WOW!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Gavin's Pov written by verlitaisme

Aku menyandarkan punggung ke kursi setelah email pekerjaan terakhir terkirim. Memandang ke depan sana, di mana pintu kayu dan kaca pembatas transparan memisahkan mejaku dengan Ivy, asistenku. Dari sini bisa terlihat bagaimana gadis berkulit putih itu sibuk dengan berkas-berkas. Sementara rambutnya yang tergelung rapi, membuat garis-garis leher yang jenjang terekspos indah.

Senyumku segera terkulum, saat pandangan jatuh pada vas di meja sana. Pasalnya, tulip yang kuberikan padanya seminggu lalu masih ada dan terlihat segar. Beberapa kali memang terlihat gadis itu mengganti air, seraya komat-kamit entah apa. Mungkin pikirnya tulip bisa diajak bicara. Bunga itu beruntung, dijaga oleh seorang gadis cantik yang perhatian.

Tadinya kupikir pindah ke kantor baru akan terasa berat, tapi ternyata tidak juga. Dua minggu belakangan bisa terlalui dengan baik dan lancar meski beberapa kali harus lembur, tapi tidak sesering di kantor yang lama. Oh, ditambah ada Ivy. Dia begitu luwes dan cekatan dalam membantu pekerjaan, tidak pernah lupa menyediakan kopi di pagi hari, menemani makan di siang hari, atau menanyakan mengenai kudapan apa yang kumau untuk menemani saat lembur.

Sama seperti si tulip, ternyata aku juga beruntung. Diperhatikan oleh perempuan cantik yang baik hati.

Tidak lama, di meja sana terlihat Ivy sudah mematikan laptop, tangan-tangannya bergerak menyusun berkas yang menumpuk. Dengan segera kumatikan juga laptopku, meraih tas kerja dan bangkit dari duduk.

Ivy terlihat sudah bangkit dari kursi dan mulai melangkah, sepertinya menuju ruanganku. Bergegas aku berjalan untuk mendahului, membuka pintu, dan melihat matanya membulat karena terkejut.

"Bapak bikin saya kaget!" Sepertinya dia benar-benar terkejut, telapak tangan kanannya terlihat berada di dada dengan napas yang berat.

Aku tersenyum, karena bahkan di saat seperti ini wajahnya terlihat menggemaskan.

"Maaf," kataku. "Udah mau pulang, Ivy?"

Dia mengangguk. "Bapak juga, 'kan?"

"Iya." Aku mengangguk. Untuk sesaat kami terdiam saling bertatapan. Sebenarnya ada yang hendak kusampaikan, tapi khawatir dia merasa tersinggung.

"Kalau begitu---"

"Apa kamu ada rencana malam ini?" Sepertinya tidak tahan juga untuk mengatakan ini.

Ivy mengerjap, tapi lalu menggeleng.

"Besok weekend, dan kita nggak bakal ketemu sampai senin ...." Sudah lama aku tidak mengatakan ini kepada seorang gadis, rasanya kaku dan aneh. Terdengar menggelikan mungkin di telinga Ivy, tapi sudah kepalang terlepas dari bibir.

"I-Iya ...." Dia pun sudah menyahut.

"Kalau kamu nggak ada janji ...." Aku membungkuk untuk menyejajarkan wajahku dengan wajahnya, membuat wajah itu merona dengan segera. Terlebih ketika telapak tangan kuletakkan di kepalanya. "Bagaimana kalau kita berkencan?"

Mata indah itu mengerjap, dengan bibir yang sedikit membuka. Meski setelahnya, sebuah senyum manis merekah sempurna.

Beberapa menit kemudian kami sudah berada dalam kendaraan masing-masing, membelah jalanan yang masih ramai. Sesekali aku mengintip lewat spion tengah, lalu spion di sisi pintu, memastikan kalau sedan merah yang dikendarai Ivy masih mengekor tepat di belakang.  Khawatir jika dia berubah pikiran dan berbelok di salah satu simpang jalan.

Namun, sepertinya aku bisa bernapas lega karena sedan itu tetap rapat dengan mobilku. Sampai akhirnya kami beriringan memasuki halaman sebuah bioskop, dan memarkir kendaraan berdampingan.

"Kita mau nonton?" tanya Ivy yang baru saja tiba di depanku.

"Iya, ada film bagus. Mau?"

"Iya, Pak," sahutnya sambil tersenyum lebar.

Aku mengerucutkan bibir. Rasanya ada yang terdengar salah. Kami sedang berkencan, bukan di kantor.

"Gavin," kataku, "kita sedang berkencan, bukan lagi ngebahas masalah pasal-pasal ketenagakerjaan di kantor."

Wajahnya lagi-lagi merona, kemudian menunduk dengan tersipu. Cepat kuraih pergelangan tangannya, dan menariknya masuk ke dalam gedung.

Bioskop terlihat ramai, film yang hendak kami tonton ternyata juga sudah sold out tiketnya. Akhirnya, kami berdiri depan pintu lobi bioskop, saling menatap, kebingungan dengan apa yang harus kami lakukan. Kugaruk kulit kepala yang sebenarnya tidak gatal, merasa tidak enak karena kencan pertama kami bisa dibilang gagal.

Kupandang Ivy yang terlihat mengulum senyum, melempar pandangan menyesal yang justru membuat gadis itu tertawa terpingkal.

"Apa yang lucu?" tanyaku tidak paham.

"Tampang kamu lucu!" Ivy masih tertawa. Tawa yang membuatku tidak tahan untuk mengulurkan tangan untuk sekedar mengusap kepalanya, membuat tawa itu mereda perlahan.

"Aku udah lama nggak melakukan ini. Berkencan, maksudku. Maaf, ya, kencan pertama malah gagal begini," ucapku menyesal.

Mata indah itu memandangku sesaat, sebelum melempar pandangan ke pergelangan tangannya sendiri. "Baru jam delapan. Kalau kamu mau kita bisa melakukan hal yang lain. Misalnya dinner. Kamu belum makan."

"Makan?" Kukerutkan kening.

"Tadi waktu makan siang juga nggak habis karena buru-buru harus meeting. Teh yang kusiapkan juga nggak habis kamu minum. Nanti kamu bisa sakit." Ivy terlihat cemas sekarang.

Ada perasaan yang menyejukkan, menyadari bahwa gadis ini benar-benar perhatian. Aku rasa perasaan ini tidak bertepuk sebelah tangan.

"Nggak sekalian kamu beliin aku vitamin?" sindirku, meski sebenarnya aku merasa senang.

"Itu rencanaku besok, Pak ... Gavin, maksudku." Dia tersenyum canggung, memperlihatkan gigi-gigi yang berjajar rapi.

Aku mendengkus, tidak percaya dengan apa yang terdengar barusan. Penasaran apakah dia akan benar-benar meletakkan vitamin di mejaku besok. Maka, kurangkul pundaknya, menggiring dia ke tempat di mana kami memarkir kendaraan tadi. Ivy tidak menolak, malah sepertinya merasa nyaman.

"Kali ini, kamu yang tunjukkan jalannya. Aku ngikutin kamu dari belakang. Terserah kamu mau makan di mana," ujarku, sambil menarik pintu mobilnya membuka setelah mendengar suara kunci otomatis.

Ivy mengangguk, melewati tubuhku untuk masuk ke belakang kemudi. Kututup pintu, dan segera menuju ke mobil sendiri.

Seperti tadi, kami kembali membelah jalan. Kali ini aku yang mengikutinya dari belakang, memastikan agar sedan merah itu tidak hilang dari pandangan.

Ternyata Ivy memilih sebuah restoran yang menyajikan menu hot plate. Memaksaku untuk memakan banyak sayuran dan sup. "Biar sehat," katanya. Aku tidak membantah, justru menikmati bagaimana dia melayaniku. Mengambilkan makanan, menyodorkan minum, dan memastikan kalau aku makan dengan baik.

"Aku lihat tadi, bunga tulip yang waktu itu masih tumbuh dengan baik." Aku yang baru saja menyelesaikan suapan terakhir, berkata sembari menatapnya yang masih sibuk makan. "Kamu merawat bunga itu dengan sangat baik, Ivy," pujiku.

Ivy mengangkat kepala, kemudian tersenyum. "Saya mengganti airnya setiap hari. Tapi mungkin minggu depan bunga itu bakal benar-benar mati, dia udah terlalu lama tumbuh tanpa akar," jelasnya, sambil melap mulut dengan napkin. Sepertinya makannya sudah selesai.

"Kamu tau, apa arti dari bunga tulip merah?" tanyaku sambil memperhatikan wajah yang kebingungan sebelum melanjutkan ucapan, "Artinya cinta ...."

Wajah itu tiba-tiba saja telihat kaku, sebelum semburat kemerahan--yang entah sudah keberapa kalinya malam ini--mulai muncul di kedua pipi.

"Kalau minggu depan bunga itu mati, akan kuganti dengan yang baru. Dia bisa jadi nggak berakar, tapi dia tau ada tangan yang akan menjaganya selalu," ujarku lagi, membuat wajah itu semakin merona, kemudian lagi-lagi menunduk. "Semoga perasaan ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ini benar-benar ... membuatku cemas."

Kuhela napas keras, mengusir rasa grogi yang sebenarnya menggerogoti sejak tadi. Berharap agar gadis di hadapanku mengatakan sesuatu yang membuatku sedikit tenang. Kalau dia terus diam, ini akan membuatku gila karena penasaran.

Dan sialnya, dia benar-benar tidak mengatakan apa pun. Sampai aku membawanya kembali ke tempat parkir, dan membukakan pintu kendaraannya seperti tadi, dia tidak juga mengatakan apa pun.

Sepertinya aku salah mengira. Salah memprediksi. Bisa jadi selama ini perhatiannya memang sekedar antara asisten dan atasannya, aku yang menanggapi dengan berlebihan.

Ivy berjalan mendekat untuk masuk melalu pintu mobil yang kubuka. Namun, bukannya langsung masuk, dia berdiri di hadapanku dan mendongak. Bertatapan seperti ini justru membuatku serba salah. Ada sedikit rasa malu karena menyadari bahwa sepertinya aku baru saja ditolak.

Namun, ketika kaki itu berjinjat, membuat jarak di antara wajah kami terpangkas, aku berdebar. Terlebih ketika sebuah kecupan mendarat di pipi kanan begitu saja, membuat perasaan yang kucemaskan sejak tadi hilang dalam sekejap.

Ivy menarik bibirnya dari pipiku. Dengan tersipu dia menatap wajahku yang saat ini mungkin terlihat tegang.

"Sampai ketemu senin nanti di kantor, Gavin," katanya malu-malu, kemudian masuk ke dalam mobilnya secepat kilat.

Wow!

***

Aku memarkir kendaraan di halaman rumah. Melirik ke arah jam pada dashboard yang menunjukkan pukul 23:30 malam. Menghabiskan malam bersama Ivy rasanya masih ingin kuulang, belum puas rasanya berlama-lama dengan gadis itu.

Napasku terhela sebelum akhirnya memutuskan turun dari mobil dan melangkah menuju teras rumah. Kutekan password pada papan angka di bawah kenop pintu; 170617. Sesaat kemudian, pintu terbuka. Gelap pada ruang yang menyambut, berubah menjadi terang dengan seketika ketika kaki menjejak masuk.

"Gavin, are you home?"

Sebuah suara yang terdengar menyapa membuatku memejamkan mata barang sejenak. Bukan ini yang kuharapkan ketika pulang.

"Gavin?"

Lalu terdengar langkah-langkah dari dalam yang mendekat.

"Yes, Pumpkin. Aku udah pulang," sahutku, bersamaan dengan tubuh semampai yang muncul dari dalam sana. "Kamu belum tidur?" tanyaku, ketika dia yang kupanggil Pumpkin mendekat.

"Belum." Dia menyahut, lalu dengan sengaja merapatkan tubuhnya ke tubuhku. "Aku merindukanmu. Lagian, today is our third anniversary ...."

Mendadak tubuh terasa kaku. Sudah tiga tahun?

"Happy wedding anniversary, Sayang ...." Lalu bibir itu, rapat di bibirku.

BERSAMBUNG.

Apakah kalian terkejut?😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro