dari mobil, membiarkan pintu otomatis berbunyi menutup. Suara yang membuat keduanya menoleh ke arahku.

Aku melangkah mendekat, bersamaan dengan lelaki berkemeja hitam rapi yang juga berbalik hendak meninggalkan Zara di ambang pintu. Lelaki itu tersenyum sopan, sedikit mengangguk ketika langkah kami berpapasan, di tangannya terlihat sebuah kotak yang terbungkus rapi. Aku membalas senyum dengan enggan, karena jujur saja otakku sudah berpikir yang tidak-tidak.

Ada yang terbakar ketika langkahku semakin dekat pada Zara, bahkan senyum yang dilempar perempuan itu terlihat memuakkan dalam seketika. Lelaki, semalam ini, di rumah kami?

"Siapa?!" tanyaku dengan nada tinggi ketika kami sudah berdiri berhadapan.

Zara terlihat membelalak terkejut mendengar suaraku yang meninggi.

"Siapa, Zara?!" tanyaku lagi dengan tidak sabar.

"Dari ekspedisi, ngambil barang online shop aku yang mau dikirim." Dia terlihat gugup, sementara matanya terlihat memerah.

Aku mendengkus tidak percaya. Mendorongnya ke samping agar memberiku akses masuk ke dalam rumah. Kulempar tas dengan asal ke sofa, membuka sepatu dengan paksa, dan terkejut ketika sepasang tangan memelukku dari belakang.

"Itu dari expedisi, Gav." Suara Zara terdengar hampir menangis.

"Semalam ini? Kayak nggak ada hari esok?" Aku menghela napas berkali-kali, ada perasaan berat di hati.

"Urgent," sahutnya.

Kupejamkan mata kuat-kuat. Kemudian, perlahan melepas pelukannya dan beranjak masuk ke kamar. Aku perlu mandi untuk mendinginkan kepala. Perugas ekspedisi semalam ini? Apa Zara sedang bercanda?

Ternyata Zara terus membuntutiku, dia berjalan menempel padaku sampai ke dalam kamar. Aku berbalik, membuat kami berdiri berhadapan. Dia dengan wajah yang hampir menangis, sementara aku menahan amarah.

"Jangan marah, Gavin ...." Zara menatapku dengan pandangan memohon.

Kutarik napas dalam-dalam, untuk kuembuskan perlahan. Dia benar, tidak seharusnya aku marah meski aku tidak terima.

Tanganku pun terulur untuk mengusap kepalanya perlahan. "Maaf," kataku.

Zara memejamkan mata, menarik telapak tanganku yang mengusap kepala untuk kemudian diletakkannya di pipi kirinya. Masih dengan mata terpejam, diantarnya telapak tanganku ke bibirnya untuk dikecup.

Aku terdiam, menatap istriku yang perlahan membuka mata seraya mengecupi telapak tanganku. Kemudian, diantarnya tanganku ke pinggangnya, sementara dia melekatkan tubuh padaku.

"Kapan terakhir kali kita bercinta?" tanyanya, membuatku menahan napas.

Kapan? Aku lupa.

Kemudian tiba-tiba saja bibirnya melekat di bibirku, mengecup dengan pelan di sana. Aku masih diam saja. Mencoba merasakan rasa yang penah menggebu-gebu saat tubuh langsing ini berkuasa atasku dulu.

Tanpa kuduga, Zara melepas tautannya di bibirku, kemudian mendorongku hingga jatuh ke ranjang. Aku menatapnya yang mulai menaiki tubuhku dengan perlahan. Dulu, gairahku akan berkobar-kobar karena dia terlihat panas dan menggoda. Aku masih mencari-cari perasaan itu lagi saat ini.

Ketika wajahnya tepat berada di atas wajahku, sontak mataku terpejam. Bukan, bukan karena aku memutuskan untuk menikmati apa yang akan Zara lakukan padaku selanjutnya. Namun, karena ponsel di saku celanaku bergetar.

"I love you, Gavin ...." Lalu, kecupan demi kecupan mulai menghujani wajahku, sampai ke leherku. Tangan halus Zara mulai menelusup ke dalam pakaian yang kukenakan, mencoba melepas kancing yang kemejaku satu demi satu. Aku bisa merasakan hangat napasnya di dadaku, begitu kencang. Sama kencangnya dengan getar ponsel di saku celana.

Maka, segera kubuka mata. Menahan kedua lengan Zara yang sedang sibuk dengan kancing kemeja.

Sontak, Zara mengangkat kepala. Menatapku yang menggeleng ke arahnya. Wajah yang memerah karena hasrat yang tertahan itu, terlihat kecewa. Terlebih ketika aku mengangkatnya dari tubuhku dan meletakkannya pada sisi bagian ranjang yang kosong.

"Aku harus mandi, Zara. Nanti saja kita lanjutkan." Kemudian aku bangkit bediri, melangkah ke kamar mandi seraya meraih ponsel dari saku celana.

Nama Ivy tertera pada layar. Ada tiga kali missed call, dan satu pesan yang masuk.

.
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro